oleh : Irma Tambunan
Pulau di perairan perbatasan Jambi dan Kepulauan Riau itu begitu senyap. Tak ada lagi anak-anak berlarian di antara karang dan pohon kelapa menjelang matahari terbenam. Tak tampak juga kelompok orang tua berkumpul di warung-warung di tepi pantai yang indah itu.
Ke manakah mereka? Empat tahun lalu, ketika Kompas mengunjungi pulau ini, atmosfer kehidupan masih terasa berdenyut di berbagai sudut pulau. Tapi kini? Sepi! Bagai pulau tak berpenghuni.
”Sudah banyak penduduk yang meninggalkan pulau ini,” ujar Junaedi, penduduk setempat yang ditemui, Kamis (23/9/2010).
Di bagian selatan pulau itu hanya keluarga Junaedi dan satu keluarga lain yang masih bertahan. Junaedi sebenarnya juga ingin pindah ke luar pulau, tetapi mantan kepala dusun setempat, Ali Zaendra, menahannya. ”Kalau kami pergi, berarti tak ada lagi warga Jambi yang menempati Pulau Berhala. Padahal, pulau ini masih jadi sengketa Pemerintah Provinsi Jambi dan Kepri,” ujarnya.
Menurut Junaedi, sejak 2-3 tahun terakhir, lebih dari 60 keluarga pergi meninggalkan Pulau Berhala. Begitu banyak rumah telah kosong, baik di bagian selatan pulau yang menjadi hunian masyarakat asal Jambi maupun sisi utara, wilayah hunian penduduk Kepri. Sebagian rumah itu dibiarkan dengan pintu-pintu terbuka.
Tidak hanya permukiman, layanan pendidikan dan kesehatan pun tidak aktif lagi. Sejak setahun terakhir, sekolah dan puskesmas yang dibangun Pemprov Jambi tidak pernah dikunjungi oleh guru dan bidan.
”Pernah ada orang tanya, apakah anak saya, Faisal, telah lulus ujian. Saya jawab, bagaimana bisa lulus, ujian saja belum karena guru tidak pernah datang,” tutur Junaedi. Merasa kecewa akan buruknya layanan pendidikan, istri Junaedi, Hepi, akhirnya memindahkan Faisal ke sekolah di wilayah Kepri.
Pernah Junaedi sekeluarga menderita malaria. Mereka harus menunggu semalaman hingga saudara dari wilayah daratan terdekat datang menjemput. ”Kalau tak ada yang jemput, mungkin kami sudah mati di pulau ini karena puskesmas tak pernah buka,” tuturnya.
Meski telah ditinggalkan penduduknya dan sejumlah layanan publik tak aktif lagi, anehnya, pejabat daerah umumnya tidak mengetahui persoalan tersebut. Ketika bupati atau wakilnya mau berkunjung, camat setempat akan langsung mendatangkan kembali sejumlah warga dari wilayah daratan terdekat agar pulau seluas sekitar 60 hektar itu terlihat ramai.
Dalam sejumlah kunjungan pejabat, Junaedi berusaha memberi tahu kondisi sebenarnya. Ada yang kemudian menjanjikan perbaikan, tapi hingga kini perubahan itu tak pernah ada.
Kondisi senyap juga terasa di bagian utara pulau yang telah dibeli oleh Pemprov Kepri. Dari 30 rumah yang dibangun Pemerintah Kabupaten Lingga, Kepri, melalui program transmigrasi lokal, 24 di antaranya sudah kosong. Para penghuni rumah itu hanya akan datang ketika petugas pembawa bantuan bahan makanan tiba. Setelah menerima jatah bantuan, mereka kembali meninggalkan pulau.
Abdullah, Kepala Dusun Berhala untuk wilayah Kepri, mengatakan, dirinya pernah singgah pada 1987 dan mendapati pulau ini hanya dihuni 7 keluarga nelayan asal pulau-pulau sekitarnya. Ketika ia kembali lagi untuk menetap pada 2006, Pulau Berhala telah ramai karena saat itu Pemprov Kepri mengadakan program transmigrasi lokal bagi 30 keluarga. Namun, dua tahun kemudian warga pendatang tersebut pergi meninggalkan Pulau Berhala.
Pulau sengketa
Diperebutkan oleh dua provinsi, Jambi dan Kepri, Pulau Berhala berikut penduduk di daerah ini terkena imbas negatifnya. Tiap pihak merasa paling berhak atas pulau itu. Berbagai argumentasi pun disodorkan.
Selain secara geografis lebih dekat ke wilayahnya, klaim Jambi juga didasarkan pada keberadaan makam Paduko Berhala, Raja Melayu Jambi, di pulai ini. Sementara pihak Kepri, selain mengacu ke Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga, juga menyodorkan fakta sejarah bahwa dulu Pulau Berhala di bawah wewenang Sultan Lingga.
Atas sengketa tersebut, Menteri Dalam Negeri menyatakan status quo sehingga berdampak pada terhentinya sejumlah rencana pembangunan di pulau ini. Namun, terlepas dari status quo itu, sejak 2006 Jambi melalui Pemkab Tanjung Jabung Timur tidak menganggarkan dana pembangunan apa pun untuk pulau ini. Dana bantuan bahan makanan dan lainnya untuk masyarakat Jambi di sana juga tidak dianggarkan.
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Jambi Didy Wurjanto mengakui, pihaknya pun tidak mengalokasikan dana pembangunan kepariwisataan untuk Berhala. Untuk tahun 2011, hanya diajukan dana untuk kegiatan promosi kepariwisataan.
Apa pun situasinya kini, otonomi cenderung alpa bahwa kita satu negara. Pulau Berhala dan rakyat yang bermukim di sana akhirnya terabaikan. Sampah menyebar di pulau itu, dermaga rusak berkarat, bangunan sekolah dan puskesmas senyap, rumah-rumah sunyi, dan paham otonomi yang ngawur menggerogoti kesejahteraan rakyat.
Editor: Jimmy Hitipeuw | Sumber : Kompas Cetak
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar