Transmigrasi yang terencana dapat memperbaiki ekonomi pendatang. Juga mengajarkan etos kerja keras bagi penduduk lokal.
Sebagai wilayah dengan luas sekitar 146.807 km2, Kalimantan Barat merupakan wilayah terbesar keempat setelah Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Luas Kalbar 7,53 persen dari luas Indonesia atau 1,13 kali luas pulau Jawa. Berdasarkan sensus terakhir, jumlah penduduk Kalbar 4.4247.516 jiwa dengan kepadatan 28 jiwa/km2. Kalbar memiliki 12 kabupaten dan 2 kota madia, meliputi 149 kecamatan, 80 kelurahan, dan 1.417 desa.
Kalbar ditetapkan sebagai daerah transmigrasi melalui Keppres 12/1974 tanggal 11 Maret 1974. Transmigrasi pertama di Kalbar di Sungai Durian, Kubu Raya, dekat Bandar Udara Supadio. Namanya Trans Obyek.
Data dari Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi, sejak ditetapkan pada 1974 hingga 2008, terdapat penempatan transmigran 125.186 keluarga yang meliputi 512.310 jiwa. Pada 2009 terdapat penambahan 725 keluarga. Hingga tahun 2008 dibangun 328 unit pelaksana teknis. Tahun 2009 terdapat sebuah UPT baru. Terdapat 212 UPT yang menjadi desa. Jumlah itu merupakan 15,80 persen dari jumlah desa di Kalbar. Sepuluh UPT menjadi kecamatan. Luas area yang dibangun 271.975 hektare, dengan asumsi setiap keluarga mendapat 2,21 hektare.
Dari ketersediaan lahan, sebagian besar wilayah Kalbar dapat menerima transmigrasi. “Cuma, tergantung pemerintah daerah. Mau atau tidak membuat program transmigrasi,” kata Akhmadi.
Kubu Raya merupakan salah satu kabupaten yang masih menerima transmigran. Masih banyak wilayahnya yang bisa ditempati transmigran. “Transmigrasi untuk membuka memotifasi masyarakat lokal. Yang paling penting di program transmigrasi sekarang adalah diperencanaan,” kata Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan.
Mahendrawan menilai ada sisi positif program transmigrasi pada masa Orde Baru. Namun, kadang tumpang-tindih juga. Sekarang semua pemda menangani. Karena itu, perlu ada sinergi dengan pemda dalam kerangka pemberdayaan masyarakat, pendidikan, dan lainnya. Artinya, harus mendasar pada pelayanan.
Mahendrawan mengapresiasi baik otonomi daerah. Pemda diberi hak menentukan kebutuhannya. Ada perjanjian dengan daerah pemasok transmigrasi, sebelum pelaksanaan kegiatan. “Sebab, transmigrasi tidak sekadar memindahkan penduduk, tapi lebih pada pemberdayaan daerah,” katanya.
Menurut dia, pada transmigrasi pasca-otonomi daerah, pemda diberi peran menentukan kebutuhan sendiri. Tidak asal mendatangkan transmigran, tapi dicarikan dulu daerah yang akan mengirimkan transmigran. “Bahkan, kita juga tahu CV-nya. Mereka seperti apa, kita harus tahu.”
Pemda lebih leluasa memilih peserta transmigrasi. Misalnya, pilihan peserta yang ahli di bidang tertentu. Setelah itu disampaikan ke Departemen. Kalau cocok, baru perjanjian kerja sama dengan daerah pengirim transmigrasi. Misalnya, Kubu Raya ingin mengembangkan ternak itik di wilayahnya, maka dalam penentuan peserta transmigrasi dapat mengajukan peserta trans dari Brebes, Jawa Tengah. Sebab, daerah itu terkenal sebagai ahli beternak itik.
Menurut Mahendrawan, program transmigrasi ideal bagi orang yang bermukim di lokasi baru berbaur dengan penduduk setempat, dengan fasilitas pemerintah. Dalam hal ini berbagi segalanya. Penduduk setempat mempunyai banyak sumber daya alam, tapi minim keterampilan. Transmigran yang didatangkan mempunyai keterampilan di atas rata-rata dan mempunyai etos kerja tinggi. Di lapangan mereka berbagi. “Ideal sekali, kalau mereka bisa bekerja sama dan saling memberi.”
Pemda harus menciptakan magnet terlebih dahulu. Misalnya dengan investasi yang masuk, agar orang tertarik mengirimkan peserta transmigrasi. Menurut dia, transmigrasi melibatkan pihak swasta dengan pemda. Misalnya, perkebunan jagung. Ketika kebun jagung sudah berjalan, transmigran bisa masuk. Dengan adanya perkebunan, ada jaminan hidup ke depan. “Jauh lebih baik dari sistem dulu. Pemda lebih leluasa memilih trans,” katanya.
Dari segi komposisi, transmigran juga disandingkan dengan translokal. Transmigran lokal ditentukan pemda. Warga yang bermukim di lingkungan padat dan sesak, bisa dipindahkan. “Warga yang tak ada harapan lagi, kita giring ke daerah yang sudah ada jaminan transmigran,” katanya.
Pemda juga ingin terjadi perubahan sosial pada masyarakat lokal. Untuk menciptakan masyarakat produktif, salah satu cara dengan membuat warga heterogen. Warga transmigran diharapkan bisa memberikan motifasi dan inspirasi. Ketika warga lokal bergaul dengan warga pendatang, ada sesuatu bisa dipelajari. Sikap produktif warga transmigran diharapkan menular. “Transmigrasi mengajak perubahan sosial, agar tidak stagnan,” kata Mahendrawan.
Karena itu, perencanaan pemda harus tepat, agar potensi dapat dimaksimalkan. Di daerah, semua instrumen harus diperkuat. Tidak hanya mencetak sawah, tapi kelembagaan petani juga harus diperkuat, permodalan, teknologi, transportasi, akses keluar-masuk harus dipikirkan dari awal.
Mahendrawan berpendapat, jika pemda hanya berorientasi pada proyek dan agar transmigrasi bisa masuk, tanggung jawabnya bakal lebih besar. Sebab, tanpa disadari, jika ada transmigran tak betah, akan berpengaruh terhadap warga lainnya. Padahal, pemda ingin warga berpikir terbuka, sehingga ada perubahan sosial.
Dia berharap, melalui cara tersebut, muncul partisipasi. Intinya, bagaimana cara warga ikut berpartisipasi. Salah satu caranya mendorong komunitas produktif, sehingga menular terhadap warga setempat.
Lokasi transmigrasi harus dilihat kembali ke tata ruang pengembangan kawasan, bagaimana pemda fokus dengan sektor sistem yang dibangun. Misalnya, mengenai pertanian. Kalau orientasinya lebih pada bagaimana menentukan lahan, akan terjadi benturan. Misalnya, lahan produktif tak bisa untuk sawit. Dari segi ketahanan pangan dan lahan produktif berkelanjutan, bagaimana komitmen daerah itu. Harus ada lahan pangan di sana.
Pemda harus melihat struktur masyarakat setiap desa. Harus ada datanya, sehingga bisa melihat kapasitasnya. Harus dibuka peluang investasi. Cara menentukannya, melihat prospek di wilayah itu. “Biasanya kita menyediakan wilayah pencadangan dan dibuatkan SK,” kata Mahendrawan.
Pemda juga membuat program wilayah cadangan bersertifikat, sehingga ketika transmigran masuk, fasilitas sudah ada. Pembangunnya bisa dilakukan investor atau pemda. Tenaganya pun harus dipersiapkan.
Mahendrawan tak menampik pada era otonomi daerah, banyak pejabat yang kemampuannya tak sesuai. Termasuk penempatan pejabat di transmigrasi. Menurut dia, hal itu kembali pada punya visi atau tidak seorang kepala daerah. “Karena terlalu banyak kooptasi dalam masalah politik. Akhirnya, kerja tak bisa berjalan,” katanya.
Mengenai syarat pembukaan wilayah baru untuk lokasi transmigrasi, Untung Hidayat mengatakan, daerah yang mempunyai program transmigrasi mengajukan usul ke pemerintah pusat. Setelah itu, Departemen Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi mencari daerah yang siap memberangkatkan transmigran. “Ada legalitas lahan untuk transmigrasi.”
Mekanismenya, dimulai dari desa yang ingin ada penempatan program transmigrasi. Usulan melalui Badan Perwakilan Desa, diteruskan ke kecamatan dan kabupaten. Setelah ada pertemuan di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten, dilanjutkan peninjauan lokasi. Bupati kemudian mengusulkan ke provinsi yang mengadakan identifikasi lokasi. Usulan kemudian diteruskan ke Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui Dirjen Pembinaan Penyiapan Pemukiman Penempatan Transmigrasi (P4T). Setelah itu pusat membahas usulan tersebut.
Jika lokasi dapat untuk transmigrasi, bupati membuat surat keputusan pencadangan lahan. Setelah SK terbit, pemda harus membuat studi kelayakan melalui rencana teknis satuan pemukiman (RTSP) untuk mengetahui daya tampung lahan tersebut.
Pada studi kelayakan, lahan harus memenuhi syarat 2C4L atau clear and clean. Artinya, lahann harus jelas dan ada batas-batasnya serta bebas dari kepemilikan atau penggunaan. Surat-surat tanah harus jelas agar tidak ada konflik di kemudian hari.
RTSP yang menentukan 4L, yaitu layak lingkungan, layak huni, layak berkembang, dan layak usaha. Layak lingkungan berarti lahan bisa dikembangkan, tidak merusak lingkungan, dan tidak ada konflik dengan penghuni. Layak huni, lahan bisa dihuni dan layak dijadikan permukiman. Layak berkembang, antara investasi dan hunian bisa sesuai. Misalnya, membangun jalan tidak terlalu panjang dan langsung bisa menuju lokasi transmigarsi. Kini
Idealnya, sekali penempatan 500 keluarga, sehingga bisa langsung menjadi satu desa. Rumah transmigran berupa rumah panggung dari kayu. Rumah itu dibangun seharga Rp 28 juta - Rp 29 juta. Dana itu sangat minim, karena rumah seperti itu minimal dananya Rp 36 juta. Fasilitas umum 1.300 meter - 1.500 meter. Pembangunan infrastruktur dananya hanya Rp 10 juta. Dana yang dibutuhkan untuk program transmigrasi setiap keluarga Rp 50 juta hingga Rp 60 juta.
Tahun 1990-an usaha perkebunan berkembang pesat. Tahun 1992 Departemen Transmigrasi mengembangkan transmigrasi perkebunan. Setiap keluarga mendapat 0,5 hektare lahan pekarangan dan 2 hektar lahan kebun kelapa sawit. Program itu dijalankan di Sambas, Bengkayang, Sanggau, Ketapang, Sekadau, Melawi, Sintang, dan Ketapang.
Beberapa perusahaan ada di lokasi transmigrasi, antara lain di Sambas terdapat PT Multi Inti Sejati Plantations, di Sanggau ada PT Multi Prima Entake dan PT Kalimantan Sanggar Pustaka, di Sintang ada PT PSDK, di Ketapang ada PT Benoa Indah Grup. Dengan masuknya perusahaan, jalan pun diperbaiki. Bagaimanapun, buah tandan segar (BTS) , membutuhkan angkutan dan jalan yang baik. Perusahaan ikut membuat dan memperbaiki jalan. Warga mendapat keuntungan dari akses jalan dan mudah menjual hasil bumi.
Sejak pertama digulirkan, permasalahan mendasar transmigrasi berkutat pada minimnya akses transportasi dan komunikasi, sehingga semuanya tidak lancar. Dengan adanya alat komunikasi, misalnya telepon genggam, kalaupun hasil bumi tak bisa dibawa ke pasar atau kota secara langsung, ada pedagang pengumpul. Mereka datang dan membeli hasil bumi. “Hasil muncul juga karena orang rajin bekerja dan transportasi serta komunikasi mulai lancar,” kata Hidayat.
Endang Kusmiyati merasakan perubahan warga transmigrasi di tempatnya tinggal. Sekarang ini Pandan sangat panas. Tak banyak lahan kosong untuk menggembalakan ternak kambing atau sapi, dengan masuknya perkebunan kelapa sawit ke desa sekitar tahun 1992.
Kini hampir semua lahan milik masyarakat telah diserahkan kepada perusahaan. Kesejahteraan karena kehadiran perkebunan tersebut masih begitu dirasakan sebagian besar masyarakat transmigran. Rumah-rumah karbot dan lampu sentir atau pelita tak ada lagi. Kendaraan roda dua terparkir hampir di setiap rumah, walaupun dengan status kredit.
Ada dampak positif. Kesejahteraan ekonomi sedikit demi sedikit merembet ke arah pendidikan. Dulu orang tua merasa cukup bila anaknya hanya tamat SMA. Kini mereka menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi. “Sudah tak terhitung jari lagi anak-anak trans yang telah menjadi sarjana,” kata Endang.
Namun, Endang juga kecewa atas santernya isu putra daerah saat berlangsung hajatan politik. Meski terlahir di Kalbar, ia seakan dianggap tidak memiliki hak yang sama dengan warga setempat. Dia mempertanyakan, mengapa mesti dibedakan putra daerah dan bukan putra daerah, atau pendatang dan bukan pendatang. “Bukankah lebih indah jika kita semua yang tinggal di bumi Kalimantan ini berlomba-lomba memberikan yang terbaik buat negeri ini, buat anak cucu pewaris negeri ini?” katanya.
Muda Mahendrawan menganggap euforia politik terkadang membuat orang menghembuskan isu putra daerah. Menurut dia, hal itu wajar, untuk menunjukkan eksistensi. “Saya lihat tanpa dorongan untuk muncul komunitas yang lain, pemahaman politik masyarakat menjadi lambat,” katanya.
Menurut Mahendrawan, percepatan perubahan sosial dan pemberdayaan bisa dilakukan melalui transmigrasi. “Semakin kita tutup, transmigrasi ibarat menjadi teror politik. Kesadaran, partisipasi politik, menjadi terlambat.” (Selesai)
sumber : VHRmedia / Muhlis Suhaeri
sumber foto : ceritaindonesia.wordpress.com, beritanusantara.com
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar