Linan (58) kali ini tak perlu khawatir lagi waktu istirahatnya bakal diganggu petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Pasalnya, dia sudah hafal kapan saja para petugas datang untuk mengusir penghuni kolong jembatan Guntur, di kawasan Pasar Rumput, Manggarai atau disebut “apartemen gantung”.
Linan dan penghuni lainnya harus main kucing-kucingan dengan petugas. Selepas pukul 7.00 WIB mereka harus mengosongkan jembatan, dan setelah pukul 12.00 WIB bisa dibilang waktu yang aman bagi penghuni untuk mandi, mencuci pakaian, dan tidur.
“Biasanya Trantib (baca: Satpol PP) datang antara pukul 09.00 sampe pukul 10.00 WIB. Kita naik ke atas, setelah pukul 12.00 WIB baru kita bisa santai (di kolong). Alasan mereka ngusir karena mau ada wali kota atau gubernur, mau mantau aliran sungai,” paparnya kepada okezone, belum lama ini.
Petugas Satpol PP biasa mengawasi kawasan sepanjang aliran sungai Ciliwung di daerah Pasar Rumput untuk ‘menertibkan’ para gelandangan, penjual dan penghuni ‘liar’. Mereka dianggap sebagai pemandangan yang tak sedap bagi Ibu Kota Negara Indonesia.
Ditangkap petugas adalah pengalaman yang tidak mau terulang kembali sepanjang hidupnya. Linan mengaku sudah dua kali digaruk petugas Satpol PP. Terakhir, saat Ramadan lalu, selain ditangkap Satpol PP, Linan juga harus merelakan gerobaknya dirampas.
Dia mengisahkan, ketika itu dia sedang mencari makanan untuk sahur dengan membawa gerobaknya. Di sekitar Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat tiba-tiba sekelompok petugas menghadangnya. Dia lari sebisa mungkin. Sayang, petugas yang mengejar menggunakan mobil jauh lebih cepat ketimbang dirinya. Linan pun terpaksa merelakan gerobak seharga Rp250 ribu miliknya dibawa petugas plus dirinya.
“Mereka menangkap saya, bilangnya mau didata ke kecamatan. Eh nggak tahunya mau dibawa ke Kedoya,” katanya.
Di tempat penampungan, dia merasa tidak nyaman. Tak ada yang bisa diperbuat selain makan dan tidur, walhasil penghasilan pun terhenti. Tidak ada lagi simpanan untuk keluarganya di Wonogiri. Keterampilan yang diberikan dianggap tidak akan berguna. Melihat kondisi tempat penampungan yang membuatnya tidak produktif, akhirnya dia memutuskan untuk melarikan diri.
“Kita di sana didata, yang muda diberikan pelatihan lanjutan. Umur saya sudah tua. Mau usaha apa dengan umur saya segini. Mending jadi pemulung,” katanya.
Sedikit mengutip hasil penelitian kuantitatif Djuwendah (2000), disebutkan bahwa 38 persen pemulung menjalani usahanya karena tidak memerlukan modal banyak dan keahlian khusus, 29 persen pemulung menjalaninya karena usaha ini tidak terikat waktu atau karena coba-coba, 18 persen pemulung merasa bahwa usaha ini lebih menguntungkan daripada usaha sebelumnya, dan hanya 21persen pemulung yang mengaku terpaksa melakukannya karena sulitnya mencari pekerjaan lain.
Alasan-alasan lain yang melatarbelakangi keputusan para pemulung untuk menjalani usaha ini merupakan rentetan dari keterbatasan keahlian dan sumber daya modal yang dimiliki dan sulitnya mencari pekerjaan sehingga pada akhirnya mereka memilih bekerja sebagai pemulung yang lebih mengandalkan kemauan dan kekuatan fisik.
Dahulu mungkin Linan memiliki kemauan dan kekuatan fisik yang memadai untuk menjadi pemulung. Tapi kini, tubuhnya yang menua mulai tak bersahabat dengan kondisi pekerjaan dan tempat tinggalnya di kolong jembatan.
Apalagi ketika angin malam menghantam tubuhnya yang kurus. Ketika tidur, dia harus melapisi tubuhnya dengan jaket agar udara malam tidak membuatnya sakit. Untung sakit yang selama ini dialaminya masih tergolong penyakit ringan.
Bahkan sedikit pun tak terbesit di benak Linan, apa yang mesti diperbuat jika suatu saat penyakitnya tergolong berat. Saat ini saja, untuk masuk angin dan sakit gigi cukup diatasi dengan membeli obat warung.
“Mau ke Puskesmas mesti pake KTP. Saya nggak punya KTP, ya beli obat aja di warung,” pungkasnya.
(lsi)
http://news.okezone.com/read/2010/10/25/338/385960/sulitnya-si-pemulung-berobat-ke-puskesmas
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar