SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

SURINAME : Jaran Kepang, Rohnya dari Gunung Merapi

| | |
Jarang Kepang atau kuda lumping di Suriname dari kelompok Trimo Budi Sangtoso tampil di ajang Indofair di Paramaribo, Suriname, 24 September-2 Oktober 2010. Kesenian itu dibawa dari Jawa oleh imigran Jawa tahun 1890-1939 dan menjadi hiburan rakyat di Suriname.

oleh Frans Sartono

Jaran kepang atau kuda lumping serta reog ponorogo menjadi hiburan rakyat di Suriname. Tontonan dari Jawa itu dibawa para imigran Jawa 120 tahun lalu ke negeri yang terletak di Amerika Selatan itu. Katanya, rohnya dari Gunung Merapi.


Suatu sore pada akhir September lalu, warga Paramaribo, Suriname, berkerumun menonton jaran kepang. Saat itu tampil

Kelompok jaran kepang Trimo Budi Sangtoso. Pada spanduk kelompok itu terbaca tulisan ”Kabudajan Djowo Djaran Kepang” (kebudayaan Jawa jaran kepang).
Kelompok Trimo Budi Sangtoso didirikan pada tahun 1970 oleh Poidjojo (63), seorang warga Suriname keturunan Jawa. Orangtua Poidjojo yang bernama Kasiman adalah imigran asal Surakarta, Jawa Tengah, yang dikapalkan ke Suriname dengan kapal Simaloer tahun 1920-an.

”Niki budaya leluhur, ampun ngantos ical—ini budaya leluhur, jangan sampai hilang,” kata Poidjojo dalam bahasa Jawa.

Seperti pada jaran kepang di Jawa, pergelaran dimulai dengan gamelan bertalu-talu untuk memanggil penonton. Sebagai pembuka disuguhkan tembang-tembang. Salah satunya adalah tembang ”Cucak Rowo” versi penyanyi Didi Kempot. Asal tahu saja, Didi Kempot adalah ”superstar” di Suriname. Tembang itu dibawakan oleh ledhek, penembang dan penari bernama Tasminah (64), keturunan Jawa juga.

Dan saat yang ditunggu-tunggu penonton pun tiba, yaitu ketika para pemain kuda lumping kesurupan. Ada yang berpolah seperti macan. Mereka menggeram dan tangan mencakar-cakar tanah. Mereka menyambar seekor ayam dan melahapnya hidup-hidup. Pemain lain bertingkah seperti kera, melompat- lompat dan melahap pisang.

Poidjojo bertindak sebagai gambuh atau semacam pawang yang memanggil roh dan ”memasukkannya” ke raga para pemain. Bau kemenyan dan minyak wangi tercium kuat saat Poidjojo melangsungkan ritual pemanggilan roh.

”Sing nyurupi niku saking negoro jowo, saking Gunung Srandil lan Gunung Merapi, (roh) yang merasuki itu dari negeri Jawa, Gunung Srandil, dan Gunung Merapi,” kata Poidjojo yang mengenakan blangkon dan baju batik yang diimpor dari negoro jowo.
Poidjojo sendiri tidak tahu di mana letak Gunung Srandil atau Gunung Merapi. Yang pasti itu daerah di negoro jowo tadi.

Mengapa bukan roh dari Suriname?

”Ya bisa saja, tapi ndrawasi (mengkhawatirkan)” kata Poidjojo yang nenek moyangnya di Jawa juga seorang gambuh.

Bukan apa-apa. Masalahnya, kata Poidjojo,
roh-roh yang merasuki para pemain itu harus dipanggil dengan mantra berbahasa Jawa dan dipulangkan dengan gending-gending Jawa seperti ”Waru Doyong” dan ”Sampak Guntur”.

”Kalau roh yang merasuki tidak bisa berbahasa Jawa, nanti tidak bisa dipulangkan,” kata Poidjojo. Maksudnya, roh itu akan tinggal terus di raga sang pemain.
Integrasi budaya
Jaran kepang merupakan dampak ikutan dari imigrasi Jawa ke Suriname pada masa kolonial. Pada kurun 1890-1939, sebanyak 32.965 pekerja dikapalkan ke Suriname. Diaspora Jawa ini memberi warna tersendiri pada kultur Amerika Selatan. Mereka membawa serta kesenian agraris dari tanah Jawa, termasuk jaran kepang, reog, sampai wayang kulit.

Kuda lumping itu beraksi di halaman Sana Budaya, sebuah pusat kegiatan milik paguyuban mengenang imigrasi Jawa atau Vereniging Herdenking Javaanse Immigratie (VHJI). Saat itu tengah berlangsung Indofair 2010, semacam pekan promosi dagang, budaya, dan pariwisata yang juga diikuti delegasi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Ikut berpartisipasi pula Kedutaan Besar Indonesia di Suriname.
Penonton jaran kepang sore itu adalah warga Suriname dari beragam latar etnis. Beberapa pemainnya bahkan mencerminkan kemultietnisan Suriname. ”Pemainnya ada yang keturunan Jawa-Kreol dan Jawa-Hindustan,” kata Poidjojo.

Saat ini, setidaknya ada enam kelompok jaran kepang di Suriname. Menurut Poidjojo, dulu hampir setiap desa di Koewarasan mempunyai kelompok jaran kepang. Resort Koewarasan memang banyak dihuni warga Suriname keturunan Jawa yang nenek moyangnya dulu bekerja di perkebunan.
”Sekarang orangnya (pemain) sudah tua-tua, banyak yang telah meninggal,” kata Poidjojo.

Sejumlah penabuh gamelan malam itu memang sudah sepuh-sepuh. Pemain kendang, Tukimin, berusia 79 tahun dan pemain kethuk, Suki, berusia 74 tahun. Akan tetapi, tampak pula pemain muda usia belasan tahun. Bahkan, tampak beberapa pemain belia seperti Jecko Diran (9). Adapun pemain jaran kepang rata-rata berusia belasan tahun.

Begitulah kuda lumping telah terintegrasi sebagai bagian dari budaya Suriname. Sebagai catatan, kuda lumping dan reog juga hidup di Negara Bagian Johor, Malaysia. Betapa mereka dengan setia merawat sang kuda lumping dan menjadikannya sebagai bagian dari budaya negeri benua Amerika itu. Migrasi budaya semacam itu merupakan fenomena
yang mengingatkan pada barongsai atau juga jazz yang dinikmati orang berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia.

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/01/03521577/jaran.kepang.rohnya.dari.gunung.merapi

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?