Oleh Bernadus Tokan
"Pada sekitar tahun 1930-an, kami memiliki ribuan pohon cendana. Pohon cendana itu ditanam almarhum ayah saya, Thobias Haumeni yang meninggal sekitar 40 tahun silam,".
Tatapi, semasa pemerintahan penjajahan Hindia Belanda di Timor, seluruh pohon cendana (sandalwood) diberi cap sebagai milik pemerintah.
Setelah penjajah angkat kaki dari Pulau Timor, pohon cendana ini juga tidak secara otomatis kembali ke tangan pemilik, karena pada masa kemerdekaan ada Peraturan Daerah (Perda) Nusa Tenggara Timur (NTT) Nomor 11 Tahun 1966 dan dilanjutkan Perda No 16/1986 yang menegaskan kepemilikan cendana oleh pemerintah,
Dalam Perda tahun 1966 rakyat mendapat 50 persen hasil penjualan cendana yang diambil dari tanah milik rakyat, tetapi dalam Perda tahun 1986 porsi rakyat sebagai pemilik cendana tinggal 15 persen.
Akibatnya, rakyat enggan menanam cendana sehingga kayu itu nyaris punah setelah dieksploitasi pemerintah dan dijadikan sumber pendapatan asli daerah selama bertahun-tahun.
"Sekarang kami hanya memiliki 24 pohon cendana di pekarangan rumah. Cendana ini kami tanam untuk mengenang almarhum yang karena memiliki banyak pohon cendana sehingga dipanggil Haumeni yang dalam bahasa Timor artinya Cendana,".
Kisah yang dilukiskan Yakob Fred Felipus Ora (71), warga Desa Apren, Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang, sekitar 35 km arah Selatan Kupang ini menggambarkan secara jelas bahwa perampasan cendana milik rakyat oleh Pemerintah Hindia Belanda dan pada masa kemerdekaan inilah yang menjadi pemicu keengganan rakyat untuk menanam cendana.
"Sekarang masyarakat sudah tidak menanam cendana lagi karena kalau menanam, mereka tidak menikmati hasilnya tetapi pemerintah yang menikmati," kata Felipus Ora yang didampingi anaknya, Wilfred Adikson Haumeni (23).
Kini populasi cendana terus menurun bahkan nyaris punah padahal keharuman cendana ini telah menjadi daya tarik bagi para pedagang dari berbagai belahan dunia untuk datang ke Timor.
Data Dinas Kehutanan Provinsi NTT menunjukkan, tahun 1987-1990 ada 176.949 tegakan induk dan 388.003 anakan di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU), dan Belu. Tahun 1997-1998 tinggal 51.417 tegakan induk dan 199.523 anakan.
Jauh sebelum menjadi komoditas perdagangan, cendana dikeramatkan. Para orang di Pulau Timor sering menggelar ritual khusus agar cendana tumbuh subur dan semakin harum.
Aroma cendana yang semerbak menjadi isyarat hubungan harmonis antara manusia dan leluhur, alam raya, serta Wujud Tertinggi sehingga cendana selalu terjaga.
"Aroma cendana diyakini sebagai penyubur lahan dan penghalau bala," kata antropolog, Dr Gregor Neonbasu SVD, Ketua Yayasan Pendidikan Katolik Arnoldus, pengelola Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.
Ketika menyelesaikan studi S-3 bidang Antropologi di Universitas Nasional Canberra, Australia (2005), Neonbasu meneliti akar budaya warga Timor di Biboki, Kabupaten TTU.
Menurut Neonbasu, pada masa lalu, cendana dipersepsikan sebagai gadis cantik yang memancarkan keharuman bagi keluarga, masyarakat, serta tanah Timor.
Dalam mitologi, cendana disebut haumeni, gadis sumber keharuman. ?Sang gadis? dijaga kelestariannya. Perusak cendana diyakini akan mengalami musibah, tertimpa kesulitan, hingga menemui ajal.
Neonbasu menyebutkan, pada abad ke-14 cendana NTT sudah memenuhi catatan pedagang China. Masyarakat dunia, terutama China dan India, melukiskan NTT sebagai daerah penghasil cendana berkualitas istimewa.
Keberadaan cendana sebagai pohon keramat mulai bergeser menjadi komoditas perdagangan sejak abad ke-empat, seiring kedatangan pedagang perantara dari Gujarat dan kawasan lain. Sekitar abad ke-7, pedagang dunia mencari cendana hingga ke Timor dan pulau-pulau sekitarnya.
Sejak abad ke-empat, NTT dikenal dunia sebagai daerah penghasil jenis kayu beraroma harum dan mahal karena daerahnya yang kering. Cendana yang tumbuh di daerah kering akan menghasilkan kayu berkualitas baik. Nyaris seluruh NTT sangat cocok untuk cendana. Selain di Timor, cendana dijumpai juga di Sumba, Flores, Solor, dan Alor.
Budidaya cendana
Keadaan berubah sejak delapan tahun lalu. Pemerintah Provinsi NTT mencabut monopoli dan mengembalikan cendana sebagai milik masyarakat. Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, yang terpilih memimpin daerah itu pada 2008 kembali mencanangkan gerakan mengembalikan NTT sebagai Provinsi Cendana.
Pada 12 Februari 2009, Pemerintah NTT mencanangkan aksi sebar bibit dan penanaman cendana oleh masyarakat.
"Dalam 10 tahun ke depan yang penting pemulihan dulu. Kalau sudah banyak tegakan, tahun ke-11 baru dipilih bibit unggul. Saat ini ada moratorium penebangan cendana. Diharapkan tahun 2030 cendana siap panen dan menjadi komoditas bebas," kata Frans Lebu Raya.
Ia mengatakan, upaya yang dilakukan pemerintah adalah mendorong dan menggerakkan semua elemen potensial masyarakat untuk menanam dan merawat tanaman cendana sebagai upaya mengembalikan wangi cendana di bumi Flobamora.
Tujuannya, menurut dia, meningkatnya populasi cendana melalui pengelolaan secara lestari yang dapat menggerakan perekonomian daerah, peningkatan pendapatan, dan kesejahteraan masyarakat serta memperbaiki kualitas lingkungan.
Sasaran lokasi pengelolaan cendana secara lestari tahap I (tahun 2009-2013), adalah lahan milik/hak, tanah adat/tanah negara bebas, dan kawasan hutan negara, yang pelaksanannya disesuaikan dengan peta tata ruang (RTRWP/RTRWK) yang telah ditetapkan terutama pada daerah-daerah endemik cendana seluas 3.500 hektar, katanya.
Untuk menyuksekan program ini, kata Lebu Raya, pemerintah melakukan penyempurnaan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan cendana yang berpihak kepada masyarakat atau kelompok tani melalui PERDA Provinsi maupun kabupaten/kota.
Ia menegaskan, perlunya emberikan perlindungan dan pelestarian pohon/tegakan sisa cendana untuk melindungi plasma nutfah cendana yang sekaligus diarahkan sebagai sumber penghasil benih cendana berkualitas.
Penanaman dan pengembangan tanaman cendana sebanyak 4.750.000 anakan selama 5 tahun, dengan rincian 2.800.000 anakan untuk kebutuhan penanaman seluas 3.500 ha dan 1.950.000 untuk kebutuhan dalam rangka mendukung gerakan massal.
Sumber dana untuk pengembangan dan pengelolaan cendana secara lestari tahap I (tahun 2009-2013), adalah APBD I, APBD II, APBN Dana bantuan lainnya yang berasal LSM, dunia usaha dan swadaya masyarakat, kata Lebu Raya.
Kini masyarakat NTT mulai bersemangat menanam cendana tetapi semangat itu perlu dijaga dengan konsistensi kebijakan.
Hal yang paling penting adalah komitmen birokrat di NTT untuk mengembangkan cendana, termasuk pendanaannya. Dengan demikian, tekad mengembalikan kejayaan NTT sebagai Provinsi Cendana, serta mengembalikan keharuman cendana di bumi Flobamora (sebutan untuk Flores, Sumba, Timor dan Alor) bisa terwujud.
http://oase.kompas.com/read/2010/12/26/19210146/Kembalikan.Harum.Cendana.di.Flobamora
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar