SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Korban: Nasib Kami Lebih Buruk dari Binatang

| | |
Di masa jayanya, empat pria itu memegang jabatan penting di Khmer Merah, juga dekat dengan sang penguasa, Polpot. Kini, nasib berbalik. Mulai Senin 27 Juni 2011, di masa tuanya, mereka harus duduk sebagai pesakitan, mempertanggungjawabkan perbuatannya: turut andil dalam pembantaian 1,7 juta orang. Hampir seperempat populasi rakyat Kamboja kala itu.

Mereka --tangan kanan Pol Pot, "kakak kedua" Nuon Chea, mantan Presiden Kamboja Khieu Samphan, mantan Perdana Menteri Kamboja Ieng Sary, dan mantan Menteri Sosial Kamboja Ieng Tirith, diadili dalam kasus kejahatan kemanusiaan yang terjadi 41 tahun lalu.

Pada 1970-1979, saat itu, darah tumpah di Kamboja dan nyawa dianggap tak berharga. Warga hidup dalam teror saat Khmer Merah mendeklarasikan dimulainya 'tahun nol' --sebuah revolusi yang merelokasi paksa warga ke desa-desa demi membangun sebuah utopia negara agraris.

Mimpi itu tak pernah tercapai, yang terjadi justru kematian massal. Ada yang dieksekusi, sakit, kelaparan, atau karena dipaksa kerja rodi.

Para terdakwa boleh menyangkal perbuatannya, namun korban tak akan pernah lupa. Pol Phala (59), salah satunya. Saat periode brutal itu terjadi, ia berusia 25 tahun. Perempuan itu masih ingat saat pasukan Khmer Merah mengusir warga dari kota.

“Waktu itu aku baru keguguran, mereka mengizinkanku beristirahat, tapi hanya sehari. Setelah itu mereka memaksaku berjalan jauh,” kata dia seperti dimuat situs Al Jazeera.

Kata Pol Phala, ia merasa seperti binatang, berjalan kaki dengan tubuh kesakitan berlumuran darah. “Nyatanya, kami semua seperti binatang, tapi makanan yang kami dapatkan bahkan lebih buruk dari makanan hewan.”

Mayat bergelimpangan jadi pemandangan lumrah di sepanjang jalan. “Saya tidak tahu apa yang harus dilakukan, bagaimana melarikan diri, dan harus ke mana,” tambah dia.

Sampai akhirnya mereka tiba di Desa Sambo. Awalnya, Khmer Merah menyuruh mereka membuat benteng sawah. Tapi, kemudian mereka dipaksa membangun dam besar. “Kami bekerja tanpa alat, hanya dengan tangan. Sangat berat. Jika belum selesai, mereka tak akan memberi kami makan,” kata Pol Phala.

Bagaimana jika ada yang berontak? Kata dia, Khmer Merah pasti akan membunuh siapa pun yang tak menurut. Mereka akan memukuli orang itu di depan yang lain, hingga tewas, lalu menyeret jasadnya pergi.

Para penjaga yang bertugas mengawasi penduduk berusia antara 15-16 tahun. Buta huruf. Meski tergolong anak-anak mereka tak segan bertindak brutal, hingga tega membunuh.

Korban yang lain adalah Lon Him, seorang mahasiswa bisnis yang dipaksa jadi budak pertanian. Awalnya, saat melihat Khmer Merah untuk kali pertamanya, ia merasa sangat gembira. Perang sudah usai, kehidupan akan kembali normal. Tapi, ia salah besar.

Dengan todongan senjata, tentara memaksa mereka meninggalkan Phnom Penh. Menuju desa. Yang menentang, langsung dieksekusi mati. Di desa, warga dipaksa bekerja di sawah dan menggotong karung penuh beras sejauh 5 kilometer.

“Selama 12 jam dalam sehari, kerjaku mengangkut berkarung-karung beras,” kata dia.

Kerja keras tak diimbangi makan cukup. Tiap hari mereka hanya mendapat jatah potongan gedebok pisang dicampur sedikit beras --untuk dimasak sebagai bubur. Dengan tenaga seadanya, mereka tak boleh nampak malas. Akibatnya bisa fatal.

Beberapa orang dihilangkan paksa, dibunuh, biasanya mereka adalah orang yang bisa membaca dan dianggap terlalu banyak omong. Yang selamat adalah mereka yang bisa menyembunyikan asal-usulnya.

Selama itu, Lon Him kehilangan ayah dan empat saudaranya. “Mereka memperlakukan kami seperti binatang, padahal kami adalah manusia,” kata dia.

Puluhan tahun berlalu, ia mengaku masih menyimpan marah di hatinya. “Kami berharap ada keadilan untuk mereka yang tewas, yang kehilangan keluarga, dan mereka yang selamat dalam kondisi memprihatinkan.”

Sementara, kisah Hum Hoy (52) sedikit berbeda. Khmer Merah memberinya tugas berjaga di luar penjara. Sejauh itu, ia belum pernah menyiksa tahanan. Sampai suatu hari, Khmer Merah memintanya bersumpah sebagai kader.

“Saya lalu mengambil tongkat besi dan memukul tahanan di bagian leher belakang hingga tewas,” kata dia.

Namun, Hum Hoy berdalih, ia tak punya pilihan. Jika menolak, ia akan dicap sebagai ‘musuh revolusi’ dan menerima perlakuan buruk. Apakah dengan menjadi kader berarti ia aman? Tidak.

“Setiap orang diperintahkan untuk memata-matai yang lain. Untuk mencari kesalahan sesama kader. Saat itu saya selalu merasa ketakutan,” kata dia. “Jika pemegang pangkat tinggi mengeluarkan perintah, kami harus menurutinya agar selamat.” (art)

www.vivanews.com
http://dunia.vivanews.com/news/read/229643-korban--nasib-kami-lebih-buruk-dari-binatang

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?