SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Hidup di Jakarta dari "Apartemen" Sampai Trotoar

| | |
Demi bertahan hidup, siapa pun rela melakukan apa saja. Termasuk harus adu nyali dengan tinggal di kolong jembatan layang, gerobak, sampai trotoar. “Iming-iming” gratis alias tak usah bayar uang sewa pun menjadi menggiurkan. Tak peduli meski nyawa taruhannya.
Kolong jembatan layang atau akrab dengan istilah apartemen gantung menjadi salah satu sasaran para warga ilegal untuk bernaung. Tidur, makan, bahkan menikmati "bulan madu" dilakukan penghuninya di antara tiang-tiang beton penyangga jembatan layang.

Sedikit saja lengah, byurr..., bisa kecemplung sungai dan terbawa arus. Karena itu, Linan (salah satu penghuni “apartemen gantung”) mengaku telah menguasai ilmu keseimbangan tubuh.

Tidur dengan beralaskan karpet berukuran 2 meter dan angin yang berhembus kencang jika malam menjelang. Sudah sekira empat tahun Linan jadi penghuni tetap “apartemen gantung”. Pantas saja, pria yang kesehariannya bekerja sebagai pemulung itu tampak mahir menyusuri ruas-ruas beton, merayap, dan menyeimbangkan badan.

Beda lagi dengan Heriyanto, penambal ban yang sehari-hari membuka usaha dan menjalani hidupnya di sebuah halte bus di seberang Gedung Bank Indonesia, Jakarta Pusat.

Para penghuni Ibu Kota ini bisa dikatakan sebagai penduduk ilegal, sebab mereka tak memiliki kartu identitas sebagai warga Jakarta. Tercatat dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga pertengahan 2009 lalu, Jakarta Utara memiliki penduduk ilegal paling banyak.

Dari total penduduk ilegal di Jakarta yaitu 8.245 kepala keluarga (KK), Jakarta Utara terdapat 7.337 KK. Sisanya tersebar di Jakarta Pusat (474 KK), Jakarta Timur (251 KK), Jakarta Barat (165 KK), dan Jakarta Selatan (18 KK).

Eittss...jangan salah. Ternyata warga ilegal tak selamanya berprofesi sebagai pemulung, gelandangan dan sebagainya. Buktinya, operasi yustisia pada pertengahan Oktober lalu, sebanyak 20 orang dari 117 penduduk ilegal yang terjaring merupakan pramugari maskapai penerbangan ternama Indonesia.

Mereka terjaring petugas di Wisma Biru, Jalan Pembangunan I, Kelurahan Petojo Utara, Gambir, karena kedapatan tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk Jakarta.

Para pramugari itu juga “rela” tak memiliki KTP Jakarta demi mencari nafkah di Ibu Kota, yang disebut-sebut sebagai tempat mudah mencari uang.

Hampir serupa dengan Linan dan Heriyanto. Bedanya, mereka ke Jakarta mencari uang bukan semata-mata karena pembangunan di daerah kurang dan lambat. Sebab, para pramugari itu bukan tanpa modal pendidikan bisa bekerja di sebuah maskapai penerbangan ternama. Sedangkan, Linan dan Heriyanto merupakan potret dari masyarakat yang berpendidikan rendah dan kecewa dengan kondisi kampung halaman yang tidak lagi bisa “memberi” jaminan kehidupan.

Kalau saja pemerintah lebih peduli terhadap perkembangan dan pembangunan di daerah, kemungkinan besar tidak ada Linan dan Heriyanto di Jakarta.

Heriyanto misalnya, dia sangat berharap kepada pemerintah daerah memberikan bantuan usaha, sebab dia sendiri berencana ingin membuka usaha berjualan sayuran di kampung halamannya, Surabaya. Di sana, dia juga bisa berkumpul dengan anak dan istri tercinta. “Saya sih pengennya ada pemberdayaan di kampung, kayak jual sayuran. Saya juga nggak mau di Jakarta,” ujar Heriyanto.

Undang-undang Dasar 1945, Pasal 28 H ayat (1) menyatakan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Apa yang terkandung di dalam konstitusi ini adalah impian bagi semua orang.

Namun nyatanya, jutaan orang masih mengalami kehidupan yang bertolak belakang dengan amanat UUD 1945. Banyak persoalan yang melingkupi kaum miskin kota. Mereka menghadapi ancaman terhadap keberadaan dirinya sebagai manusia dan sebagai warga negara.

Persoalan tersebut di antaranya, tidak memiliki identitas kependudukan, tinggal di pemukiman liar, minim akses layanan sosial dasar, dan pekerjaan yang dilakukan tidak mendapat pengakuan negara atau perlindungan hukum.

Bertambahnya kaum miskin kota setidaknya membuktikan program pembangunan telah gagal untuk mengatasi persoalan kemiskinan. Pendekatan yang diambil lebih pada kebutuhan penataan kota agar indah dan tertib. Sementara akar-akar kemiskinannya tidak tersentuh. Tak heran, upaya penertiban berpotensi pelanggaran hak-hak kaum miskin kota.

Menjadi pertanyaannya adalah apakah kaum miskin kota benar-benar dipandang sebagai beban kota atau korban dari ketimpangan pembangunan?

Pada akhirnya realita hidup jutaan kaum miskin kota setidaknya diwakili Heriyanto ini sangat mirip dengan lirik lagu yang dipopulerkan Melky Jannes Goeslaw, berjudul “Sapa Suruh Datang Jakarta”.

Sapa suru datang Jakarta
Sapa suru datang Jakarta
Sandiri suka, sandiri rasa
Eh doe sayang

Sungguh tiada kuduga aah…
Hidup akan merana
Tinggalkan kampung desa
dapatkan gubuk di kota

(lsi)

http://news.okezone.com/read/2010/10/23/338/385646/hidup-di-jakarta-dari-apartemen-sampai-trotoar

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?