SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Derita di Tanah Sabrang (2)

| | |
Para transmigran asal Jawa menaruh harapan tinggi di tanah Kalimantan. Tak mudah menaklukkan tanah dan wilayah baru.

Tanggal 3 Maret 1984, hari paling diingat Mistin (55). Pada hari itu ia bersama suaminya, Sakijan, dan tiga anaknya menginjakkan kaki pertama kali di Terentang. Saat itu Terentang masuk wilayah Kabupaten Pontianak. Sejak pengesahan UU 35/2007 tentang Pembentukan Kabupaten Kubu Raya di Provinsi Kalbar, Terentang masuk wilayah Kubu Raya.

Mistin kelahiran Lumajang, Jawa Timur. Kehidupan di tanah kelahirannya sulit. Saat kepala desa menawari ikut transmigrasi, ia dan suaminya setuju. “Ikut transmigrasi ada masa depan,” kata Mistin.

Keluarga Mistin bareng dua keluarga di kampungnya memutuskan bertransmigrasi. Dari Kabupaten Lumajang ada 25 keluarga. Mereka berangkat ke Surabaya dan terbang ke Pontianak. Rombongan menginap sehari di Pontianak, ssoknya langsung menuju Terentang.

Mistin berangkat bersama seluruh keluarga. Salah satu anaknya Titin Suprihatin, anak ketiga dari tujuh bersaudara. “Saat itu Titin baru berumur tiga tahun,” kata Mistin.

Hal sama dialami Sumi (68). Ia punya lima anak. Semuanya lelaki. Salah satunya Suyono. Saat itu ada pengumuman dari kepala desa bahwa pemerintah akan memberangkatkan keluarga yang mau bertransmigrasi. Saat itu ia tak punya apa-apa. Rumah masih kontrak. Suami bekerja sebagai tukang becak. “Jadi, maulah kita berangkat transmigrasi,” katanya.

Keluarga Sumi berangkat dari Blora, Jawa Tengah, bersama 55 keluarga. Dari Blora, rombongan ke Semarang naik bus diteruskan ke Jakarta menggunakan kereta api. Baru kemudian naik pesawat terbang ke Pontianak. “Pakai Garuda,” kata Sumi bangga.

Sehari di penampungan, mereka kemudian diberangkatkan ke Terentang. Rombongan dari Blora bergabung dengan transmigran asal Sukabumi, Jawa Barat. Pada perkembangannya, sebagian besar rombongan dari Sukabumi pergi dari lokasi transmigrasi. Mereka tak tahan.

Mistin dan Sumi menempati Desa Radak 1. Desa itu dibagi 5 rukun warga. RW 1 - 3 wilayahnya agak tinggi. Ini menguntungkan untuk bercocok tanam. Tanahnya subur dan tak terendam air. Bisa menanam berbagai macam sayuran dan padi. Wilayah RW 4 - 5 sebagian besar tanahnya datar dan gampang terendam air. Kondisi tanah RW 1 - 3 dan RW 4 - 5 ibarat bumi dan langit.

“Radak merupakan daerah pasang surut rendah. Adaptasinya ekstrem,” kata Mulyoto, Kepala Bidang Pembinaan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi, Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Provinsi Kalbar.

Meski tanah subur, bila turun hujan sebentar saja, wilayah itu tergenang air. Ini tak cocok bagi tanaman tahunan. Misalnya, tanaman kelapa. Biasanya kelapa akan mati setelah kena air pasang. Warga pun tidak menanam kelapa lagi. Tanah hanya cocok bagi padi. Panennya setahun sekali. Setiap hektare biasanya menghasilkan 2 ton gabah. Kalau tak jadi, paling 5 kuintal. RW 1 - 3 wilayahnya agak tinggi dan subur. Warga bisa menanam berbagai macam sayuran, ubi kayu, dan jagung.

Untuk memulai hidup, para transmigran mendapat bantuan jatah hidup selama setahun. Karena mereka tinggal di daerah pasang surut, pemerintah memberikan bantuan untuk 18 bulan. Jatah setiap bulan, kepala keluarga atau bapak mendapat 17 kg beras, ibu 10 kg, dan anak 7,5 kg. Juga mendapat minyak goreng 3 kg, gula 3 kg, kacang ijo 3 kg, dan ikan asin 5 kg.

Pemerintah juga memberikan peralatan pertanian seperti cangkul, parang, linggis, dan kapak. Setelah para trans menanam padi, mereka mendapat sekantong pupuk urea 50 kg. Warga perempuan juga mendapat 1 stel kebaya dan jarik.

Warga mendapat 2 hektare tanah. Seperempat lahan pekarangan, 1 hektare lahan usaha, dan ¾ lahan usaha dua, yang hingga 26 tahun masih berupa hutan.

Para transmigran mendapat rumah papan tipe 36. Rumah ini sangat sederhana. Berlantai tanah dan berdinding papan kayu atau papan partikel. Bila terkena hujan, papan melengkung. “Kami sering menyebutnya karbot meteng,” kata Endang Kusmiyati, warga trans dari SKPD D Sintang. Meteng dalam bahasa Jawa berarti hamil. Banyak rumah warga papannya lepas dan bertebaran di sekitar area desa.

Di SKPD ada 7 desa. Ada Satuan Pemukiman (SP) 1 - 8. Daerah itu sekarang lebih dikenal dengan nama Pandan. Ketika pertama kali ditempati pada tahun 1982, daerah itu masih berupa hutan lebat yang baru dibuka. Masih banyak kayu besar di sekitar rumah warga. Begitu juga binatang liar, semisal ular, masih menjadi ancaman.

Cuaca dan kondisi tanah di Kalimantan sangat berbeda dari Jawa. Hal itu membuat warga harus menyesuaikan diri. Perubahan drastis membuat banyak warga meninggalkan lokasi transmigrasi. Kalaupun bertahan, mereka harus makan seadanya. “Selama berbulan-bulan kami biasa makan ubi rebus saja atau makan pakai garam,” kata Titin Suprihatin. Sesuai namanya, dia dan keluarganya hidup prihatin di daerah transmigran.

Pemerintah menyediakan sekolah bagi anak transmigran. Satu sekolah untuk satu pemukiman yang baru dibuka. Sekolah itu jauh dari rumahnya. Titin berjalan kaki sekitar 2,5 km ke sekolahnya. Kalau ada teman bersepeda, ia membonceng. Selepas kelas VI SD, ia menjadi buruh tani. Tugasnya menjaga sawah.

Titin kemudian masuk tsanawiyah, karena ingin juga mendapat pelajaran agama. Selain itu, jaraknya tak begitu jauh dari rumah. Ada SMP, namun sekitar 4 km dari rumah. Titin bertahan hanya sampai kelas II tsanawiyah, karena tak ada biaya.

Selepas putus sekolah, Titin bekerja di luar wilayah transmigrasi. Ia bekerja serabutan. Menginjak dewasa, ia dijodohkan dengan Suryono. Kedua orang tua berteman. Setelah tiga hari kenalan, keduanya menikah. “Ya, kita nurut orang tua saja. Dari awal saya terima dia apa adanya,” kata Titin.

Pada awal pernikahan, Titin biasa makan nasi dengan lauk garam saja. Setahun menikah, pada 2001, anak pertama lahir. Begitu anak kedua lahir dan mulai ada kebutuhan, keduanya memutuskan pindah ke Kecamatan Sungai Raya.

“Di Terentang sempit cari lapangan kerja,” kata Suyono. Menjual hasil bumi juga sulit, karena jalan jelek. Hasil pertanian hanya cukup untuk makan. Semua kebutuhan sehari-hari dicukupi hanya dari hasil bertani. Tak ada penghasilan sampingan. “Namanya orang, tentu ingin perubahan,” katanya.

***

Radak I masuk wilayah Kecamatan Terentang. Pertama kali ditempati transmigran pada tahun 1984 ada 500 keluarga. Pada 2010 tinggal 439 keluarga. Padahal, idealnya ada 3.000 keluarga.

“Karena tak ada penghidupan, orang pergi ke kota untuk mengubah nasib. Kalau ekonomi cukup, warga tidak akan pindah ke kota,” kata Sumardi (36), Kepala Desa Radak I.

Sumardi tinggal 26 tahun di Radak. Ia menjadi kepala desa angkatan ketiga. Jabatan itu warisan dari kakek dan bapaknya.

Sumardi menyebut Kecamatan Terentang TTT. Artinya, tertinggal, telantar, dan terisolir. “Karenanya, Kecamatan Terentang harus dipacu,” katanya.

Sumardi menilai pemerintah belum memberikan terobosan. Ada perusahaan besar masuk Terentang, namun belum memberikan kontribusi bagi warga. Misalnya beroperasinya tiga perusahaan yang bergerak di bidang hutan tanaman industri (HTI), yaitu PT Iciko, BPG, dan Rezeki Kencana. Warga transmigran kurang dilibatkan dari segi lapangan kerja. “Kalaupun ada yang kerja di HTI, hanya sebagai kroco.”

Menurut dia, daya tampung banyak, investor sudah ada, tapi tak bisa beroperasi secara penuh. Pemerintah harus mendukung sektor pertanian. Caranya, memberikan alat dan mesin pertanian. Selama ini warga menggunakan pola tanam tanpa olah tanah (TOT).

Sumardi berharap pemerintah memberikan bantuan alat pertanian agar program peningkatan beras lokal Kabupaten Kubu Raya dan Terentang sebagai penyangga pangan, tercapai. “Insya Allah dengan cara itu, urbanisasi bisa diperkecil, sehingga menuntaskan pengangguran,” katanya.

Sampai saat ini belum ada transportasi darat dari Pontianak ke Terentang. Ada Sungai Kapuas yang membatasi. Perjalanan ke Terentang dapat ditempuh dari Sukalanting di Kecamatan Sungai Raya ke Teluk Bayur, Kecamatan Terentang. Butuh waktu 5 jam hingga 6 jam dengan perahu klotok. Biayanya Rp 20 ribu. Bila menggunakan speed boat 40 PK dapat ditempuh sekitar 1 jam. Biayanya Rp 50 ribu.

Sebelum ke penyeberangan ke Sukalanting, jalan harus diperbaiki. Butuh waktu 1 - 2 jam dari Sukalanting ke Pontianak. Padahal, jaraknya tak lebih dari 35 km. “Idealnya, akses ke ibu kota harus ada jalan yang baik,” kata Rasudi, Camat Terentang.

Tak adanya jalan membuat warga kesulitan memasarkan hasil pertanian, karena akan lama di perjalanan. Ongkos pun jadi mahal. Namun, waktu lebih penting. Lama di perjalanan akan membuat sayur layu, busuk, dan tak laku.

Penduduk Terentang sekitar 11 ribu jiwa. Tingkat kepadatan penduduk masih rendah. Masih banyak lahan tidur tak digarap. Pada tahun 2010 ada 100 keluarga transmigran masuk ke Terentang. Mereka akan ditempatkan di Terentang Hulu.

“Terentang kecamatan yang tertinggal. Investor bisa masuk ke Terentang untuk atasi pengangguran,” kata Rasudi.

Hal yang sama dikatakan Muhammad Layim, dari Pemuda Pelopor. Menurut dia, Terentang daerah yang ditinggalkan dari segi pembangunan. “Kurang ada perhatian,” katanya. Tidak ada tindak lanjut dan kesinambungan pembangunan dari segi ekonomi, sosial, dan ekologi. “Kalau kita kritis dianggap musuh.”

Menurut Layim, masyarakat harus ikut berperan. Pemerintah juga harus melakukan sosialisasi, begitu ada pembangunan. Menciptakan modal butuh bimbingan. “Agar tidak terputus, karena SDM-nya rendah.”

Ia berkata, pemerintah setempat harus proaktif dari segi permodalan dan kembangkan potensi. “Sarana dan prasarana sangat tidak mendukung. Sehingga orang kabur dari sana,” kata Layim. (bersambung)

sumber : VHRmedia / Muhlis Suaheri

2 komentar:

Anonim mengatakan...

benar bgt tuh, terutama kepdes nya gk pro warga, malah pro pengusaha, warga cm jd kroco, gk lama lg sistem outsourcing.

Unknown mengatakan...

SUNGAI RADAK MENINGGALKAN KENANGAN YG DALAM BAGI SAYA KARENA BESAR DI SANA.. PERJUANGAN. KERINGAT.AIRMATA.. MENJADI PACUAN UNTUK TETAP BANGKIT MENJADI PEMENANG

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?