SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Kesaktian Pancasila atau kesakitan Pancasila ?

| | |
Catatan A. Umar Said

Judul tulisan ini mungkin terasa sebagai cemooh yang tak pantas, atau kelakar yang tidak lucu, atau ungkapan sembrono yang hanya membikin marah atau jengkel sebagian orang, terutama para pendukung Suharto beserta rejimnya Orde Baru. Apa boleh buat, kalau begitu. Sebab, tulisan ini memang sengaja untuk mencemoohkan “Hari Kesaktian Pancasila”. Bahkan lebih dari itu! Tulisan ini dimaksudkan untuk menghujat – dan sekeras-kerasnya pula ! -- apa yang dinamakan oleh para pendukung rejim militer Orde Baru sebagai “hari yang sakti”, yaitu tanggal 1 Oktober. Karena, apa yang dilakukan oleh Suharto dkk dan para pendukung Orde Baru umumnya selama 32 tahun lebih, adalah pelecehan Pancasila, pemalsuan Pancasila, perkosaan Pancasila, penghinaan Pancasila, penyalahgunaan Pancasila, penyelewengan Pancasila atau –- bahkan ! --pengrusakan Pancasila. Jadi, seperti yang sudah disaksikan sendiri oleh banyak orang, selama masa Orde Baru (sampai sekarang !) Hari Kesaktian Pancasila sama sekali bukanlah sesuatu yang “sakti” melainkan sesuatu yang “sakit”.

“Hari Kesaktian Pancasila” selama sekitar 40 tahun selalu diperingati di Lubang Buaya, berdekatan dengan “Monumen Kesaktian Pancasila”, yang didirikan oleh rejim militer Orde Baru untuk memperingati tewasnya 6 jenderal TNI sebagai akibat peristiwa G30S. Bahwa Suharto dkk memberi penghargaan kepada perwira-perwira yang menjadi korban dalam peristiwa G30S adalah suatu hal yang wajar dan kiranya bisa dimengerti oleh banyak orang. Namun, bahwa peringatan terhadap 6 jenderal yang tewas itu dijadikan ritual yang - dengan gagah tetapi salah -- diberi nama “Hari Kesaktian Pancasila” adalah suatu kebohongan atau pemalsuan yang tidak boleh --dan tidak bisa!!! – ditolerir lagi oleh semua orang yang mempunyai fikiran jernih atau nalar yang sehat. Kita semua hendaknya tidak membiarkan terus para pendukung Suharto (rejim militer Orde Baru) berceloteh, atau membual, atau “omong gede” bahwa mereka menghargai Pancasila tetapi bersamaan dengan itu menjalankan hal-hal yang sama sekali bertentangan (bahkan, memusuhi !) dengan Pancasila-nya Bung Karno.

Mereka justru mengkhianlaati Pancasila

Perlulah kiranya selalu kita ingat bersama bahwa sejak 1970 sampai jatuhnya Suharto (tahun 1998) peringatan hari lahirnya Pancasila (hari ketika Bung Karno menyajikan kepada seluruh bangsa Indonesia gagasan besarnya itu) dilarang oleh Kopkamtib. Jadi, lama sekali. Keterlaluan, bukan? Bagaimana mereka bisa koar-koar menjunjung tinggi-tinggi Pancasila, tetapi memusuhi penggagasnya, yaitu Bung Karno ! Sebab, kalau dilihat dari berbagai segi sejarah perjuangan bangsa, bisalah dikatakan bahwa Pancasila adalah satu dan senyawa dengan Bung Karno, atau Bung Karno adalah Pancasila itu sendiri. Artinya, Pancasila (yang asli !) tidak bisa dipisahkan dari Bung Karno, apalagi dipertentangkan, seperti yang sudah dilakukan Suharto beserta para pendukungnya.

Jadi, sekali lagi perlu diulangi bahwa seperti yang sudah sama-sama kita saksikan selama beberapa puluh tahun, para tokoh rejim militer Orde Baru sering sekali bicara muluk-muluk atau bersuara lantang tentang Pancasila dalam pidato-pidato atau tulisan mereka, tetapi dalam praktek menjalankan hal-hal yang sama sekali berlawanan atau bahkan bermusuhan dengan jiwa asli atau isi yang sebenarnya menurut gagasan penciptanya atau perumusnya, Bung Karno. Suharto dkk bicara tinggi-tinggi soal Pancasila, namun mereka malahan telah mengkhianati pencetusnya, menggulingkan kekuasaannya sebagai presiden, menahannnya sebagai tapol, dan membiarkannya sakit parah dan wafat dalam status sebagai tahanan.

Bukan itu saja! Sebagian terbesar politik dan praktek-praktek rejim militer Orde Baru (dengan penyokong utamanya Golkar dan militer) selama puluhan tahun tidaklah mencerminkan jiwa atau isi Pancasila, yaitu : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dari pengalaman yang berpuluh-puluh tahun, nyatalah dengan jelas bahwa apa yang dilakukan Suharto dkk selama 32 tahun adalah penyelewengan (kalau bukan pembunuhan) jiwa agung dan tujuan luhur yang terkandung dalam Pancasila-nya Bung Karno.



Mereka tidak menyelamatkan negara melainkan “menjerumuskan”-nya

Peringatan “Hari Kesaktian Pancasila” adalah salah satu di antara banyak sekali praktek-praktek rejim militer Orde Baru (yang masih diteruskan sampai sekarang oleh para pendukung setianya) yang dimaksudkan sebagai usaha untuk terus-menerus menjatuhkan citra Bung Karno beserta para pendukung utamanya, yang terdiri dari golongan kiri pada umumnya, dan golongan PKI pada khususnya. Secara langsung atau tidak langsung, dan dengan berbagai jalan dan bentuk, digambarkan bahwa “Pancasila” mereka yang “sakti” telah menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia dari kesalahan-kesalahan Bung Karno yang “bersekutu” dengan PKI.

Padahal, seperti yang kita semua sama-sama saksikan, justru karena mereka telah menyalahgunakan, atau memalsu, atau melecehkan Pancasilanya Bung Karno itulah keadaan negara bangsa dan negara kita menjadi sangat semrawut dan bobrok sekali dewasa ini. Justru karena mereka (Suharto dkk) mengkhianati Bung Karno sebagai presiden dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang dan Pemimpin Besar Revolusi, maka mereka sama sekali tidak pantas – dan juga sama sekali tidak berhak !!! – untuk menggembar-gemborkan sebagai golongan yang menjunjung tinggi Pancasila dan “menyelamatkan bangsa dan negara”. Sebaliknya, seperti yang disaksikan oleh kita semua, perkembangan situasi di Indonesia sejak kudeta merangkak yang dilakukan Suharto dkk sampai sekarang menunjukkan dengan jelas bahwa justru mereka itulah yang telah menjerumuskan bangsa dan negara ke dalam jurang kebobrokan dan kebusukan.

Karena mereka telah memusuhi ajaran-ajaran atau gagasan besar Bung Karno, termasuk mencampakkan jiwa asli atau isi utama Pancasila hasil pemikirannya, maka negara kita sekarang berada dalam krisis yang multi-dimensional atau bersegi banyak. Di antara berbagai krisis atau persoalan besar yang dihadapi rakyat dan negara kita adalah : dikangkanginya asset negara yang penting-penting oleh kekuatan asing, kelumpuhan negara dan bangsa menghadapi neo-liberalisme, kerusakan moral atau iman di berbagai kalangan atas, rusaknya persatuan bangsa karena persoalan agama dan kesukuan, merajalelanya korupsi dimana-mana, hilangnya kepedulian atau kepekaan rasa terhadap kemiskinan sebagian terbesar rakyat, dibiarkannya pengangguran sampai beberapa puluh juta orang, merosotnya patriotisme atau nasionalisme kerakyatan.



“Hari Kesaktian Pancasila” adalah anti-Bung Karno

Para pendukung Orde Baru menggembar-gemborkan “Hari Kesaktian Pancasila” dengan tujuan yang berlawanan sama sekali dengan gagasan besar dan otentik yang terkandung dalam Pancasila-nya Bung Karno. “Hari Kesaktian Pancasila” yang diselenggarakan di Lubang Buaya pada intinya adalah berjiwa atau berorientasi anti-Sukarno,atau anti-kiri umumnya, termasuk anti-PKI.

Dalam kaitan ini perlulah kiranya kita semua (termasuk orang-orang yang masih tertipu oleh Orde Barunya Suharto bahwa “Hari Kesaktian Pancasila” adalah sesuatu yang luhur dan mulia) mengerti dengan gamblang bahwa secara keseluruhan, Pancasila-nya Bung Karno adalah kiri. Dengan mengingat bahwa sejak mudanya ia sudah menerjunkan diri dalam perjuangan anti-kolonialisme Belanda dengan elan (semangat) revolusioner dan jiwa NASAKOM, maka jelaslah bahwa ia menggagas Pancasila dalam tahun 1945 pun dengan latar-belakang fikiran kiri dan revolusioner.

Kalau kita cermati gagasan-gagasan Bung Karno yang besar dan progresif yang terkandung dalam kata-kata di Pancasila-nya: Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan, dan Keadilan sosial, maka kita semua bisa melihat bahwa apa yang dilakukan oleh Suharto dengan Orde Barunya selama 32 tahun adalah betul-betul pengkhianatan besar-besaran terhadap Pancasila yang asli. Sebab, hanya orang-orang yang jiwanya tidak sehatlah yang masih bisa -- atau masih berani !!! -- mengatakan bahwa Orde Baru telah mempraktekkan Kemanusiaan yang adil dan beradab (harap ingat : pembantaian jutaan orang tidak bersalah dalam peristiwa 65, penangkapan ratusan ribu orang selama puluhan tahun, dan menyengsarakan terus-menerus, sampai sekarang, keluarga korban 65 yang puluhan juta orang jumlahnya).

Juga hanya orang-orang yang nalarnya rusak-lah yang terus-menerus mengatakan bahwa pemerintahan Orde Baru (dan semua pemerintahan yang berikutnya) telah dan sedang mentrapkan Kerakyatan, kalau kita ingat bahwa lembaga-lembaga negara (antara lain : DPR, DPRD, Mahkamah Agung, dan aparat birokrasi dikuasai oleh anasir-anasir korup dan bermental anti-rakyat). Dan hanya orang-orang yang imannya sesatlah yang tidak segan-segan mengatakan bahwa semua pemerintahan pasca-Sukarno menjunjung tinggi-tinggi prinsip Keadilan sosial, kalau kita saksikan bahwa selama ini sebagian terbesar rakyat kita hidup di bawah 2 dollar sehari, sedangkan segolongan orang-orang sebangsa Tommy Suharto dan Tutut bergelimang dengan uang triliunan Rupiah.

Perlu kita sama-sama renungkan juga bahwa Bung Karno merumuskan sila pertama Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa) dengan pengertian agama (Islam, Katolik, Kristen dll) yang progresif, yang berkemanusiaan, yang adil dan beradab, yang menjunjung tinggi-tinggi kerakyatan dan keadilan sosial (jadi sama sekali berlawanan dengan praktek-praktek FPI atau ajaran golongan Islam fundamentalis Indonesia lainnya). Patutlah kita semua ingat bahwa Bung Karno sejak masih mahasiswa sudah terjun dalam gerakan Islam yang progresif atau kiri, anti-kolonialis, dan bersahabat dengan orang-orang komunis juga, karena ia anggap mereka sebagai kawan seperjuangan.

Apa yang dikemukakan di atas itu adalah untuk mengajak kita semuanya melihat bahwa “Hari Kesaktian Pancasila” yang diselengggarakan di Lubang Buaya itu sebenarnya atau pada intinya adalah hanya salah satu di antara banyak upaya sebagian golongan militer pendukung Suharto beserta sisa-sisa kekuatan Orde Baru lainnya untuk melanjutkan terus-menerus politik mereka yang salah selama ini, yaitu memerosotkan citra Bung Karno dan sekaligus memukul gerakan kiri, dan terutama PKI. Itu semuanya perlu mereka lakukan, untuk menutupi dosa-dosa mereka yang besar dan banyak sekali yang telah dilakukan sejak 1965.



Pancasila adalah pemersatu bangsa dan juga kiri

Bahwa jiwa asli Pancasila adalah kiri, baiklah disajikan ulang apa yang dikatakan oleh penggagasnya, Bung Karno, seperti yang dapat kita baca dalam dua jilid buku “Revolusi belum selesai”. Dalam buku tersebut dapat dibaca kumpulan pidato-pidato Bung Karno sesudah peristiwa G30S, yang banyak menyinggung masalah Pancasila. Berikut adalah satu bagian kecil sekali dari pidato beliau dalam sidang paripurna Kabinet Dwikora di Bogor pada tanggal 6 November 1965 (yaitu kita-kira sebulan lebih setelah terjadinya G30S, ketika para pembesar militer pendukung Suharto mulai menggunakan Pancasila untuk menyerang Bung Karno) :

“Jangan kira, Saudara-saudara, kiri is alleen maar (keterangan : bahasa Belanda, yang artinya : hanyalah ) anti-imperialisme. Jangan kira kiri hanya anti-imperalisme, tetapi kiri juga anti-uitbuiting (penghisapan). Kiri adalah juga menghendaki satu masyarakat yang adil dan makmur, di dalam arti tiada kapitalisme, tiada exploitation de l’homme par l’homme, tetapi kiri. Oleh karena itu saya berkata tempo hari, Pancasila adalah kiri. Oleh karena apa ? Terutama sekali oleh karena di dalam Pancasila adalah unsur keadilan sosial. Pancasila adalah anti-kapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation de l’homme par l’homme. Pancasila adalah anti-exploitation de nation par nation. Karena itulah Pancasila kiri” (Revolusi belum selesai, halaman 77).

Dalam sidang pimpinan MPRS ke 10 di Istana Negara, 6 Desember 1965 (jadi dua bulan sesudah G30S) Bung Karno mengatakan :” Apakah tidak benar kalau saya berkata bahwa di waktu yang akhir-akhir ini, Pancasila dipergunakan sebagai satu barang an sich.Aku Pancasila! Maksudnya apa orang yang berkata demikian ini ? Aku antikomunis. Perkataan dipakai untuk sebetulnya men-demonstreer anti kepada Kom. Padahal Pancasila sebetulnya tidak anti-Kom. Kom dalam arti ideologi sosial untuk mendatangkan di sini suatu masyarakat yang sosialistis. Kalau dikatakan, ya aku Pancasila, tetapi dalam hatinya anti-Nasakom. Pancasila dipakai untuk mengatakan aku Pancasila, tetapi aku anti-Nas. Aku Pancasila tetapi aku anti-A.

Pancasila adalah pemersatu, adalah satu ideologi yang mencakup segala. Dan aku sendiri berkata, aku ini apa? Aku Pancasila. Aku apa ? Aku perasan daripada Nasakom. Aku adalah Nasionalis, aku adalah A, aku adalah sosialis, kataku. Tetapi banyak orang memakai Pancasila ini sebagai hal yang anti.” (Revolusi belum selesai, halaman 217).



Pancasila-nya Bung Karno perlu kita angkat kembali

Mengingat itu semuanya nyatalah bahwa « Hari Kesaktian Pancasila » yang diselenggarakan di Lubang Buaya (dan di tempat-tempat lainnya di Indonesia) adalah sebenarnya bertentangan sama sekali dengan jiwa asli Pancasila-nya Bung Karno dan ajaran-ajaran besarnya yang lain. Karena itulah tulisan ini sependapat dengan usul atau fikiran yang sudah mulai muncul supaya ritual yang hanya menyebar racun persatuan bangsa ini ditiadakan atau dihapuskan saja untuk selanjutnya. Tetapi, kalau sisa-sisa Orde Baru masih mau tetap mengadakannya, ada juga baiknya ! Sebab, seperti halnya diaporama beserta « Monumen Pancasila, » -nya, akhirnya itu semua akan merupakan boomerang bagi mereka, karena banyak orang (terutama generasi yang akan datang) akan bisa melihat dengan jelas kebohongan dan tujuan yang tidak luhur yang dikandungnya. Diaporama dan segala macam monumen yang didirikan oleh rejim militer ini pastilah akan menjadi “senjata makan tuan” bagi mereka sendiri.

Jadi, kita semua melihat bahwa Pancasila sudah dikotori atau dibikin busuk seperti comberan (dan memuakkan!) oleh Suharto dan konco-konconya selama puluhan tahun dengan macam-macam praktek (antara lain indoktrinasi paksaan Penataran “Penghayatan dan Pengamalan Pancasila”, dan cekokan berupa seminar atau rapat-rapat dll). Karenanya, sudah banyak orang yang bukan saja membenci Suharto dengan Orde Barunya, melainkan juga tidak menghargai Pancasila lagi.

Karenanya, adalah tugas kita bersama dewasa ini, dan untuk selanjutnya, untuk mengangkat kembali Pancasila dari comberan yang dibikin oleh rejim militer Suharto. Pancasila-nya Bung Karno perlu kita junjung tinggi-tinggi, kita kumandangkan lagi, dan kita dudukkan di tempat yang luhur dan mulia sebagaimana mestinya, sebagai pemersatu bangsa yang berjuang untuk masyarakat yang betul-betul demokratis, adil dan makmur.

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?