SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Derita di Tanah Sabrang (1)

| | |
Tekanan ekonomi mendesak ibu perantau nekat. Mencoba mengakhiri hidup bersama tiga anak.

Minggu 25 Juni 2010. Titin Suprihatin baru saja mencuci piring di dapur. Ia bergegas menuju ruang tengah rumah kontrakannya. Yang tampak hanya televisi 14 inch. Itu pun sedang rusak. Ia tak ada hiburan lagi. Bola lampu 15 watt tak menyisakan sinar terang, meski cat warna putih mendominasi warna tembok. Temaram mendominasi kondisi rumah. Sejenak, perempuan 29 tahun ini memperhatikan kaleng racun serangga di ruang itu.

Tiba-tiba ia meraih kaleng dan menuangkan dua sendok ke gelas. Segelas teh menjadi alat pencampur. Ia biasa memberi anak-anaknya jamu. Sejurus kemudian Titin menyuruh bocah-bocah itu minum “jamu”.

Asiah, 9 tahun, dan Satrio Sujatmiko, 6 tahun, segera meraih gelas dan meminumnya. Si bungsu, Ahmad Hadi Waluyo, 3,5 tahun, sudah terlelap. Titin kemudian minum setengah gelas. Asiah dan Waluyo muntah.

Merasa tak ada hasil, Titin mengambil pisau di dapur. Pergelangan tangan kanan ketiga anaknya diiris satu per satu. Selepas itu ia mengiris pergelangan kirinya dengan parang. Ibu dan tiga anak bersimbah darah. Lantai kamar depan yang terbuat dari papan menjadi saksi upaya bunuh diri.

Saat keempatnya meregang nyawa, Suyono, 46 tahun, sang kepala keluarga, tiba. Suyono baru saja memarkirkan gerobak baksonya di pelataran rumah. Begitu masuk rumah, ia heran ada suara ribut-ribut. Lebih mengherankan lagi, pintu kamar bagian depan terkunci dari dalam. Tak biasanya pintu dikunci.

Suyono berteriak minta istrinya membuka pintu. Tak digubris. Malah, sang istri menjawab, “Sudah, kamu urus diri sendiri saja.”

Merasa ada yang tak beres, Suyono mengambil kapak di dapur. Ia mencongkel pintu kamar. Begitu terbuka, ia kaget bukan kepalang. Darah berceceran di lantai kamar 3x3 meter itu.

Suyono segera menghubungi Santoso, Ketua RT 12 RW 06. Santoso bergegas bersama istrinya, Juwariyah, menuju rumah kontrakan Suyono. Melihat empat orang bersimbah darah, Santoso dan Juwariyah yang hanya mengenakan daster menuju ke rumah sakit terdekat dengan sepeda motor. Keduanya menyusuri kegelapan di jalan sempit dan berkelok sepanjang satu kilometer. Sesampai di rumah sakit militer, petugas jaga menyarankan melapor ke polisi, karena polisi punya mobil untuk membawa korban ke rumah sakit. Keduanya segera ke Polsek Parit Baru di Sungai Raya. Polisi pun menuju rumah korban.

Malam itu juga empat korban segera dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Soedarso, Pontianak. Nyawa mereka terselamatkan. Si sulung paling parah lukanya.

Santoso tak habis pikir atas kejadian itu. “Selama ini saya lihat bapaknya baik saja. Keluarga itu tak pernah bertengkar dengan warga,” katanya. Istrinya, Juwariyah mengaku pernah mendapat cerita soal Titin. “Kalau motong wortel, perasaan selalu ingin motong tangan sendiri terus,” kata Juwariyah.

Astuti, adik Titin, juga kaget. Sehari sebelumnya ia bertandang ke rumah kakaknya itu. Ia tak melihat permasalahan di keluarga kakaknya. “Mbak Titin orangnya pendiam. Kalau ada masalah juga diam,” ujarnya.

Asro, suami Astuti, juga kaget. Ia heran mengapa iparnya itu berbuat nekat. Yang dia tahu, Suyono pernah marah kepada Titin. Saat itu Suyono hendak belanja keperluan dagangan baksonya. Ia biasa berangkat pukul 5 pagi. Suyono minta Titin menyeduh kopi. Namun, kopi habis dan sepagi itu toko belum buka.

Titin juga sedang risau. Utangnya Rp 500 ribu kepada keluarga adiknya belum terbayar. Padahal, ia berjanji mengembalikan utang itu dalam waktu sebulan. Ditambah lagi, anak keduanya harus masuk sekolah. Ia butuh uang.

Sedangkan hasil berjualan bakso hanya cukup untuk makan. Sedari pagi keluarga ini sudah mempersiapkan dagangan. Suyono berangkat pukul 11 siang dan pulang pukul 10 malam. Penghasilan dari berjualan bakso dengan modal Rp 150 ribu itu per hari Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu.

Sejak harga kebutuhan pokok melonjak, harga bahan baku bakso pun naik semua. Sebelumnya Suyono hanya perlu modal Rp 50 ribu, kini harus mengeluarkan Rp 150 ribu. Celakanya, ia tak bisa menaikkan harga bakso dagangannya.

Suyono tak menyangka istrinya bisa senekat itu. “Karakter istri baik dengan keluarga. Ia sedang khilaf saja, karena ekonomi atau apa,” katanya. Menurut dia, sebelumnya tak ada apa-apa. Ibaratnya, makan dengan garam saja bisa terima.

Ditemui di RSUD Soedarso, Titin mengaku tak punya alasan jelas mengapa melakukan perbuatan itu. “Tak ada masalah. Tiba-tiba kepikiran, anak akan kasihan kalau saya tinggal mati,” katanya. Ia mengaku sangat menyayangi ketiga anaknya.

Selama ini Titin jarang ke mana-mana. “Memang suntuk. Mau ke mana bingung. Pakai motor tak tahu jalan, dan takut ditilang polisi,” ujarnya.

Titin punya penyakit darah tinggi. Terakhir sebelum kejadian, tekanan darahnya 150/100. Biasanya tekanan darahnya normal.

Keluarga Titin telah menetap lima tahun di Desa Parit Baru, Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Sebelumnya, ia warga transmigrasi di Desa Radak, Kecamatan Terentang, Kubu Raya. Ia berusaha mencari penghidupan lebih baik. Selama merantau, ia sudah sanggup membeli tanah dan kredit sepeda motor. Ia beberapa kali pindah rumah kontrakan. Rumah terakhir baru ditempati tiga minggu. Penghuni sebelumnya Agus.

Berita mengenai keluarga ini segera merebak. Tak urung, Bupati Kubu Raya, Muda Mahendrawan, menjenguk korban di RSU Soedarso. “Saya turut prihatin dengan masalah ini,” katanya.

Camat Terentang, Rasudi, dan Kepala Desa Radak I, Sumardi, bahkan datang menjemput warganya tersebut. “Kami tak ingin anaknya putus sekolah,” kata Rasudi.

Banyak kecaman terhadap Titin atas perbuatannya. Ada yang berharap dia dihukum. Ada pula yang tak setuju. Pertimbangannya, jika dia dihukum, bagaimana nasib anak-anaknya?

“Tidak semua masalah hukum harus diselesaikan secara hukum, walaupun itu melanggar hukum. Tapi, ada cara pendekatan lain,” kata Kapolda Kalbar Brigjen Erwin TPL Tobing pada Hari Bhayangkara Ke-64, Kamis (1/7).
Devi Tiomana dari Yayasan Nanda Dian Nusantara berpendapat, peristiwa itu tak harus diselesaikan secara hukum, walaupun ada unsur hukum di dalamnya. “Harus ada kebijakan bagi kebaikan anak, lek spesialis. Agar tak memunculkan masalah baru,” katanya.

Menurut Devi, harus dilakukan pendekatan psikologi dan psikososial. Psikologi orang tua dan anak harus dipulihkan melalui terapi. Anak harus pulih secara psikologi, agar percaya kepada orang tuanya lagi. Dalam psikologi anak sudah tertanam bahwa ibunya jahat dan berusaha membunuh. “Hal itu harus dipulihkan.”

Begitu pula dengan lingkungan sosialnya. Harus ada pemulihan secara sosial agar warga bisa menerima Titin kembali. “Kalau bisa lakukan pemulihan yang tepat, dia akan belajar. Kalau melakukan relasi sosial, dia akan banyak belajar,” kata Devi.

Dalam hal ini, kata Devi, peran pemerintah harus kuat agar tak timbul permasalahan lagi ke depan. (bersambung)

SUMBER VHRmedia / Muhlis Suhaeri

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?