Peluh belum hilang benar dari tubuh Linan (58), sesekali dia menyeka keringat sembari menyandarkan gerobak sampahnya di bibir sungai Ciliwung.
Matahari mulai menyengat di langit Jakarta siang itu. Sebatang rokok kretek dia bakar dan kemudian dihisapnya dalam-dalam sembari bertengger di dinding beton, menikmati angin yang berembus pelan menerpa tubuhnya.
Sementara, dua kerabat Linan masih terbaring pulas di ruas-ruas beton di kolong jembatan berukuran 3x1 meter. Sisanya, ada yang mandi dan tampak mengail sampah plastik yang dilarungkan sungai.
“Enak istirahat di sini anginnya adem, daripada di atas panas,” katanya kepada okezone, belum lama ini.
Linan dan 10 orang kerabatnya adalah penghuni tetap "apartemen gantung" jembatan Guntur. Jembatan itu tempat mereka tinggal sehari-hari. Makan, tidur, mandi, mencuci pakaian bahkan untuk kawin pun bisa dilakukan di bawah jembatan Guntur yang panjangnya sekira 15 meter dengan lebar 6 meter.
Tak hanya itu, “fasilitas” air ledeng pun bisa didapat secara gratis untuk kebutuhan air bersih. Caranya? Pipa air ledeng yang membentang sepanjang jembatan itu mereka lubangi. Bahkan, ada petugas air minum yang bersedia menyediakan selang untuk kebutuhan mereka sehari-hari.
“Pegawai PAM-nya baik. Kebetulan dia kasihan sama Bapak. Dia enak nyuci di rumah tapi kita air mandi, nyuci pakaian dari mana. Dia yang buat lubang,” akunya.
Perjuangan hidup mereka terbilang tangguh. Bagaimana tidak, bukan hal mudah bagi Linan dan 10 orang kerabatnya untuk menjaga keseimbangan saat tubuh dalam keadaan terlelap di atas aliran sungai. Jika tubuh berbalik 180 derajat, celakalah dia. Dalam sekejap air akan membuat badan hanyut aliran sungai.
Tapi tenang, Linan sudah melatih dirinya menghadapi kondisi seperti itu. Tidur dengan beralaskan karpet berukuran 2 meter dan angin yang berhembus kencang jika malam menjelang. Sudah sekira empat tahun Linan jadi penghuni tetap "aparteman gantung". Pantas saja. Butuh keberanian untuk menyusuri ruas-ruas beton, merayap, menyeimbangkan badan, salah langkah kita akan jatuh ke air sungai yang berjarak 5 meter. Mereka yang tinggal di ruas kaki jembatan berasal dari berbagai profesi seperti sopir bajai, sopir taksi, dan sebagian besar pemulung.
Linan sendiri seorang pemulung. Lelaki asal Bogor itu berkulit gelap, maklum setiap hari matahari membakar kulitnya. Dia memiliki istri dan dua anak yang berada di Wonogiri, Jawa Timur. Dia tidak berniat membawa istrinya ke Jakarta lantaran kebutuhan sehari-harinya saja hanya cukup untuk seorang diri. Dia tak sanggup jika harus membiayai kedua anaknya sekolah di Jakarta.
“Buat makan aja pas-pasan. Anak saya sekolah SMA. Istri saya di sana jualan sayuran,” ungkapnya.
Meskipun Linan tinggal sendiri di Jakarta, dia punya tanggung jawab menafkahi keluarganya di kampung, dia harus berhemat. Sebisa mungkin dia menyisihkan penghasilanya dari hasil menjual barang bekas.
Penghasilannya tidak pernah pasti, tergantung Tuhan kasih rezeki. Selepas matahari mulai muncul dia pergi menyusuri daerah Menteng, Diponegoro, Latuharhari untuk memungut botol plastik, kardus, potongan besi atau apa saja yang layak dijual.
Untuk sampah yang dia simpan empat hingga tiga hari sekali diperoleh 40 kilo dengan harga Rp75 ribu. Uang senilai itu diusahakan dapat dibagi untuk makan, minum kopi, merokok, dan simpanan. Tiap kali ada kerabatnya yang pulang ke Wonogiri dia titipkan uang Rp200 ribu hingga Rp300 ribu untuk keluarganya.
“Paling kalau ada Rp75 ribuan, dibagi buat makan cuma Rp35 ribu. Cukup nggak cukup buat makan sehari Rp15 ribu,” ujarnya lirih.
(lsi)
http://news.okezone.com/read/2010/10/23/338/385650/risiko-kecemplung-di-apartemen-gantung
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar