SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Letkol Untung Bukan Pemimpin G30S

| | |
Oleh Asvi Warman Adam

GERAKAN 30 September 1965 yang dilakukan secara ceroboh itu rontok dalam hitungan hari. Dokumen Supardjo—dianggap cukup sahih—memperlihatkan bahwa kelemahan utama Gerakan 30 September adalah karena tidak adanya satu komando.
Terdapat dua kelompok yakni kalangan militer (Untung, Latief, dan Sujono) dan pihak Biro Khusus PKI (Sjam, Pono, Bono). Sjam Kamaruzzaman memegang peran sentral karena ia berada dalam posisi penghubung antara kedua pihak ini.

Namun ketika upaya ini tidak mendapat dukungan dari Presiden Soekarno bahkan diminta untuk dihentikan, maka kebingungan terjadi, kedua kelompok ini terpecah. Kalangan militer ingin mematuhi, sedangkan Biro Khusus tetap melanjutkan.
Ini dapat menjelaskan mengapa antara pengumuman pertama dengan kedua dan ketiga terdapat selang waktu sampai lima jam. Sesuatu yang dalam upaya kudeta merupakan kesalahan fatal.

Pada pagi hari mereka mengumumkan bahwa Presiden dalam keadaan selamat. Sedangkan pengumuman berikutnya siang hari sudah berubah drastis (pembentukan Dewan Revolusi dan pembubaran kabinet). Jadi dalam tempo lima jam operasi ’’penyelamatan Presiden Soekarno’’ berubah 180 derajat menjadi ’’percobaan makar melalui radio’’.

Ketika Brigjen Supardjo yang berpengalaman tempur menawarkan diri mengambil alih pimpinan G30S untuk sementara saja, ketika mereka mulai terdesak, Letkol Untung tidak dapat berbuat apa-apa. Sebab kendali ada pada Sjam Kamaruzzaman yang tidak mengerti tentang operasi militer.

Peran Rochaedi

’’Cornell paper’’ yang disusun Ben Anderson dan Ruth McVey setelah meletus G30S mengesankan bahwa gerakan itu peristiwa internal Angkatan Darat (AD) dan terutama menyangkut Kodam Diponegoro. Tentu saja pandangan tersebut merupakan versi awal yang belum lengkap walau tetap menarik untuk diulas dan diteliti lebih lanjut.

Setelah tiga dekade dalam penjara rezim Orde Baru, Subandrio, Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri/Kepala Badan Pusat Intelijen mengelaborasi versi di atas. Walaupun sama-sama berasal dari Diponegoro, menurut Subandrio, terdapat trio untuk dikorbankan (Soeharto, Untung, Latief) dan ada trio untuk dilanjutkan (Soeharto, Yoga Sugomo, Ali Murtopo).

Dari dua trio itu terlihat bahwa pelaku utama gerakan maupun pihak yang menumpasnya berasal dari komando daerah militer yang sama. Itu pula yang menjelaskan bahwa gerakan tersebut terutama tampil di Jakarta dan di wilayah Kodam Diponegoro (Semarang dan Yogyakarta) dan dapat dipadamkan dalam hitungan hari.

Selama ini beberapa analis mencoba mengaitkan Soeharto dengan G30S dengan beberapa alasan. Pertama, kedekatannya dengan A Latief sejak dari serangan umum 1 Maret 1949 dan dua kali melakukan pertemuan sebelum G30S yakni di rumah Soeharto di Jalan Agus Salim Jakarta dan di RSPAD Gatot Subroto.

Kedua, Soeharto datang dari Jakarta menghadiri pernikahan Untung dengan Hartati di Kebumen. Bahwasanya Soeharto sudah mengetahui akan terjadi suatu gerakan pada bulan September/Oktober 1965 itu seperti disampaikan oleh Latief itu sudah jelas. Bahkan hal itu sudah diketahui secara umum oleh para petinggi militer.

Namun seberapa detail yang disampaikan Latief kepada Soeharto, itu masih tanda tanya. Kehadiran Soeharto dalam kenduri perkawinan Untung di Kebumen dapat dipahami karena Untung baru mendapat Bintang Sakti, bintang penghargaan tertinggi karena keberaniannya dalam operasi pembebasan Irian Barat.

Hanya dua orang yang memperoleh bintang ini, selain Untung adalah Benny Moerdani.
Namun alih-alih menelusuri hubungan Soeharto dengan G30S, tampaknya ada seorang perwira yang lebih signifikan peran dalam ’’merekrut’’ Untung yakni Rochaedi. Sejak Mei 1965 batalyon I Tjakrabirawa dipimpin oleh Letkol Untung.
Kabarnya Rochaedi yang ’’mengajak’’ Untung bergabung ke pasukan pengamanan Presiden. Rochaedi adalah anggota Tjakrabirawa yang ikut dalam salah satu rombongan delegasi Indonesia ke Beijing pada 25 September 1965, dan sejak itu terhalang pulang. Terakhir ia memperoleh suaka di Swedia dan berganti nama Rafiuddin Umar (meninggal 2005).
Di kalangan eksil 1965 di Swedia, ia agak tertutup. Kapten Rochaedi berasal dari batalyon yang pernah dipimpin Letkol Untung pada Kodam Diponegoro.

Pemilik nama lengkap Sudjud Surahman Rochaedi itu lahir pada 1927. Ia pernah masuk heiho dan pada awal kemerdekaan bergabung dengan divisi IV Panembahan Senapati. Menurut Letkol (penerbang) Heru Atmodjo, Rochaedi berada dalam batalyon Sudigdo yang terlibat dalam peristiwa Madiun.

Rochaedi kemudian ikut menumpas pemberontakan RMS akhir 1950. Tahun 1960 ia menjadi komandan Kompi Cadangan Umum (kemudian menjadi Kostrad) resimen 15 yang kemudian digabungkan dalam Batalyon Raiders 430 di bawah Kodam Diponegoro.
Februari 1963, kompi Rochaedi ini diboyong masuk Tjakrabirawa, Rochaedi menjadi komandan kompi batalyon I kawal kehormatan dengan pangkat letnan satu. Salah satu bawahan langsungnya adalah Sersan Mayor Boengkoes yang memimpin penculikan dan penembakan terhadap Mayjen MT Haryono.

Sjam Kamaruzzaman

Stroke ringan yang dialami Presiden Soekarno (4 Agustus 1965), beredarnya dokumen Gilchrist, dan isu Dewan Djenderal akan melakukan kudeta (5 Oktober 1965) menambah panas suasana politik. Sebagai komandan batalyon militer dalam pasukan yang tugasnya mengamankan Presiden, maka Untung ’’terpanggil’’ untuk menyelamatkan Presiden dari ancaman para jenderal tersebut dengan ’’mendahului’’ mereka dengan Gerakan 30 September.

Walaupun namanya tertulis sebagai komandan gerakan tersebut, kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa Untung bukan pemimpin utama aksi ini karena berbagai hal ditentukan oleh Sjam Kamaruzzaman dari Biro Khusus PKI. Ketika banyak persiapan (tank, senjata, logistik dan personel) masih kacau, Untung tidak mengambil keputusan menunda aksi ini.

Mereka lebih mendengar Sjam yang menyatakan, ’’Kalau mau revolusi ketika masih muda, jangan tunggu sampai tua,’’ dan ’’Ketika awal revolusi banyak yang takut, tetapi ketika revolusi berhasil semua ikut.’’
Tulisan ini menyimpulkan bahwa G30S dipimpin bukan oleh Letkol Untung, melainkan oleh Sjam Kamaruzzaman yang tidak mengerti strategi militer. Dan karena itu dapat dirontokkan dalam hitungan jam atau hari.

Bila Sjam yang mengetuai Biro Khusus yang menjalin hubungan dengan militer dianggap berhasil mendekati Kapten Rochaedi, sedangkan Rochaedi yang memasukkan Letkol Untung ke dalam Batalyon Tjakrabirawa, maka mata rantai pelaku G30S itu telah tersambung.
Karena alasan yang digunakan adalah ’’penyelamatan Presiden’’ tentu yang paling logis, pelaksananya dari pasukan pengawal Presiden. Itulah sebabnya, Letkol Untung dalam komplotan ini di atas kertas namanya ditaruh di atas Kolonel Latief dan Brigjen Supardjo yang pangkatnya lebih tinggi.(41)

- Penulis adalah sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/09/30/125217/Letkol-Untung-Bukan-Pemimpin-G30S

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?