PENGUNJUNG MUSEUM Nelson Mandela bisa menyaksikan tayangan audio visual mengenai sejarah Afrika Selatan (Afsel) beberapa abad yang lalu. Dalam tayangan tersebut disebut-sebut nama Madagaskar dan Indonesia sebagai “pengimpor” budak ke Afrika Selatan yang dibawa para penjajah Belanda (Belanda). Ketika itu, orang-orang Belanda menjadi penguasa di Afrika Selatan, sebelum akhirnya dikalahkan Inggris pada perang Boer.
Anehnya, sebagian besar orang asli Afrika Selatan tidak mengenal Indonesia. Ketika ditanya, apakah Anda tahu Indonesia? Jawaban mereka beragam, “Malaysia?” atau “Cina”, bahkan ada yang mengatakan “Bali”. “Indonesia memang harus bekerja keras untuk memperkenalkan diri. Malaysia lebih dikenal di sana dibandingkan dengan Indonesia. Bahkan, Cape Malay sudah ‘diklaim’ oleh Malaysia. Padahal, tempat tersebut sangat erat kaitannya dengan sejarah Indonesia di Afrika Selatan,” kata Ali Hasan, Wakil Direktur Indonesian Trade Promotion Centre (ITPC).
Cape of Good Hope adalah tempat pertama kalinya para budak asal Jawa dan Madagaskar mendarat di Afrika Selatan pada sekitar tahun 1652. Para budak tersebut kemudian dinamai etnis Cape Malay. Namun, karena namanya Malay, maka orang-orang Afrika Selatan lebih mengenal Malaysia dibandingkan dengan Indonesia.
Datangnya para budak dari Indonesia disusul dengan pengasingan Syech Yusuf dari Makassar di Cape Town pada 1694 oleh Belanda semakin meneguhkan posisi Indonesia dalam sejarah Afrika Selatan. Bahkan, Syeh Yusuf, ulama muda dan juga pemimpin tentara Kesultanan Banten, juga merupakan penyebar agama Islam pertama di bagian selatan benua hitam ini. Selain Syeh Yusuf, sebenarnya ada nama lain seperti Abdullah Ibn Qadi Abdussalam asal Tidore.
Belanda sangat khawatir dengan perkembangan Islam di Cape Town, kemudian memindahkan dan mengisolasi Syeh Yusuf ke Zandvliet, di luar Cape Town. Namun, upaya Belanda tersebut gagal dan Islam tetap berkembang pesat di Cape Town.
Kesadaran sebagai orang asal Indonesia sudah dirasakan oleh beberapa orang Afrika Selatan terutama para Muslim. Bahkan, mereka langsung menyatakan mereka juga keturunan Indonesia khususnya Banten. Salah seorangnya adalah Ibrahim Salleh, Kepala Sekolah Muslim Bosmont.
Ibrahim mengakui, memang sebelumnya ada “kesalahpahaman” tentang Malay. Menurut Ibrahim, asumsi orang selama ini Malay sama dengan Malaysia, dan mereka juga diidentikan dengan keturunan Malaysia. “Namun, kami sudah tahu anggapan itu salah,” ujarnya.
Ibrahim sendiri tidak mengetahui bagaimana nama tempat tersebut kemudian disebut Cape Malay. “Mungkin karena berasal dari daerah atau kawasan orang-orang Melayu kemudian dinamakan Malay. Sebenarnya pula, para budak tersebut bukan berasal dari etnis Melayu. Para budak disebutkan didatangkan dari Jawa, sedangkan Syeh Yusuf orang Makassar,” ujarnya.
Cape Malay yang sekarang ini juga disebut Cape Muslim, sudah menjadi etnis tersendiri di Afrika Selatan. Pada masa apartheid, etnis Cape Malay masuk dalam golongan kulit berwarna (colored), kastanya lebih tinggi dibandingkan dengan kulit hitam, tetapi di bawah kulit putih.
Populasi etnis Cape Malay sekarang ini sekitar 166 ribu di Cape Town dan sekitar 10.000 di Johannesburg. Orang-orang Cape Malay juga penentang apartheid, salah seorang pimpinannya adalah Farid Esack.
Karena “kesalahpahaman” kemudian “klaim” Malaysia, Indonesia harus berjuang untuk memperkenalkan diri. “Mengubah persepsi orang sangat sulit, tetapi kami akan terus memperkenalkan Indonesia di Afrika Selatan. Indonesia merupakan bagian dari sejarah Afrika Selatan,” ujar Ali Hasan. [*] PR/DPT
http://www.dapunta.com/belanda-impor-budak-indonesia-ke-afsel.html
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar