Oleh Mustafa Abd Rahman dan Rikard Bagun
Dari Dakar, ibu kota Senegal, Pulau Goree terlihat samar-samar di kejauhan tiga kilometer dari lepas pantai. Namun, pulau itu menyimpan kisah mengerikan tentang kekejaman manusia atas manusia.
Pulau Goree menjadi saksi bisu sepanjang empat abad pada masa lalu tentang kesedihan, tangisan, dan penderitaan 15 juta-20 juta warga Afrika yang ditampung sebelum dikirim ke Eropa dan Amerika, tanpa pernah mengenal jalan pulang.
Perjalanan dari Dakar ke Goree sejauh tiga kilometer dapat ditempuh 15 menit dengan feri, seperti Sabtu pagi 15 Maret lalu. Ongkos feri pergi pulang 5.000 franc Senegal atau sekitar Rp 90.000.
Namun, perjalanan singkat ke pulau yang berukuran 900 meter kali 350 meter itu telah membawa jauh ingatan ke masa silam, ke abad ke-15 sampai ke-19 ketika jutaan manusia Afrika Barat dirampas haknya dan dijadikan budak untuk diperdagangan.
Pulau Goree yang dihuni sekitar 1.000 orang kini menjadi tujuan wisata sejarah, yang ditetapkan UNESCO tahun 1978 sebagai salah satu warisan dunia yang harus dilindungi. Masyarakat Senegal menyebutnya Ber, tetapi Portugis menamainya Ila de Palma. Penjajah Belanda menyebutnya Good Reed dan diubah Perancis menjadi Goree, yang berarti ”pelabuhan baik”.
Tidak seindah namanya, Pulau Goree menyimpan kisah tragis sebagai tempat penampungan jutaan manusia Afrika dari kawasan barat yang diperbudak antara tahun 1444 sampai 1846. Perdagangan manusia itu merupakan hasil konspirasi antara pemimpin kulit hitam Afrika dan kaum penjajah kulit putih.
Bisnis menggiurkan
Tidak kalah menyeramkan tentu saja Zanzibar di kawasan timur Afrika, yang menjadi pusat perdagangan budak, khususnya oleh saudagar-saudagar Arab. Bahkan Zanzibar dianggap sebagai pusat perdagangan budak terbesar dalam sejarah.
Penangkapan penduduk kulit hitam miskin di Afrika Barat oleh para pemimpin Afrika sendiri dilakukan untuk dijual sebagai budak kepada bangsa Eropa.
Perkembangan perdagangan budak Afrika itu sangat pesat sebagai bisnis menggiurkan, yang digerakkan oleh sindikat perdagangan segitiga antara Afrika, Eropa, dan Amerika.
Pedagang Eropa membawa komoditas murah ke Afrika Barat, khususnya ke Senegal, Gambia, dan Guinea berupa kapas, alkohol, alat-alat tembaga, dan lain-lain untuk ditukar dengan budak Afrika dari para pedagang besar Afrika.
Budak-budak itu kemudian dibawa ke Eropa dan sebagian lagi ke Amerika. Sesampai di pelabuhan Amerika, para budak itu dijual kepada para pemilik perkebunan dan pabrik-pabrik dengan barteran tembakau, gula, dan barang-barang lain.
Para budak yang terdiri dari pria dan perempuan diangkut dengan kapal kayu dengan kondisi kaki atau leher terikat dengan lima kilogram bola besi agar tidak gampang melarikan diri, seperti terjun ke laut.
Ketika ditangkap, pria dan perempuan yang dijadikan budak umumnya dalam kondisi sehat-sehat. Namun, sekitar enam juta orang meninggal karena sakit, kekurangan makanan, dan tidak tahan siksaan selama di penampungan ataupun dalam perjalanan menyeberang Samudra Atlantik menuju Amerika.
Sebelum berlayar dalam keadaan dipasung selama 3-4 bulan ke Amerika, para budak umumnya tiga bulan berada di penampungan Pulau Goree. Kapal pertama menuju Amerika tahun 1518.
Kamp konsentrasi
Pulau Goree merupakan kamp konsentrasi paling besar dalam sejarah meski kurang dibicarakan dan semakin kurang mendapat perhatian. Penduduknya kini menggantungkan hidup pada penjualan suvenir dan jasa pelayanan terhadap turis mancanegara. Terdapat sejumlah restoran sederhana yang menjual minuman dan makanan kecil.
Ketika kapal feri merapat di pelabuhan Pulau Goree, langsung terlihat rumah-rumah dengan aneka warna. Ada rumah berwarna kuning, rumah berwarna merah, dan ada pula rumah berwarna putih. Salah seorang penduduk setempat menyampaikan, rumah warna-warni itu menunjukkan identitas negara-negara yang memiliki rumah tersebut.
Rumah berwana kuning dikatakan milik Portugis, berwarna merah milik Perancis, dan berwana putih milik Inggris. Juga dijelaskan, rumah-rumah itu semacam kantor yang mengurusi budak-budak Afrika yang akan dikirim ke Benua Amerika.
Para pengunjung harus membeli karcis untuk bisa masuk ke dalam Pulau Goree guna bisa melihat langsung rumah-rumah, yang merupakan tempat tahanan para budak.
Jalan-jalan kecil melekuk-lekuk dengan lebar 1-2 meter menjadi jalan penghubung utama antara satu dan lain tempat serta antara satu rumah budak dan rumah budak lain di Pulau Goree. Di dataran tinggi di pulau itu terdapat dua moncong meriam bekas peninggalan kolonial.
Penolakan perbudakan
Sesungguhnya tidak semua pemimpin Afrika setuju perdagangan manusia. Sikap penolakan antara lain datang dari Raja Kongo Zanga Bamba yang mengirim surat protes kepada Raja Portugal tahun 1526. Dalam surat itu dijelaskan, pedagang Portugal bekerja sama dengan sindikat Afrika terlibat aksi penangkapan terhadap penduduk Afrika miskin untuk dijadikan budak di negara-negara Barat. Sejumlah pemimpin Afrika Barat juga melarang pengangkutan budak melewati wilayah kekuasaannya.
Namun, upaya sejumlah pemimpin Afrika melarang perdagangan budak selalu gagal lantaran sindikat dan mafia perdagangan budak sudah terlalu kuat. Sekitar 15 juta-20 juta warga Afrika Barat pun menjadi korban kekejaman dalam bisnis perbudakan selama empat abad di masa lalu.
Meski terus dikecam, fenomena perbudakan muncul lagi dalam era modern berupa perdagangan manusia. Kekejaman manusia atas manusia tetap terjadi.
sumber kompas
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar