SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Hatta dalam Tiga Kasus

| | |
Ada tiga kasus menyangkut Bung Hatta yang perlu diklarifikasi. Pria kelahiran Bukittinggi 12 Agustus 1902 ini pernah diremehkan perannya saat proklamasi tahun 1945 oleh Soekarno. Benarkah demikian?

Pimpinan PKI menuding Hatta memprovokasi meletusnya Peristiwa Madiun 1948. Bagaimana duduk perkaranya? Sejauh mana keterlibatan Hatta dalam kasus Sawito tahun 1976?

Buku Cindy Adams

Dalam buku autobiografi Soekarno sebagaimana diceritakan kepada Cindy Adams tertulis, “Tidak ada yang berteriak ‘Kami menghendaki Bung Hatta’. Aku tidak memerlukannya. Sama seperti aku tidak memerlukan Syahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri di saat pembacaan proklamasi.… Sebenarnya aku dapat melakukannya seorang diri dan memang aku melakukannya sendirian. Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu, maka peran Hatta dalam sejarah tidak ada.” Alinea itu dilanjutkan dengan nada kesukuan.

“Peranannya yang tersendiri selama perjuangan kami tidak ada. Hanya Soekarnolah yang tetap mendorongnya ke depan. Aku memerlukan orang yang dinamakan ‘pemimpin’ ini karena satu pertimbangan. Aku memerlukannya oleh karena aku orang Jawa dan dia orang Sumatera dan di hari-hari yang demikian aku memerlukan setiap orang denganku. Demi persatuan aku memerlukan seorang dari Sumatera. Dia adalah jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor dua terbesar di Indonesia.” Soekarno tidak memerlukan Hatta (dan Sjahrir), bahkan peran Hatta dalam sejarah tidak ada.

Betapa arogannya Bung Karno, demikian kesan orang yang membaca kedua alinea tersebut, termasuk Prof Dr Sjafii Maarif. Namun ketika menerjemahkan ulang buku Cindy Adams tersebut tahun 2007, Syamsul Hadi menemukan bahwa kedua alinea tersebut tidak ada dalam buku edisi Inggrisnya. Berarti ada orang yang sengaja menambahkan dua paragraf yang mengadu domba antarpemimpin Indonesia, siapa dia? Yang jelas dalam terbitan terbaru buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat tersebut (2007), kedua alinea hasil rekayasa itu telah dihapuskan.

Provokasi Madiun

Pimpinan PKI sejak tahun 1957 mengatakan bahwa Peristiwa Madiun 1948 terjadi karena provokasi Hatta. Bahkan dikatakan bahwa Hatta meminjam mulut Soekarno untuk membasmi Amir Sjarifuddin. Sebetulnya di dalam pidato radionya Bung Karno mengatakan dengan tegas “Pilih Soekarno-Hatta atau Musso-Amir Syarifuddin”. Kenapa Bung Karno tidak dikecam? Alasannya jelas, karena dia ingin didekati oleh PKI, sementara Hatta yang baru mengundurkan diri sebagai wakil presiden adalah sasaran empuk untuk dijadikan kambing hitam.

Menurut Anthony Reid, dalam peristiwa Madiun 1948, sebetulnya jumlah korban bisa berkurang bila saran Jenderal Sudirman didengar, agar pihak yang bertikai berunding lagi. Namun bila Soekarno-Hattta tidak bertindak tegas, mereka kehilangan kesempatan untuk memperoleh bantuan dari AS/negara Barat. Kekuatan Indonesia tidak kuat menghadapi Belanda, oleh sebab itu diperlukan dukungan diplomasi dari AS. Walau dilematis, Soekarno-Hatta telah mengambil pilihan menumpas kelompok komunis. Maka tahun 1948 korban berjatuhan dari golongan kiri dan kanan.

Kasus Sawito

Tanggal 22 September 1976, tiga hari sebelum Lebaran, pemerintah mengeluarkan pengumuman sangat penting dalam siaran TVRI, satu-satunya siaran televisi saat itu. Tiga pejabat, Mensesneg Sudharmono, Jaksa Agung Ali Said, dan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) Yoga Sugama, menyampaikan bahwa pemerintah telah membongkar upaya penggantian kepala negara secara inkonstitusional. Dua jam sebelumnya Presiden Soeharto telah mengundang seluruh pimpinan lembaga tinggi dan tertinggi negara ke Bina Graha. Ini memperlihatkan bahwa kasus yang dihadapi sangat serius.

Ditemukan dokumen “Jalan Keselamatan” yang ditandatangani oleh Sawito Kartowibowo, M Hatta (proklamator kemerdekaan RI), Justinus Darmojuwono (Kardinal, Ketua Majelis Wali Gereja Indonesia), TB Simatupang (Dewan Gereja-Gereja Indonesia), HAMKA (Ketua Majelis Ulama Indonesia), R Said Sukanto Tjokrodiatmojo (Ketua Umum Sekretariat Kerja Sama Kepercayaan Indonesia). Dokumen itu menilai sangat negatif keadaan saat itu dan menyerukan kepada masyarakat agar mengambil langkah penyelamatan.

Dalam dokumen lain yang dirancang oleh Sawito terdapat “Surat Pelimpahan” tugas dan wewenang Presiden Suharto kepada Dr Mohammad Hatta. Sawito Kartowibowo (lahir di Blitar, 6 Maret 1932) adalah pegawai tinggi Departemen Pertanian yang mengenal Bung Hatta sebagai peserta olahraga senam pernapasan “Orhiba (Olahraga Hidup Baru)”. Menurut SK Trimurti (hasil wawancara dengan Rukardi, “Gerakan Sawito, Perlawanan Mesianistik terhadap Rezim Orde Baru tahun 1972–1976”, skripsi pada Jurusan Sejarah Undip Semarang, 2002) Sawito masih kerabat jauh Bung Karno. Nenek Sawito adalah kakak sulung dari kakek Bung Karno.

Para tokoh masyarakat yang menandatangani dokumen Jalan Keselamatan mengakui melakukan hal tersebut karena sudah ada sebelumnya tanda tangan Bung Hatta. Mengapa Hatta mau dibujuk oleh Sawito? Apakah karena dia melihat ini sebagai suatu peluang untuk menyelamatkan negara yang sudah mengalami krisis? Jelas Hatta bukanlah orang yang mau merebut kekuasaan secara tidak sah. Bahkan dalam sejarah dia tercatat sebagai tokoh yang menolak bergabung degan PRRI meskipun dia berbeda pendapat dengan Soekarno. Dia mengkritik Bung Karno dengan menulis surat secara langsung, bukan dengan memberontak.

Sawito dijatuhi hukuman delapan tahun penjara, dia naik banding dan mengajukan kasasi, tapi tidak dikabulkan. Sawito dibebaskan 20 September 1983. Dalam peninjauan kembali yang dilakukan pada masa pemerintahan Abdurrachman Wahid, melalui Keputusan Presiden No 93 Tahun 2000, Sawito diberi abolisi dan rehabilitasi. Bagaimana dengan Hatta dan tokoh masyarakat lain? Mereka tidak dikenai hukuman. Hatta menulis kepada Presiden Soeharto bahwa dia mau menandatangani Jalan Keselamatan itu karena “isinya mempertahankan Pancasila” dan bukan untuk disiarkan kepada khalayak.

Dokumen Sawito itu tidak berarti, tetapi malah diberi “bobot” oleh pemerintah. Namun surat Hatta itu dianggap tidak cukup oleh penguasa. Emil Salim berusaha menjembatani antara Presiden Soeharto dengan Bung Hatta. Rancangan yang dibawa Emil Salim yang memuji-muji Orde Baru dicoret oleh Hatta. Namun Hatta bersedia menandatangani tiga pernyataan yang salah satunya berbunyi, “Saya menyesalkan perbuatan yang telah menyalahgunakan tanda tangan saya untuk maksud-maksud jahat yang tidak bertanggung jawab, yang akan menggunakan naskah yang saya tanda tangani itu untuk melakukan tindakan-tindakan inkonstitusionil.

Sebagai orang yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945, saya tidak dapat membenarkan dan sebagaimana biasa menentang perbuatan-perbuatan yang inkonstitusionil itu.” Hatta tetap konsisten sampai akhir hayatnya.(*)

Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI

http://suar.okezone.com/read/2010/08/12/58/362220/bung-hatta-dalam-tiga-kasus

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?