Seratus pucuk senjata serbu dan sepuluh pistol buatan PT Pindad disita Bea Cukai Filipina. Si pemesan raib tak tentu rimba.
PELABUHAN Tanjung Priok, awal Agustus la lu. Sebuah kapal berbendera Panama bergerak perlahan mendekati dermaga. Seluruh lambung kapal dicat hitam pekat. Ada tulisan ”Captain Ufuk” di sisinya. Di atas geladak, nakhoda berkebangsaan Inggris, Kapten Bruce Jones, menghubungi PT Tirta Samudera Caraka, agen perusahaan kargo yang mengurus barang muatannya di Jakarta.
Joni, anggota staf Tirta Samudera yang kita sebut saja namanya demikian, minta tambahan waktu. ”Dokumen barang masih diperiksa di bea cukai,” katanya melaporkan situasi. Jones lalu memutuskan menurunkan jangkar satu setengah mil dari pelabuhan. Ia menunggu.
Tiga hari kemudian, pemeriksaan rampung. Captain Ufuk bergerak lagi mendekati pelabuhan. Memasuki kawasan dermaga, mendadak enam speedboat berisi selusin polisi dari Kepolisian Sektor Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan merapat di sisi kanan dan kiri kapal. Patroli pelabuhan ini terus mengawal kapal dengan berat lebih dari 2.400 ton itu sampai berlabuh di Terminal Besi Bekas, Tanjung Priok.
Di dermaga, sudah menunggu tujuh petugas dari satuan polisi air dan udara berseragam lengkap. Di samping mereka tampak setumpuk peti kayu. Itulah muatan yang dicari kapal Captain Ufuk: 100 pucuk senjata laras panjang SS1-V1 dan 10 pistol P2 kaliber 9 x 19 mm. Semuanya buatan PT Pindad, perusahaan milik negara yang khusus memproduksi peralatan militer. Menurut dokumen pengiriman, semua pistol itu pesanan Filipina. Sedangkan sera tus senjata serbu dipesan pemerintah Republik Mali, nun di Afrika.
Semua senjata serbu dipak dalam 20 boks kayu. Setiap peti berukuran 60 x 80 x 40 sentimeter. Setiap kotak sesak berisi lima pucuk senapan SS1-V1 kaliber 5,5 lengkap dengan 15 magasin, lima bayonet, dan lima tali sandang. Berat setiap pucuk senjata sekitar empat kilogram.
Dibutuhkan waktu tiga jam untuk memuat peti-peti tersebut ke atas kapal tua buatan 1967 itu. Sabtu malam, sekitar pukul sepuluh, pada akhir pekan kedua Agustus lalu, kapal akhirnya bergerak meninggalkan Tanjung Priok. ”Saya pikir itu ekspor senjata resmi,” kata Asisten Manajer Pelayanan Pelanggan dan Humas PT Pelabuh an Indonesia II, Hambar Wiyadi, saat ditemui pekan lalu. ”Semua suratnya lengkap.”
Tak sampai dua pekan kemudian, kapal itu membuat berita. Petugas Bea Cukai Filipina menahannya di Port Mariveles, Manila, pada 20 Agustus. Semua muatan disita, termasuk senjata-senjata buatan Pindad. Yang membuat kabar ini makin heboh adalah keterangan polisi Filipina: sebagian kotak kayu di atas kapal sudah kosong. Lebih dari separuh senjata Pindad raib.
”Kami menyelidiki kemungkinan senjata ini dikirim untuk teroris atau untuk kepentingan politik tertentu,” kata Fernandino Tuason, Kepala Intelijen dan Penyelidikan Bea Cukai Filipina, seperti dikutip koran lokal The Phi lippine Star. Nama Pindad dan Tentara Nasional Indonesia pun terseret-seret. Pertanyaan besar muncul: mengapa kiriman senjata resmi dari Indonesia dianggap barang haram di Filipina?
l l l
TRIYONO Adi Susilo, Deputi Direktur Bidang Pemasaran dan Penjualan Produk Militer PT Pindad, masih ingat awal dari kisruh pengiriman senjata ini. Akhir tahun lalu, dia menerima sepucuk surat elektronik berisi penjajak an pembelian pistol P2 dan senjata laras panjang tipe SS1-V1 dari seseorang yang mengaku bernama William Nestor del Rosario.
Dalam suratnya, Rosario mengaku mewakili agen senjata Red White Blue (RWB) Arms Incorporated, yang berkantor di kawasan bisnis Makati, Manila, Filipina. Selain bergerak dalam bidang jual-beli senjata, RWB merupakan asosiasi penembak amatir yang terdaftar resmi di Manila. ”Pistol itu dibeli untuk klub menembak di Manila, sedangkan senjata serbu adalah pesanan Republik Mali,” kata Triyono.
Rosario bukan nama baru untuk Pindad. Dia berulang kali menjajaki pembelian senjata untuk klub menembaknya di Manila. Karena itulah surat elektroniknya yang terakhir ditang gapi serius. Apalagi, ”Saat diberi tahu total nilai pembeliannya Rp 810 juta, dia langsung setuju,” kata Triyono.
Departemen Pertahanan lalu meminta surat jaminan pengguna akhir (end user’s certificate) yang diterbitkan Kepolisian Filipina dan Departemen Keamanan Dalam Negeri Republik Mali, sebagai syarat pembelian senjata antarnegara.
Permintaan itu dianggap kecil oleh Rosario. Dalam waktu singkat, kedua dokumen penting itu sudah dikirim ke Pindad. Surat dari Mali diketik rapi di atas kop meyakinkan: Ministry of Internal Security and Civil Protection, Quartier du Fleuve Bamako-Mali.
Setelah semua syarat dokumen lengkap, Desember tahun lalu, Pindad pun memohon izin ekspor senjata ke Departemen Pertahanan. Surat permohonan klarifikasi keamanan (security clearance) juga dilayangkan ke Asisten Intelijen Panglima Tentara Nasional Indonesia. Kedua surat yang diminta terbit tak sampai sebulan kemudian. ”Jadi semuanya legal,” Triyono menegaskan.
Kontrak jual-beli lalu diteken April 2009. Rosario minta pengiriman senjata menggunakan sistem FOB alias free on board. Artinya, Pindad hanya bertanggung jawab mengurus pengiriman dari pabrik mereka di Bandung sampai terbitnya izin ekspor dari Bea Cukai Pelabuhan Tanjung Priok. Pindad setuju. ”Artinya, jika terjadi sesuatu di laut lepas, setelah keluar dari Tanjung Priok, itu bukan kewenangan kami,” kata Sekretaris Perusahaan Pindad Ahmad Jaelani.
Sebenarnya ada pilihan lain: menggunakan sistem cost, insurance, and freight (CIF). ”Tapi, kalau pakai sistem itu, kami yang harus bertanggung jawab sampai barang sampai ke tangan konsumen,” kata Jaelani. Pindad terkesan enggan mengambil risiko. ”Menjaga barang di perjalanan tidak mudah,” katanya.
Setelah harga dan tata cara pengiriman disepakati, pada pekan pertama Agustus, 21 peti kayu berisi senjata pesanan Rosario pun disiapkan.
Pada saat hampir bersamaan, PT Tir ta Samudera Caraka menerima order dari seseorang yang mengaku bernama William Nestor via surat elektronik. Nestor minta Tirta Samudera mengangkut peti-peti senjata dari pabrik Pindad di Bandung ke Pelabuhan Tanjung Priok. ”Kerja sama kami disepa kati lewat e-mail saja,” kata satu anggota staf perusahaan kargo itu pekan lalu.
Begitu semua peti dimuat ke atas kapal, PT Pindad menerima transfer dana via bank sebesar Rp 1 miliar dari Rosario.
l l l
”TIDAK ada pegawai kami yang bernama William Nestor del Rosario,” suara di ujung telepon terdengar setengah membentak. Pekan lalu, Tempo menghubungi kantor RWB Arms Inc. di Makati, Filipina, untuk menelusuri jejak pemesanan senjata Pindad yang dituduh ilegal itu. Nomor telepon kantor perusahaan itu tertera jelas di situs Internet mereka.
Yang menjawab panggilan telepon Tempo adalah seorang pria yang mengaku bernama Michael B. Lontoc, Direktur RWB Arms. ”Saya sudah diinterogasi polisi Filipina kemarin,” katanya masih dengan nada kesal. ”Jawaban saya sama: saya tidak kenal William Nestor.”
RWB Arms baru berdiri Desember tahun lalu. ”Kami memang menangani impor senjata, tapi kebanyakan dari Amerika,” kata Michael. Dia berkeras tak punya relasi atau kontrak bisnis di Indonesia. Dia bahkan heran bagaimana Rosario berhasil memperoleh sertifikat pemakai akhir dari Kepolisian Filipina.
Michael juga menjelaskan bahwa kantor RWB berlokasi di Chino Roces Avenue, Makati City. Sedangkan alamat pengiriman senjata-senjata Pindad yang diberikan Rosario kepada agen kargonya di Jakarta adalah sebuah gudang di Paseo de Roxas, Makati. ”Kami tidak punya kantor atau gudang di Paseo de Roxas,” kata Michael.
Lalu siapa William Nestor del Rosario? Nomor telepon selulernya yang di tinggalkan di Pindad tak pernah aktif lagi. Sesekali nada panggil terdengar, tapi tak pernah diangkat. Kaburnya Rosario membuat ihwal pengiriman senjata ke Mali diselimuti kabut. Juru bicara Pindad, Timbul Sitompul, mengaku sudah meminta bantuan atase militer Indonesia di Kedutaan Besar RI di Mali untuk menelisik asal-usul pemesan senjata ini.
Tapi, masalahnya, Indonesia tidak punya kantor perwakilan di Mali. Kedutaan terdekat ada di Dakar, Senegal. Sebaliknya, Mali juga tak punya kantor di Jakarta. Kedutaan mereka ada di Tok yo—perwakilan yang berperan sebagai wakil Mali untuk Indonesia.
Juru bicara Departemen Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengaku tak pernah dihubungi Pindad untuk memeriksa kesahihan pemesanan senjata dari Mali. ”Tidak pernah ada laporan ke sini,” katanya.
Pindad terkesan buang badan da lam kisruh ini. Triyono, misalnya, ber dalih semua prosedur ekspor senja ta sudah dipenuhi. ”Verifikasi kesahih an pe mesanan sudah dilakukan dengan me min ta clearance TNI atas sertifikat pengguna akhir dari pembeli,” katanya.
Lalu bagaimana prosedur verifikasi yang dilakukan TNI? Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI Marsekal Muda Sagom Tamboen tak memberikan jawaban jelas. Dia memastikan Asisten Intelijen Panglima TNI sudah berkomunikasi dengan atase militer di Kedutaan Besar RI di Manila dan Dakar. ”Anak dan bapak pasti berkomunikasi, mereka pasti melapor ke sini,” katanya. Meski mengaku masih menanti hasil penyelidikan Departemen Luar Negeri dan pihak terkait, Sagom menilai ekspor senjata perdana Pindad ini sudah sesuai prosedur.
Wahyu Dhyatmika, Akbar Tri Kurniawan (Jakarta), Widiarsi Agustina, Sandi Indra, Alwan Ridha (Bandung)
sumber : majalah tempo
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar