
Dalam memoarnya Hans Luning menulis, “Sekitar setengah enam pagi kami terbangun karena kilatan cahaya dan guncangan seisi kapal. Pada awalnya saya pikir itu ledakan boiler. Kami melompat bebarengan berebut menuju ke dek. Beberapa detik setelah ledakan pertama, gelegar ledakan kedua menyusul. Asap mesiu menerpa kami. Sirene kapal meraung menyadarkan kita bahwa kapal telah terkena torpedo. Suasana panik. Kapal kami masih tinggi di air, tapi tanpa berpikir lebih lanjut, saya melompat ke laut”.
Kapal kargo berbendera Jepang, Junyo Maru, berisi orang-orang tawanan perang Jepang. Kapal naas yang berlayar dari Tanjung Priuk menuju Padang itu telah ditorpedo oleh kapal selam Inggris H.M.S. Tradewind di perairan dekat kota Muko Muko, Bengkulu pada 18 September 1944. Rupanya buruknya komunikasi menyebabkan komandan kapal selam H.M.S. Tradewind tak mengetahui bahwa kapal kargo Jepang itu mengangkut para tawanan perang.
Junyo Maru mengangkut sekitar 6.500 orang terdiri atas 2.300 orang Belanda, Amerika, Inggris, dan Australia; dan 4.200 kuli Jawa. Setelah terjadi bencana dahsyat itu, sekitar 680 tawanan perang dan 200 kuli Jawa berhasil diselamatkan oleh kapal motor Jepang, artinya lebih dari 5 ribu nyawa lainnya telah binasa di lautan. Mereka yang selamat pun harus rela didera kerja paksa untuk membangunjaringan rel kereta Pekanbaru-Muaro Sijunjung sejauh 220 km!
Monumen Junyo Maru - Ereveld Leuwigajah Cimahi, Jawa Barat
Ereveld Leuwigajah
“Untuk menghormat kepada mereka yang tidak tersebut namun telah mengorbankan hidupnya dan tidak beristirahat di taman makam kehormatan”

Kini enampuluh enam tahun telah berlalu. Dari sebuah pemakaman sunyi Monumen Junyo Maru berpesan kepada kita bahwa perang dan pertikaian di mana pun itu, hanya akan membawa kekacauan dan kesengsaraan bagi mereka yang bertikai, maupun para warga sipil tak berdosa.
sumber http://heritage.blog.nationalgeographic.co.id/2010/11/10/mengenang-66-tahun-tenggelamnya-junyo-maru/
0 komentar:
Posting Komentar