SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Derita Tiada Akhir Nelayan Muara Angke

| | |
Sampah menumpuk di pinggir pantai di kawasan Kampung Nelayan, Muara Angke, Jakarta Utara, Senin (22/6). Selain sampah yang terbawa aliran sungai, tumpukan sampah itu juga dari sampah rumah tangga milik warga di sekitar kawasan tersebut.

Oleh BM Lukita Grahadyarini



Casmadi (40) duduk melamun di kapalnya di pinggiran pantai Teluk Jakarta. Di sebelahnya, puluhan kapal kecil berjajar tanpa tuan. Empat bulan nelayan kecil Muara Angke menelantarkan kapal mereka.

Casmadi biasa mengoperasikan kapal berbobot mati 2 ton (GT) bersama tiga rekannya. Namun, sejak Agustus lalu kapal jaring rampus (penangkap rajungan) itu pulang tanpa hasil.
Casmadi dan tiga rekannya pun sejak Oktober lalu berhenti melaut. Selasa sore lalu hingga Rabu pagi Casmadi dan rekannya baru kembali melaut.

Namun, setelah melaut sejauh 2 mil (3,2 kilometer) dari bibir pantai mereka hanya mendapat 1 kilogram (kg) rajungan mati, yang biasanya tidak laku dijual karena dagingnya mudah hancur.

Namun, kali ini tengkulak masih membeli tangkapan Casmadi meski harganya hanya Rp 20.000 per kg. Biasanya harga rajungan Rp 26.000-Rp 28.000 per kg. ”Untung bos (tengkulak) mau membeli rajungan mati. Mungkin kasihan sebab kami sudah nekat menambah utang ke bos untuk modal melaut,” ujar Casmadi.

Hasil penjualan itu masih harus dibagi buat empat orang. Padahal, untuk biaya operasional melaut butuh Rp 80.000.
Pencemaran
Dalam kondisi normal, setiap nelayan kapal rampus mampu menjaring 10-15 kg rajungan per hari. Pencemaran laut yang parah telah membuat ikan di wilayah tangkapan nelayan kecil kian langka. Limbah pencemaran berwarna putih, kadang kehitaman, dengan bau menyengat, telah merusak ekosistem.

Bertahun-tahun Muara Angke menjadi ”tempat pembuangan sampah” Jakarta. Bagi nelayan, dampak pencemaran paling parah tahun ini. Pada September 2010 ikan dan rajungan mati mengambang di laut.
Ilyas, Ketua Kelompok Nelayan Pancing Sembilang, mengungkapkan, sekitar 30 nelayan sudah sebulan terakhir berhenti melaut. ”Dengan kapal ikan berbobot 1 GT, sama saja menjemput kerugian jika melaut tanpa hasil,” ujarnya.

Kondisi pembudidaya kerang hijau dengan lokasi budidaya di perairan 0,5-1 mil (0,8-1,6 km), lebih memprihatinkan. Pada bulan Oktober hampir seluruh kerang mati kena limbah.
Tahun-tahun sebelumnya limbah datang hanya pada musim hujan. Nelayan hanya berhenti melaut 3-4 hari. Setelah itu kembali melaut. Tahun ini tak lagi demikian, aliran limbah terus berlangsung karena hujan turun sepanjang tahun.

Nelayan pendatang yang berhenti melaut pulang ke kampung halamannya di Indramayu, Jawa Barat. Adapun yang masih bertahan menyambung hidup dengan berbagai cara.
Dalam situasi ini, tengkulak dan pedagang seolah menjadi ”penyelamat”. Hanya tengkulak yang mau meminjamkan modal untuk biaya melaut. Untuk makan sehari-hari, nelayan berutang ke pemilik warung.

Para nelayan tak peduli dengan bunga yang berlipat ganda, asalkan ”dapur” mereka bisa terselamatkan. Meski untuk itu, utang terus menumpuk.

Tidak melautnya nelayan kecil di Muara Angke berimbas kepada pemilik warung. Nelayan tak mampu membayar cicilan utang, pemilik warung pun kelimpungan memutar modalnya.
Edi Kuraedi, pemilik warung bahan bakar minyak di Blok Eceng, menutup warungnya karena tak ada nelayan yang melaut. Padahal, 64 perahu nelayan di blok itu masih berutang BBM di warungnya. Utang nelayan Rp 400.000-Rp 800.000 per orang.

”Kami sudah capek melapor ke LSM, aparat kelurahan, sampai kantor pelelangan ikan untuk mencari penyelesaian. Tak ada tanggapan,” kata Ilyas.

Harapan nelayan sederhana. Mereka hanya ingin pemerintah menghentikan pembuangan limbah ke laut.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Dedy Sutisna mengatakan bahwa pihaknya sudah memproses penyelesaian masalah di Teluk Jakarta dengan pemerintah daerah.

Dedy menyatakan, pencemaran bukan karena limbah, melainkan dampak reklamasi di pesisir utara Jakarta. ”Kami sedang memproses perkara ini,” ujarnya.
Entah kapan derita nelayan kecil berakhir. Mereka tak hanya ”bertarung” menghadapi gelombang lautan, tetapi juga ketidakpedulian, dan ketidakadilan.

Sumber :Kompas Cetak

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?