Kampung mereka ditenggelamkan. Korban ”rezim pembangunan”. Hilang tanah air.
Korban-korban Rezim Soeharto
Matahari menggelincir ke barat. Sebentar lagi senja menyelimuti Dusun Nglanji Baru Blok A, Grobogan. Lelaki tua bertubuh kurus itu tekun mencangkul lahan becek calon persawahan.
Sawah yang mereka cangkul sesungguhnya bagian dari Waduk Kedungombo. Karena air sedang surut, lahan tersebut dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Tiga petak sawah kurang dari seribu meter tampak baru selesai ditanami.
“Dulu sawah saya di sana,” kata Atmo menuding ke tengah danau. ”Itu yang terlihat ada keramba apungnya. Dulu sepanjang waktu saya bisa menanam dan tidak perlu menunggu air surut. Sekarang harus menyesuaikan diri dengan air waduk.”
Tidak jauh dari situ, anak-anak Dusun Nglanji asyik bermain bola di tanah waduk yang kering. Sorak sorai membuncah diselingi gelak tawa.
”Anak-anak bisa main bola seperti ini, tidak sepanjang tahun. Harus menunggu air surut. Lapangan itu lebih tinggi, jadi surutnya lebih cepat dan rumputnya masih ada. Orang-orang tua harus menunggu lebih lama lagi untuk bisa bertani,” ujar Atmo.
Waduk Kedungombo dibangun tahun 1987 menggunakan utang Bank Dunia US$ 156 juta. Sebanyak 37 desa di 3 kabupaten, Sragen, Grobogan, dan Boyolali, ditenggelamkan untuk waduk ini.
Warga protes. Uang ganti rugi lahan Rp 250 per meter sangat tidak manusiawi. Ismail, Gubernur Jawa Tengah saat itu, diduga menyunat uang ganti rugi karena besaran yang ditetapkan Menteri Dalam Negeri Rudini Rp 3.000 per meter.
Dua puluh tiga tahun berlalu. Warga korban Waduk Kedungombo masih dibekap kemiskinan. Kondisi rumah warga dan kandang sapi hampir sama. Reot, kusam, dan pengap.
Dulu pemerintah pernah berjanji waduk akan menyejahterakan warga. Bendungan akan mengendalikan banjir, mengatur irigasi, dan menghasilkan tenaga listrik.
Melawan Kedungombo
Hutan jati yang tidak terawat di sekitar desa menambah gersang kondisi. Dulu, hutan jati ini menjadi tempat bersembunyi warga yang menolak pembangunan Waduk Kedungombo.
Djaswadi adalah salah satu pemimpin warga yang menolak pembangunan Waduk Kedungombo. Menurut dia, bersembunyi di dalam hutan jati adalah pilihan terakhir lari dari kejaran tentara.
“Situasi saat itu mencekam. Warga yang menolak, ditransmigrasikan dan mendapat teror kekerasan. Tentara di mana-mana. Intel lebih banyak lagi. Itu yang menyebabkan warga memilih tinggal di hutan,” kata Djaswadi.
Sebagian laki-laki hidup bersembunyi dalam hutan. Perempuan dan anak-anak bertahan di kampung yang mulai digenangi air. Mereka menyingkir setelah kampung benar-benar ditenggelamkan.
”Beberapa orang ditembak. Bahkan ada yang ditenggelamkan dan disiksa. Saya sempat diculik dan dibuang ke Jambi serta Papua. Saya kabur dari tempat pembuangan dan kembali bersama warga yang masih bertahan untuk melawan, meskipun itu harus saya lakukan dalam hutan,” ujar Djaswadi.
Tahun 1989 warga yang masih mempertahankan tanahnya diisolasi dan dibiarkan mati kelaparan. Masyarakat dari luar wilayah dilarang masuk. Warga yang keluar desa harus menyerahkan kartu tanda penduduk.
”Jika tidak memiliki KTP, mereka harus mengurus. Namun, ketika akan mengurus KTP, warga dipaksa memberikan cap jempol atau tanda tangan kesediaan pindah. Jika melawan, KTP akan dibubuhi tanda eks tahanan politik. Anak bayi memiliki akta kelahiran yang di bawahnya ada tulisan ’anak eks tapol’,” kata Djaswadi.
Kini warga yang bertahan bermukim di hutan yang diubah menjadi permukiman. ”Mereka yang tinggal di dekat genangan bisa bercocok tanam jika air waduk surut. Warga yang tidak memiliki lahan harus mencari ikan untuk menyambung hidup,” ujar Gino, warga Kedungombo.
Mahasiswa yang membantu perjuangan warga Kedungombo sempat mengajarkan membuat keramba. ”Setelah warga mahir, justru dimanfaatkan orang luar. Keramba-keramba besar justru dimiliki orang di luar kampung. Warga sekitar hanya menjadi buruh dan mendapat upah kecil,” kata Gunawan Budi Susanto, mantan aktivis mahasiswa pendamping warga Kedungombo.
Gino menuturkan, saat ini warga dianggap mencuri jika mengambil ikan terlalu banyak. Menangkap ikan di waduk harus mendapat izin. ”Kalau hanya satu kilo, boleh,” ujarnya. (E1)
Foto: VHRmedia/ Andhika Puspita
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar