Sudah menjadi rahasia publik, mayoritas rakyat Indonesia lebih memilih jalan damai apabila bersinggungan dengan kasus hukum. Pertimbangannya sederhana, lebih ekonomis baik dari waktu dan biaya.
Pengalaman telah mengajarkan agar tidak mencari keadilan di lembaga peradilan. Pasalnya, untung tak dapat diraih dan malang tak bisa ditolak. Niat hati mencari keadilan, tapi bisa-bisa malah menjadi pesakitan.
Bagi yang belum pernah berurusan dengan aparat penegak hukum, tentu akan mengikuti arus mayoritas, karena sepanjang hayatnya senantiasa mendapat cerita serupa. Bahwa mencari keadilan di negeri ini tidak murah serta berisiko tinggi.
Situasi di atas, tentu muncul bukan tanpa sebab. Mahalnya ongkos mencari keadilan serta besarnya energi dan stamina yang dibutuhkan dipicu beberapa faktor. Salah satunya adalah berkeliarannya para markus alias cakil di berbagai sudut lembaga penegak hukum.
Fatalnya, profesi markus dan cakil seringkali diperankan oknum aparat penegak hukum itu sendiri. Anggodo yang diduga sebagai orang yang berprofesi sebagai markus, merupakan gunung es semata. Sejatinya di berbagai sudut lembaga penegakan hukum sudah dikapling para markus lain.
"Mereka saja cara masuknya sudah dengan menyuap, lalu apa yang bisa diharapkan setelah menjadi polisi atau jaksa," ujar civitas akademika Universitas Indonesia Heri Tjandrasari kepada okezone di Jakarta, Jumat (4/12/2009).
Faktor kedua, adalah prosedur hukum yang rigid dengan pengadilan sebagai muaranya. Bila bersinggungan dengan hukum, pidana dan perdata, maka proses hukum yang harus dilalui adalah penyidikan Polri, Kejaksaan, lalu pengadilan.
Dari masa pelaporan ke polisi atau dimulainya proses pemeriksaan hingga berkas dilimpahkan ke kejaksaan membutuhkan waktu yang tidak pendek. Bisa berbulan-bulan, tergantung kinerja para penyidik. Belum lagi oleh penyidik Kejaksaan berkas kasus bisa saja dikembalikan karena dianggap belum lengkap.
Proses selanjutnya adalah pengadilan dengan segala perangkat dan prosedurnya. Alhasil hanya individu yang memiliki "stamina" dan stamina tinggi yang bisa mencari keadilan. Proses yang panjang pasti menyita waktu dan biaya.
Tidak heran apabila para terdakwa miskin seperti Nenek Minah, Basar Suyanto, dan Kholil tak berkutik ketika duduk di kursi pesakitan. Mereka tidak hanya lemah secara finansial, tapi juga pengetahuan.
Hukum acara di pengadilan tentu bukan sesuatu yang mereka pahami, atau bahkan pernah dikenal. Di sisi lain, mustahil para terdakwa menyewa jasa pengacara, karena untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja sudah susah.
\
sumber okezone
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar