Banyak kritik pada program transmigrasi. Tak ada koordinasi antar-institusi soal tata kelola dan penanganan program transmigrasi.
Dalam buku Ayo ke Tanah Sabrang, peneliti asal Perancis Patrice Levang menyebutkan, pada 12 Desember 1950 setelah menempuh perjalanan panjang yang melelahkan dengan bus, 23 keluarga dari Jawa Tengah akhirnya menjejakkan kaki di Lampung. Keluarga-keluarga itu berasal dari kota yang sangat padat penduduk atau lahan kritis. Mereka menghindar dari kelaparan dan penyakit, menuju tanah baru yang menjanjikan kehidupan lebih baik. Mereka merupakan keluarga pertama yang memanfaatkan program ambisius pemerintah Indonesia, yang bertujuan memberikan lahan dan kesempatan kerja kepada warga termiskin. Program itu bernama transmigrasi.
Transmigrasi berasal dari politik etis yang dikeluarkan Belanda: pendidikan, irigasi, dan migrasi. Bagian ketiga menjadikan kolonisatie pada 1905 sebagai cikal bakal transmigrasi masa kini. Asisten Residen HG Heijting yang pertama mempelajari kemungkinan pemindahan penduduk Jawa dari Karesidenan Kedu, Jawa Tengah, ke daerah di luar Jawa. Dia juga yang mengusulkan dalam setiap pemindahan ada kelompok inti yang terdiri atas 500 keluarga. Keluarga ini mendapat jaminan hidup selama setahun. Transmigrasi dibagi menjadi tiga fase. Fase percobaan (1905-1931), Fase Kedua (1931-1941), dan Pascaperang.
Kini, setelah seabad lebih usia program transmigarsi, tabir permasalahan masih menyelimuti program ini. Ada silang pendapat dalam penanganan.
“Kalau menuruti hati nurani, saya tidak ingin ada program transmigrasi lagi. Tapi, kalau melihat kondisi di Jawa, masih diperlukan program transmigrasi,” kata Akhmadi, Ketua Perhimpunan Keluarga Transmigran RI (Patri) Kalimantan Barat.
Menurut Akhmadi, ada kewajiban lain yang membuat ia harus mendukung program transmigrasi. Apalagi dengan berbagai permasalahan di Jawa. Misalnya, kurangnya lahan pertanian dan bencana alam seperti banjir dan lumpur Lapindo Brantas.
Akhmadi ingat bagaimana program pembinaan dilakukan di daerahnya. Ia kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur. Tahun 1982 ia lulus SD. Keluarganya mendapat tawaran bertransmigrasi ke Kendari, Sulawesi tenggara. Keluarganya menjual seluruh barang dan rumah. Saat semua barang sudah dijual, pemberangkatan tertunda. Terpaksa dia dan keluarga menumpang di rumah neneknya hingga enam bulan. Biaya hidup ditutup dengan menjual berbagai barang. Tiba-tiba ada tawaran transmigrasi ke Sekadau, Kalimantan Barat. Mereka setuju saja. Saat berangkat, uang sudah habis sama sekali.
Akhmadi dan keluarganya menempati SP 1 Transmadya, Desa Landau Kodah, Kecamatan Sekadau Hilir, Kabupaten Sekadau. Wilayah itu diberi nama sesuai dengan nama CV yang menjadi kontraktor pembangunan. Jarak dari Sekadau sekitar 12 km. Karena tak ada uang, sekeluarga hanya mengandalkan jatah hidup dari pemerintah. Selama berbulan-bulan hanya makan nasi dengan lauk ikan asin. “Jadi, sekarang kalau tak makan ikan asin, tak sah makannya,” kata Akhmadi sembari tertawa.
Akhmadi beruntung sempat kuliah di Fakultas Bahasa Inggris, Universitas Tanjungpura. Ia pernah menjadi guru sekolah dan memberi kursus bahasa Inggris.
Menurut dia, karena program transmigrasi merupakan program nasional, penanganannya juga harus secara nasional. Bila ditangani secara nasional, kepentingan daerah praktis ikut terfasilitasi.
Transmigrasi pertama kali berjalan pada era Orde Baru. Pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, pada 2001 dia meminta Ryaas Rasyid menyusun konsep otonomi daerah. Gus Dur juga membubarkan Departeman Transmigrasi. Selama 2001 - 2002 tak ada program transmigrasi. Pada 2003 program kembali berjalan dengan konsep berbeda.
“Banyak sekali perbedaan transmigrasi antara dulu dan sekarang,” kata Akhmadi.
Dulu, setiap satuan pemukiman (SP) ada kepala unit pemukiman transmigrasi (KUPT) lengkap dengan staf bidang tata usaha, pembimbing ekonomi, serta pemukiman dan penempatan. Ada staf yang menangani penyuluhan pertanian, pelayanan kesehatan, dan membina masyarakat dari segi sosial budaya. Sejak ada otonomi daerah, tanggung jawab transmigrasi hanya pada kepala desa dan perangkatnya.
Masalah yang khas di daerah transmigrasi biasanya benturan budaya. Warga dari berbagai daerah dan penduduk setempat tentu punya banyak perbedaan, sehingga bisa saja menimbulkan benturan budaya. Selanjutnya terjadi proses akulturasi budaya, sehingga kalau ada masalah cepat tertangani. Pembinaan pun jelas. “Ibaratnya, dari belum bisa berenang hingga bisa berenang sendiri,” kata Akhmadi.
Dia menilai sekarang antara Dinas Transmigrasi provinsi dan kabupaten/kota tidak ada jalur koordinasi, sehingga ketika ada massalah saling lempar tanggung jawab. “Kalau ada masalah, tak tahu di mana penyelesaiannya,” katanya.
Sekarang ini kepala Dinas Transmigrasi, karena yang menentukan gubernur dan bupati/wali kota, kadang tak memahami transmigrasi. Dulu, transmigrasi ditangani langsung Departemen Transmigrasi, sehingga orang yang bertugas mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang transmigrasi.
Sengkarut penanganan program transmigrasi bisa dilihat dari berpindahnya penanganan di level departemen. Sudah berkali-kali program transmigrasi pindah departemen. Dalam bukunya, Patrice Levang menulis, pada 1947 tranmigrasi masuk Departemen Tenaga Kerja dan Sosial. Tahun 1948 masuk Departemen Pembangunan dan Kepemudaan, kemudian ke Departemen Dalam Negeri. Sebagai dinas dari Departemen Pembangunan Daerah, transmigrasi kembali ke Departemen Sosial sebelum dijadikan Departemen pada 1957. Sejak 1959 transmigrsi digabungkan dengan Departemen Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa dalam tiga bentuk yang berbeda. Kemudian dipindahkan ke Departemen Dalam Negeri. Selanjutnya ke Departemen Veteran, setelah itu kembali ke Departemen Koperasi. Tak lama kemudian dipindahkan ke Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi. Pada 1983 sepenuhnya menjadi Departemen Transmigrasi.
Dalam perkembangannya, transmigrasi digabung lagi dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Setelah itu masuk Departemen Kependudukan. Lalu, menjadi Departemen Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi.
“Kalau dulu transmigrasi seolah dipaksakan. Sekarang jadi lebih parah. Karenanya, tak heran bila terjadi berbagai masalah mengenai transmigrasi,” kata Akhmadi.
Masalah itu misalnya terjadinya penyerobotan tanah yang sudah menjadi hak para transmigran. Belum selesainya surat sertifikat tanah. Bahkan, meski ada sertifikat, transmigran tak mendapatkan tanah garapan. Penyebabnya? Ketika ada sosialisasi mengenai penempatan transmigrasi, yang tahu hanya para tokoh warga atau kepala adat. Dalam perjalanannya, warga tak tahu mengenai hal itu.
Akhmadi berharap harus ada revisi terhadap program transmigrasi, termasuk revisi UU Transmigrasi.
Mulyoto, Kepala PMKT Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kalbar, mengatakan, transmigrasi pada era Orde Baru dengan sistem target. Para transmigran didistribusikan sesuai kemampuan daerah. Pelaksanaannya bersifat sentralistik. “Provinsi menjadi wakil pemerintah pusat.”
Petugas UPT disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Struktur dinasnya jelas. Ada kepala UPT dibantu beberapa petugas. Jumlah setiap penempatan di UPT sekitar 300 hingga 500 keluarga, sehingga bisa menjadi desa baru.
Sejak otonomi daerah, transmigrasi menjadi kebutuhan daerah. Jumlah transmigran tergantung permintaan daerah di setiap UPT. Bisa 100 keluarga atau 200 keluarga. Semua pelaksanaan transmigrasi berada di kabutapen sebagai pelaksana. Provinsi berfungsi sebagai fasilitator, monitoring, bimbingan, serta evaluasi. Kebutuhan sumber daya manusia di lapangan tidak terpenuhi. Banyak UPT hanya mengandalkan SDM yang tersedia. Malah beberapa UPT hanya menggunakan perangkat desa dengan bimbingan teknis dan pembekalan seadanya.
Padahal, transmigrasi merupakan dinas yang spesifik. Jadi, harus ada pelatihan tentang unit transmigrasi. Cuma, pada era otonomi daerah, kepala daerah terkadang memutasi orang yang sudah paham transmigrasi ke bidang lain. “Sehingga harus mulai dari nol lagi,” kata Mulyoto. “Jadi, krisis SDM terjadi di semua lini.”
Upaya yang dilakukan memaksimalkan potensi dan bimbingan, terkait yang ada saja. Hasilnya tidak bisa maksimal seperti masa lalu, di mana petugas UPT lengkap. “Langkah yang ditempuh belum ada, karena masalah SDM yang tidak cukup di kabupaten,” kata Mulyoto.
Sementara program transmigrasi tetap berjalan, meski tak sebesar masa lalu. Pembinaan berjalan apa adanya, sehingga hasilnya tidak maksimal. Akibat kekurangan SDM, kelayakan SDM di dinas kurang tersedia. Ketersediaan SDM, ini yang jadi soal, akibat pengembangan atau pemekaran kabupaten.
Mulyoto melihat regenerasi, kebutuhan, dan pemenuhan belum imbang. Hal itu terjadi karena kemampuan pemerintah merekrut pegawai masih terbatas. Sementara itu, provinsi tak bisa memberikan saran kepada kabupaten untuk menempatkan orang yang memang punya kapasitas di kabupaten. “Semua berjalan sesuai dengan apa yang ada,” ujarnya.
Namun, hal itu tak hanya di lingkup transmigrasi. Juga terjadi di lingkup lain. Misalnya di bidang pertanian dan dokter atau pelayanan kesehatan. “Yang jadi persoalan di pembinaan. Kabupaten sebagai penerima kegiatan belum didukung SDM memadai di bidang transmigrasi. Terutama dalam jumlah dan kualitas,” kata Mulyoto.
Untung Hidayat, Sekretaris Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten Kubu Raya, menyatakan sukses tidaknya seorang transmigrasi tergantung pada banyak hal. Misalnya, pola dan tradisi berbeda dalam bercocok tanam. Di Jawa, mencangkul harus dalam, sehingga tanahnya bisa diolah dengan baik. Sedangkan di Kalimantan, tanah gambut unsur hara tidak tebal atau tanah mentah. Mencangkul tak perlu terlalu dalam, karena tanah subur hanya sekitar 20 cm di atas tanah.
Karena itu, kalaupun di Jawa seseorang berhasil bercocok tanam, di Kalimantan belum tentu. Banyak faktor berperan. Musim tanam lain. Cara bercocok tanam lain. Pengolahan tanah dan kesuburan tanah berbeda. Hal itu butuh penyesuaian dan waktu. Para transmigran yang masih tinggal dan bertahan merupakan transmigran terseleksi.
Tidak semua kabupaten di Kalbar ada program transmigrasi. Tergantung wilayahnya. Program transmigrasi masih berlangsung di Kabupaten Kubu Raya, Ketapang, Kayog Utara, Sambas, dan Kapuas Hulu. Lima kabupaten itu masih mengusulkan program transmigrasi.
Untung Hidayat mengatakan Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kubu Raya meningkatkan pelayanan di satuan pemukiman dengan memberikan berbagai insentif kepada mereka yang bekerja di sektor pelayanan masyarakat. Di pemukiman ada tenaga kesehatan. Dokter mendapat insentif Rp 300 ribu, bidan Rp 300 ribu, dan paramedis Rp 250 ribu. Obat-obatan disediakan pemerintah.
Dalam bidang pertanian, sejak 2009 penyuluh pertanian lapangan (PPL) tidak diberi honor. PPL tidak membawahkan desa transmigrasi. Sebab, sekarang transmigran tidak begitu banyak. Ketika ada penyuluhan, warga trans ikut dengan peserta dari desa tempat mereka tinggal.
Di lokasi transmigrasi dibentuk Tenaga Kerja Pemuda Mandiri Profesional (TKPMP) yang bertugas membantu warga transmigran atau sebagai pembimbing. Setiap lokasi ada satu orang. Sistemnya kontrak satu tahun. TKPMP akan koordinasi dengan kepada desa.
Tiap tahun Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi melakukan bimbingan teknis untuk TKPMP, pegawai yang melayani bidang itu. Petugas transmigrasi sebagai koordinator. Secara teknis, kehidupan orang hidup merupakan bagian dari dinas-dinas lainnya. Misalnya, pertanian dengan penyuluh pertanian. Kesehatan dengan penyuluh kesehatan. Segala aspek kehidupan ada di transmigrasi dan secara sektoral.
“Hal itu merupakan kewajiban di dinas secara sektoral,” kata Hidayat. (bersambung)
sumber: VHRmedia / Arwani / Muhlis Suhaeri
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar