SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Awas Komunis, Waspadai Anak-Anak PKI!

| | |
Oleh : Yoseph Tugio Taher


"Atas kekejaman PKI, maka pemerintah mengeluarkan Tap MPRS Nomor 25 tahun 1966 tentang larangan ajaran komunis beredar di Indonesia".

Kalau boleh kita bertanya, kekejaman apa dan bagaimana yang dilakukan oleh PKI? Apakah buktinya bahwa PKI melakukan kekejaman? G30S? Apa hubungannya G30S dan PKI? Apa bukti akurat bahwa G30S didalangi PKI seperti yang dituduhkan oleh Soeharto serta klik dan para pengikutnya?

Sebelum kejadian G30S, Letkol. Untung Samsuri yang tidak asing bagi Soeharto karena dia adalah anak mantunya Soeharto (istri Untung adalah hasil carian Bu Tien Soeharto), mendatanginya dan melaporkan rencananya untuk melakukan gerakan menangkap para jenderal yang diduga akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno. Soeharto mengatakan bahwa sikap itu sudah benar. "Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu." demikian kata Soeharto menurut Letkol Untung, seperti yang diceritakan kepada dan kemudian dikisahkan kembali oleh Subandrio, yang selama Orba ditahan bersama Letkol. Untung. Malahan, menurut penjelasan Untung, Soeharto menawarkan bantuan pasukan. "Kalau perlu bantuan pasukan akan saya bantu. Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah" (Soebandrio: Kesaksianku ttg G30S http://www.wirantaprawira,net)
Segera setelah itu, Panglima Kostrad, Soeharto merealisasi janjinya kepada Untung, dengan memberi perintah pertelegram No. T.220/9 pada tanggal 15 September 1965 dan mengulanginya lagi dengan radiogram No. T.239/9 tanggal 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya Jawa Timur dan Yon 454 Banteng Raider Diponegoro Jawa Tengah untuk datang ke Jakarta dengan kelengkapan tempur penuh. Ketika datang ke Kostrad diterima oleh Soeharto dan juga dilakukan inspeksi pasukan pada tanggal 29 September 1965. Sedangkan Yon 328 Siliwangi datang dengan tanpa peluru. Tanggal 30 September 1965 jam 17.00 Yon 454 diperintahkan ke Lubang Buaya untuk bergabung dengan pasukan lainnya guna melakukan gerakan pada malam harinya. (Pengakuan Soebandrio dan Fakta Kebenaran Korban Tragedi65 oleh LPRKROB, YPKP65 dan Pakorba http://kontak.club.fr/index.htm) Kalau Kalau kita lihat fakta diatas, nah, di mana dan bagaimana kedudukan Soeharto dalam mempersiapkan G30S?
Lagipula, dengan tiadanya pencegahan oleh Soeharto ketika Untung menyampaikan maksudnya, begitu juga ketika Kolonel A.Latif melaporkan hal itu kepada Soeharto, maka mereka merasa benar dan menjadi berani. Apalagi dengan dorongan moral dari Soeharto. Andaikata, ya, andaikata Soeharto mencegah niat Untung dan Latief pada saat itu, dan melaporkannya kepada atasannya, Yani, Nasution bahkan Bung Karo, maka tidak akan bakal terbunuh 6 jenderal yang merupakan putra-putra bangsa. Namun, Soeharto tidak mencegah, malahan justru memberikan bantuan, karena sesungguhnya Soeharto berkepentingan dengan hilangnya para jenderal yang memang menjadi rivalnya semenjak tahun 50-an ketika dia menjadi Panglima Kodam VII Diponegoro, terutama Jenderal Yani yang pernah menempelengnya karena korupsi Soeharto, lagipula yang kedudukannya sebagai Pangad memang diincar oleh Soeharto.

Kenyataan sejarah memang demikian. Begitu ke enam jenderal diculik dan ternyata dibunuh terutama Jenderal A.Yani, serta merta Soeharto mengangkat dirinya menjadi Panglima Angkatan Darat, mengabaikan dan mengengkari perintah Presiden/Pangti ABRI yang telah menetapkan Pranoto Reksosamudro menjadi caretaker Pangad. Selanjutnya, Soeharto yang mengangkat dirinya sendiri menjadi Pangad, melibas teman-temannya dalam G30S seperti Letkol. Untung Samsuri, Kolonel Latief yang punya hubungan sangat dekat dengan Soeharto serta Brigjen Supardjo.. Watak dan perilaku Soeharto adalah sebagai "menohok kawan seiring, menggunting dalam lipatan". Seperti kucing yang pura-pura tak acuh, melihat dan membiarkan tikus makan keju, setelah si tikus kekenyangan, maka serta merta si kucing menubruknya. Begitulah dapat diibaratkan dengan Soeharto!

Soeharto melancarkan rekayasa dan fitnah keji bahwa G30S didalangi oleh PKI, dan sebagai kelanjutan dan realisasi fitnah dan rekayasanya itu, Soeharto membunuh tanpa proses hukum dan pengadilan para pemimpin dan tokoh-tokoh PKI, karena kekuatirannya, kalau pemimpin PKI terutama D.N. Aidit sempat bicara, akan terbukalah tentang persekongkolan Untung-Latief dan Soeharto. Jadi, tanpa perikemanusiaan, Soeharto membunuh semua pimpinan PKI dan juga golongan militer yang kiranya bisa bicara membukakan belang dan keterlibatan Soeharto. (Silahkan telusuri website: Kolektif(i)nfoCoup d'etat 65"kolic65@progind.net)

Rekayasa dan fitnah Soeharto gampang sekali membangkitkan massa yang anti kepada PKI. Soeharto menggunakan AD dan massa untuk mengharu birukan Jakarta, menangkap dan membunuhi orang-orang PKI, merampas atau membakar rumah-rumah mereka, memperkosa anak-anak mereka. Indonesia yang berbudaya tinggi dan beragama berubah menjadi negeri serigala, Dan Soeharto, sesuai dengan taktiknya, "nglurug tanpa bala" justru menggiring massa untuk berbuat lebih biadab dan melupakan perikemanusiaan. Nah, siapa yang kejam dan biadab? PKI ataukah Soeharto dengan Angkatan Daratnya serta massa yang terdiri dari para mahasiswa/pelajar yang tergabung dalam organisasi KAMI/KAPPI yang setiap hari melakukan aksinya, melakukan pengganyangan dengan menyembelih orang-orang PKI yang sementara mereka melakukan aksi kejam dan biadabnya, menjadi pembunuh-pembunuh bangsa sendiri, Kedutaan Amerika di Jakarta mensuplai 5000 nasi bungkus lengkap dengan lauk pauknya setiap hari buat mereka yang telah melakukan kerja keras membunuhi PKI. (Kolektif(i)nfoCoup d'etat 65"kolic65@progind.net)

Nah, siapa yang kejam?

Kemudian tampil Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, Komandan RPKAD, yang tahun 1964 baru lulus training di Australia, yang kemudian dengan 400 orang anggotanya, Kolonel Sarwo Eddhi Wibowo merasa bangga dengan kebuasann dan perilakukanya sebagai penjagal bangsa Indonesia, melakukan pembunuhan atas orang-orang yang dituduh komunis di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali.

Hasil investigasi yang dilakukan oleh Tim Pencari Fakta, yang lebih dikenal sebagai Komisi Lima yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri saat itu, Mayjen. Dr. Soemarno, dengan anggota-anggota Moejoko (Polri), Oei Tjoe Tat SH, Mayjen. Achmadi ( ex. Brigade.XVII/TP) dan seorang lagi tokoh Islam, menyebut bahwa jumlah korban pembunuhan yang dilakukan atas perintah Soeharto sekitar 500.000 orang. Bahkan menurut pengakuan mendiang Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, Panglima RPKAD, kepada Permadi SH, jumlah yang dibunuh mencapai sekitar 3.000.000 ( baca: tiga juta!) orang. "Itu yang ia suruh bunuh dan ia bunuh sendiri" kata sumber itu. (http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/08/26/0011.html)

Nah, sekali lagi, siapa yang kejam? Tiga juta PKI yang dibunuh, ataukah Soeharto dan Sarwo Edhi Wibowo, (yang kebetulan adalah ayah dari Kristiani Herawati yang menjadi istri Mantan Jenderal Susilo Bambang Yudoyono, yang sekarang menjadi Presiden RI)? Dan ratusan ribu orang-orang yang dituduh komunis dan tak sempat dibunuh, ditangkap dan ditahan atau dipenjarakan tanpa proses selama belasan tahun. Ratusan ribu tahanan ditempatkan di dalam kamp-kamp yang sangat tidak memadai dan dibawah standar kemanusiaan. Tempat, kesehatan, makanan dan lain-lain yang sangat minim yang semuanya itu hanya bertujuan untuk melenyapkan secara pelan dan bertahap.

Seorang staf Kedubes AS, Josepf Lazarsky, Kepala Perwakilan Stasiun CIA di Jakarta, yang datang ke Kostrad dan melihat begitu banyak manusia yang ditahan diberbagai tempat, bertanya pada Soeharto tentang proses hukum para tahanan itu. Soeharto menjawab singkat, "kalau ditahan terus siapa nantinya yang akan memberi makan mereka?" (Jenderal Soeharto Menuju Tahta kekuasaan-http://www.progind.net/ modules/wfsection/article.php?articleid=76, copied 10/11/2005 dan Maruli Tobing-Kompas 9 Pebruari 2001-"Perang Urat Syaraf")

Tidakkah dari ucapan Soeharto itu kita bisa melihat bagaimana iktikadnya? Dan memang kenyataannya, di samping para tahanan yang mati karena sakit, kurang makan dan tekanan bathin dsb. karena ditahan belasan tahun tanpa proses dan pengadilan, banyak yang diambil malam dari tempat tahanannya dan dibunuh. Ini sejarah yang tidak mesti dilupakan begitu saja! Nah, sekali lagi siapa yang kejam?

Dan puluhan juta keluarga mereka, dipersulit hidupnya dengan segala peraturan dan hukum diskriminatif dan tuduhan-tuduhan murahan seperti ada indikasi, terlibat tidak langsung, bersih lingkungan dan segala macam pembatasan, tidak boleh ini tidak boleh itu, yang derita mereka itu, berlanjut dan berlanjut berkepanjangan bahkan sampai hari ini, di saat pemerintah dan Negara yang katanya sudah menganut paham "reformasi"! Nah. siapa yang kejam? Orang-orang PKI yang dijadikan korban sembelihan dan dianggap sebagai hewan, ataukah Soeharto dengan Orde barunya yang ditopang kuat oleh Angkatan Darat dan partai Golkar dan antek-anteknya?

Selama kekuasaannya, Soeharto dan Ordebarunya selalu bernyanyi "melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekwen", namun semua prakteknya adalah melanggar dan mengingkari perikemanusiaan. Dia menjadi penjahat kemanusian yang terbesar diabad modern ini, dan melanggar Pancasila yang merupakan dasar negara dan falsafah bangsa
Setiap orang yang beragama senantiasa bersembahyang dan berdoa kepada Tuhannya, "Ya Allah, ampunilah dosa hamba," namun setelah selesai ‘berdoa", mereka melakukan dosa lagi dengan membunuhi manusia dengan tuduhan komunis, manusia yang adalah juga ciptaan Tuhan. Perbuatan apa namanya yang seperti itu?

Soeharto bahkan tidak segan-segan menahan dan membunuh Bung Karno yang telah memberinya pengampunan, pangkat dan jabatan. Tak heran kalau Drs. Mohammad Hatta, Mantan Wakil Presiden RI, menjadi marah melihat kekejaman Soeharto atas Soekarno. (Namun, masih ada orang yang mengatakan bahwa Soeharto adalah "anak kesayangan" Soeharto. Bah, sungguh keblinger!)

Lebih dari itu, untuk mengelabui dan membodohi rakyat, Soeharto dan Orde barunya mendengungkan lagu Pancasila yang dianggap Sakti.. Dia tampil sebagai "pembela" Pancasila yang sakti. Namun, "Logika mana yang dapat membenarkan bahwa Pancasila dianggap sakti ketika militer dan rakyat berhasil ‘menyelamatkannya' dengan melenyapkan jutaan nyawa manusia Indonesia yang notabene mengakui Pancasila sebagai miliknya juga? Jikapun yang dibunuh itu adalah kaum komunis, adakah Pancasila menuntun bangsa ini untuk menghabisi nyawa mereka" (Wilson Lalengke , Hoki -30-Sep-2007)

Bahkan, Soeharto dengan tidak tahu malu, menginterpretasikan Pancasila seenaknya dan tidak mengakui Bung Karno sebagai penggali dan pencetus Pancasila, dan tidak mengakui 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila, bahkan menetapkan 18 Agustus 1945sebagai hari lahir Pancasila. (Lihat Hoki/Opini 01-Jun-2008 dengan judul Selamat Hari Lahir Pancasila).

Rakyat mengetahui dan menyadari bahwa Pancasila adalah hasil galian dan cetusan Bung Karno yang diumumkan sebagai falsafah bangsa dan Negara pada 1 Juni 1945. Interpretasi Pancasila haruslah dari penggali dan pencetusnya, Bung Karno dan bukannya dari Soeharto. Dan rakyat juga memahami akan isi pidato Bung Karno tentang Pancasila pada 6 Desember 1965 (dua bulan sesudah G30S), yang mengatakan:
"Pancasila adalah pemersatu, adalah satu ideologi yang mencakup segala. Dan aku sendiri berkata, aku ini apa? Aku Pancasila. Aku apa ? Aku perasan daripada Nasakom. Aku adalah Nasionalis, aku adalah A, aku adalah sosialis, kataku. Tetapi banyak orang memakai Pancasila ini sebagai hal yang ant." (Revolusi belum selesai, halaman 217).

Sedang sebelumnya dalam sidang paripurna Kabinet Dwikora di Bogor pada tanggal 6 November 1965 (yaitu kita-kira sebulan lebih setelah terjadinya G30S, ketika para pembesar militer pendukung Soeharto mulai menggunakan Pancasila untuk menyerang Bung Karno), beliau mengatakan:

Jangan kira, Saudara-saudara, kiri is alleen maar (keterangan : bahasa Belanda, yang artinya : hanyalah ) anti-imperialisme. Jangan kira kiri hanya anti-imperalisme, tetapi kiri juga anti-uitbuiting (penghisapan). Kiri adalah juga menghendaki satu masyarakat yang adil dan makmur, di dalam arti tiada kapitalisme, tiada exploitation de l'homme par l'homme, tetapi kiri. Oleh karena itu saya berkata tempo hari, Pancasila adalah kiri. Oleh karena apa ? Terutama sekali oleh karena di dalam Pancasila adalah unsur keadilan sosial. Pancasila adalah anti-kapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation de l'homme par l'homme. Pancasila adalah anti-exploitation de nation par nation. Karena itulah Pancasila kiri" (Revolusi belum selesai, halaman 77).

Jadi rakyat yang melek yang memahami arti pidato Bung Karno, Bapak Bangsa dan Bapak Pancasila itu, dengan sendirinya tidak mengindahkan keputusan "pemerintah" Soeharto dengan MPRSnya yang mengeluarkan TAP/25 tahun 1966, karena TAP 25/1966 itu adalah melanggar dan tidak sesuai dengan jiwa Pancasila! Rakyat Indonesia sekarang, kendatipun masih tetap menderita, bukanlah rakyat Indonesia tahun 1966 yang bisa dan gampang dikibuli (atau diancam dengan bedil dan bayonet) Soeharto dan rezimnya! Bahkan lebih dari itu, rakyat menginginkan supaya TAP 25/1966 itu dicabut karena tidak sesuai dengan Hak Asasi Manusia dan Pancasila.

Si penulis artikel, dengan seenaknya menuduh "keterlibatan PKI dalam peristiwa pengkhianatan dan pemberontakan pada tahun 1965" Dapatkah sipenulis tersebut memberikan bukti tentang "keterlibatan PKI" atau hanyakah sekedar berucap seperti rekayasa dan fitnah yang dilontarkan oleh Soeharto dan kliknya?

Prof. John Roosa sejarawan dari University of British Columbia (Kanada), dalam bukunya yang berjudul "Dalih pembunuhan massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto", [halaman 95 dan 99] mengatakan "Rezim Soeharto membangun sebuah dunia fantasi tersendiri yang unsur-unsurnya, terutama yang berkaitan dengan peristiwa 1965, terbukti masih bertahan gigih untuk tampak sebagai kebenaran abadi bagi bangsa Indonesia. Sekalipun arus propaganda terus membanjir selama tiga puluh tahun lebih, tentara Soeharto tidak pernah membuktikan bahwa PKI telah mendalangi G30S. Satu-satunya bukti bahwa PKI memimpin G30S adalah karena Angkatan Darat menyatakan demikian"

Seharusnya, si penulis artikel itu mempelajari secara mendalam terlebih dahulu, mengapa Indonesia yang dikatakan kaya raya, kok rakyatnya miskin. Apakah kemiskinan itu disebabkan oleh komunis, oleh PKI ataukah oleh Soeharto dan rezimnya serta penerusnya yang secara terang maupun tersembunyi masih berkuasa atas bumi dan bangsa Indonesia, menggadaikan Indonesia kepada pihak asing sedang rakyat mati kelaparan seperti tikus yang mati dilumbung padi? (silahkan lihat tulisan "Negara Kaya Kok Rakyat Miskin?" oleh : Adi Jaya, Hoki 8/2/09)

Tidakkah kita bisa melihat bahwa "gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja" hanya untuk golongan Soeharto dan kroni serta penjilat-penjilatnya, serta semua pejabat dan pimpinan yang bertambah gendut, (di satu sisi menjadi pejabat dan pemimpin rakyat, sedang di sisi lain menjadi kapitalis yang menghisap rakyat dan menjual negeri dan hasil bumi kepada bangsa asing) sedang puluhan juta rakyat Indonesia masih miskin dan sengsara, ratusan ribu bayi-bayi kekurangan gizi, ibu-ibu menderita kekurangan makan, bahkan rakyat miskin yang kurang makan setiap kali ada yang mati terinjak-injak karena memperebutkan taburan, "sedekah, angpao, zakat" dari orang-orang yang berkelebihan, sedang kapitalis asing maupun nasional panen di bumi persada dan para pejabat bertambah gendut karena penghisapan dan korupsi, dan berpesta pora dengan ribuan tamu dihotel mewah dengan kue tart yang berukuran garis tengah 2½ meter, atau menguntil-until uang puluhan ribu hanya untuk dijadikan kembang sebagai kado pernikahan? Apakah semua hal itu kesalahan komunis?

Kejahatan kemanusiaan Soeharto dan kliknya terlalu besar. Kalau kita mau mengaji sejarah, kekejaman Soeharto yang menggunakan G30S sebagai dalih untuk melakukan pembunuhan massal, sama halnya dengan Kaisar Romawi kuno Nero yang membakar kota Roma kemudian mempersalahkan kaum Kristen dan membunuhinya; sama dengan nazi Hitler yang membakar Kantor DPR Jerman tahun 1933 dan menuduhnya sebagai perbuatan komunis, kemudian menyalahkan dan menghabiskan anggota komunis Jerman, atau seperti George Bush yang meyerang dan menghancurkan Irak yang diduga punya senjata pembunuh massal yang kemudian terbukti bahwa senjata pembunuh massal itu tidak pernah ada, namun Irak sudah porak poranda.

KabarIndonesia - Jumlah orang-orang yang ditahan Soeharto dalam kamp-kamp tahanan yang tersebar di segenap pelosok tanah air, selama belasan tahun dan kemudian dilepas bagai melepas ayam dari kandang, banyak sekali. Dan pemerintah tidak ambil peduli dengan segala derita dan kehancuran mereka, baik jasmani maupun rohani, baik ekonomi maupun keluarga. Bahkan banyak peraturan-peraturan pemerintah militer yang mengharuskan melacak, mengawasi mereka ke mana pergi.

Sebagai contoh: Seorang siswa SMEA di Makassar, AA, ditangkap tanggal 5 Okt 1965, ditahan dan dibebaskan dari tahanan Kamp Moncong Loe, Sulawesi Selatan, tanggal 20 Des 1977 (setelah meringkuk selama 12 tahun), mengirim surat mengadukan nasibnya kepada Presiden SBY.

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia dengan alamat PO BOX-SMS 9949 tanggal 19 Januari 2007 mengirim surat balasan yang ditandatangani oleh Sardan Marbun dari Staf Khusus Presiden Selaku Pengelola PO Box 9949, dengan tembusan kepada Presiden RI.

Dalam balasannya itu dikatakannya antara lain bahwa: Masalah G. 30 S/PKI adalah masalah lalu, yang proses penyelesaiannya dilaksanakan sesuai kebijakan pada periode yang sama.

Kita bisa melihat bagaimana pemerintah mencoba berlepas tangan dengan memberikan jawaban seperti itu. Jawaban serupa itu hanya menunjukkan ketidak becusan pemerintah serta masih tunduk dan mengikut cara dan pola berpikir orde baru dan tidak peduli dengan rakyat dan menganggap apa yang dilakukan orde baru sebagai benar. Kemana rakyat mesti mengadu, meminta perlindungan dan keadilan? Dimana janji SBY yang hendak merehabilitasi para eks tahanan politik Soeharto? Semua omong kosong!

Karena inilah mereka, para korban yang diabaikan pemerintah itu berdasarkan hukum dan peraturan yang ada dan berlaku mencari perlindungan dalam organisasi-organisasi sesama mereka yang legal, yang diizinkan pemerintah, seperti YPKP, PAKORBA dan LPR KROB (Lembaga Perjuangan Rezim Korban Rezim Orde Baru) yang kiranya dapat memperjuangkan dan melindungi nasib mereka dan agar supaya pemerintah melek, membuka mata terhadap penderitaan mereka.

Kalaupun YKPP (Yayasan yang didirikan oleh alm. Pramudya Ananta Toer serta 6 orang teman lainnya pada tahun 1999) dan Pakorba mengadakan rapat, mereka adalah membicarakan tentang korban-korban Soeharto/Orde baru yang berserakan di segenap pelosok tanah air, dan menyusun daftar korban dari seluruh Indonesia yang tak terhitung jumlahnya, yang sebagian telah diserahkan kepada Komnas HAM untuk diketahui oleh DPR dan Pemerintah Indonesia.

Dan jutaan mereka yang menjadi korban kekejaman Soeharto/orde baru/AD, melalui yayasan, melalui organisasi mereka, menuntut rehabilitasi, menuntut rekonsiliasi, menuntut pemulihan hak sebagai manusia dalam bumi nusantara. (Sekitar seribu lebih daftar nama korban pembunuhan massal di daerah-daerah serta perkosaan 65/66 di Sumatera Utara, oleh rezim Soeharto/orde baru pernah disiarkan dalam milis temu_eropah. Silahkan menelusurinya).

Namun, masih ada juga beberapa orang aparat keamanan yang melakukan teror dan intimidasi dengan membubarkan rapat para pimpinan YKPP yang hanya dihadiri oleh 5 orang, dengan alasan yang dicari-cari. (silahkan lihat berita Hoki/Opini berjudul: " Teror Masyarakat oleh Oknum Aparat Kepolisian" tanggal 10/2/09)

Si penulis artikel dalam Hoki yang mengatakan dan menuduh dengan gegabah bahwa Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 65-66 dan PAKORBA melaksanakan rapat di Tangerang baru-baru ini , antara lain adalah membahas untuk "Menolak Pancasila sebagai dasar Negara.".

Nauzzubillah..........! Bagaimana mungkin seorang cerdik pandai bisa berbicara dan menulis "berita" dengan menipu dan membodohi rakyat seperti itu? Rakyat Indonesia mengetahui dan menyadari, bahwa PANCASILA ADALAH KIRI. (lihat kutipan pidato Bung Karno diatas/tulisan bagian 1). Nah, kalau Pancasila memang sudah kiri, mengapa mesti ditolak atau diganti? Tidak ada manusia atau organisasi yang cinta Bung Karno dan Indonesia mau mengganti Pancasila! Yang penting adalah MEMPERTAHANKAN PANCASILA sebagai dasar Negara dan falsafah bangsa, karena sekarang ini ada golongan yang kasak kusuk ingin merobah dasar Negara. supaya berdasarkan agama. Bukankah begitu?
Kalau kita mau ngaca dan belajar sejarah, maka pada tahun 1956/1957, golongan agama di DPR/Konstutante berusaha keras agar Dasar Negara, Pancasila, diganti, ditukar dengan falsafah agama. Namun, saat itu, justru PKI dan PNI yang mati-matian mempertahankan Pancasila sebagai Dasar Negara. Jadi, sejak semula, PKI mempertahankan Pancasila dan berdiri dibelakang penggali Pancasila Bung Karno. Ini sejarah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah!
Semenjak menjadi presiden RI tahun 2004, SBY telah berjanji untuk merehabilitasi para tapol yang dibuang ke pulau Buru dan tapol lainnya (Suara Pembaruan tanggal 17 Maret 2005). Namun, sampai mereka semua itu, (yang bisa keluar dari tahanan dalam keadaan masih hidup), pada mati satu persatu, (contohnya, Pramudya Ananta Toer), rehabilitasi itu tidak kunjung tiba. Hanya janji dan nyanyi "Tinggi gunung seribu janji, lain di mulut lain di hati!" Janji SBY hilang bersama angin lalu. Bahkan mendendangkan lagu baru: "Membicarakan G30S sebagai tidak produktif...." (MyRMNews, 1 Okt. 2006)..
Karenanya, tak heran kalau saat ini masih ada perwira Intel AD, Asisten Intelijen Kasdam 1/Bukit Barisan, kolonel (Inf) Arminson yang barangkali masih tidur dan mimpi (atau lebih tepat barangkali disebut ‘nglindur, mengigau') seolah-olah masih berada di jaman Soeharto, yang tanpa memikirkan Kemanusiaan, Deklarasi HAM, Pancasila dan UUD Republik Indonesia, bernyanyi dan bersuara "Waspadai anak-anak PKI". (Harian Duta Masyarakat 18 Januari 2009)

Beliau lupa pada sejarah, atau barangkali tidak tahu, bahwa jaman dulupun banyak anak-anak orang PKI yang menjadi penganut partai lain seperti PNI, Perti, NU bahkan Masyumi! Bahkan ada yang bapaknya PKI anaknya GPII/Masyumi. Ucapan Perwira AD itu hanya menunjukkan, betapa parahnya beliau dicekoki dengan doktrin dan rekayasa licik Soeharto, yang telah menjadi kanker dalam darahnya hingga begitu takut akan PKI., seperti melihat hantu di siang bolong. Kasihan!

Kalau kita mau melihat kebelakang, seruan Perwira Intel AD itu adalah merupakan penerusan, kelanjutan dari doktrin militer yang statis dan phobi, mengikut hukum dan ketentuan yang diciptakan oleh Soeharto, Amir Mahmud, Soedomo dan sebagainya, yang mengatakan "pelaksanaan pengawasan selanjutnya" terhadap bekas tapol adalah menggunakan JUKLAK PANGKOPKAMTIB No.: JUKLAK-04/KOPKAM/II/-1974 tanggal 21 Pebruari 1974".

Contoh yang bisa kita lihat adalah menjelang pemilihan umum tahun 2004, Komandan Kodim 0207/Simalungun, Letkol. Inf. Marwan Saragih, memerintahkan kepada Koramil "harus bekerja keras mendata eks. PKI. Jika memang masih ada ditemukan eks anggota PKI diwilayah Koramil 02/ST, Danramil harus benar-benar menguasai alamat mereka yang pasti. Pekerjaan mencari data-data yang lengkap tentang eks PKI bukanlah pekerjaan main-main dan tidak bisa ditawar-tawar, untuk itu Koramil 02/ST diminta benar-benar serius. Jika memang eks. Anggota PKI sudah meninggal, Danramil harus memiliki data lengkap di mana kuburannya dan jika memang masih hidup di mana alamatnya yang jelas" (Harian Sinar Indonesia Baru Medan, 17 Januari 2004).

Masya Allah........kepada PKI yang matipun masih ketakutan hingga mesti didata kuburannya! Sayang sekali Komandan Kodim itu tidak memerintahkan mencari dan menyelidiki kuburan massal orang-orang komunis yang meraka bantai tahun 65/66, perempuan-perempuan yang mereka perkosa beramai-ramai kemudian dibunuh!.

Dan kini, menjelang Pemilihan Umum 2009, Perwira Intel AD, Asisten Intelijen Kasdam 1/Bukit Barisan itu bersuara agar mewaspadai anak-anak PKI. Jadi nampak bahwa pihak militer Indonesia belum ada kemajuan dalam cara berpikirnya. Belum berubah, masih berada ditakuk pemikiran ‘mbahnya' (fasis Soeharto). Masih menggunakan iklan "bahaya komunis" sebagi iklan yang murah. Barangkali, menjelang pemilihan umum tahun 2014 nanti (5 tahun lagi) mungkin mereka akan berteriak: "Waspadai cucu-cucu PKI".

Seruan untuk me "Waspadai anak-anak PKI" dan menyelidiki semua anak-anak PKI dan meneliti silsilahnya, "udek-udek gantung siwur canggah wareng" mengikut bahasa Jawa, adalah suatu penipuan untuk mengalihkan pandangan masyarakat terhadap pejabat pemerintahan baik sipil maupun militer yang tidak becus memperbaiki ekonomi bangsa, koruptor, salah urus dan tidak bisa mengatasi penderitaan dan kesengsaraan dan kelaparan rakyat yang makin menjadi-jadi dan segala macam kerusakan bangsa yang diwariskan oleh rezim Soeharto. Karena tidak becus memperbaiki dan mensejahterakan rakyat, sekali lagi mereka menjadikan komunis sebagai pelarian dan kambing hitam.

Semenjak zaman Soeharto, selama 32 tahun (bahkan sampai sekarang!) pengikut-pengikut Soeharto melukiskan dengan berbagai cara, merekayasa dan memaksakan pembentukan pendapat umum mengenai kebengisan, kelicikan dan kebiadaban PKI, mengingkari kemanusiaan orang komunis, penggambaran mereka sebagai mahkluk kejam, asusila dan ateis. Penyalah gunaan rasa keagamaan untuk menghasut, dan menanam kebencian terhadap komunis. Tidak jarang komunis disebut tidak bertuhan, ateis, malah musuh Tuhan. (Wiyanto Rahman SH dalam Sarasehan Leuven Belgia: Peristiwa G30S Dalam Tinjauan Ulang, http://arus.kerjabudaya.org/htm/ 1965_Seminar_Leuven.htm)

"Orang komunis digambarkan sebagai manusia setan yang paling jahat dari yang jahat, sehingga sah untuk diapakan saja, disembelih, dicincang, diperkosa, ditusuk kemaluannya atau duburnya sampai tembus kemulut dan dipanggang seperti sate, dipancung didepan anak istrinya, dimasukkan karung hidup-hidup dan dilempar ke sungai, dst, tanpa ada rasa bersalah dan berdosa, dipenggal lehernya dan kepalanya ditancapkan diatas bambu dan dipajang di simpang-simpang dan sepanjang jalan, sedang tubuhnya dibuang ke sungai-sungai agar tidak mengkontaminasi bumi Aceh dan Sumatera Utara.. (http://www.americanfreepress.net/) Semua standar ganda kemanusiaan yang ditanamkan rezim militer Orba meracuni jutaan orang Indonesia sampai saat ini, suatu kejahatan sejarah dan kejahatan besar kemanusiaan.

Adanya ucapan bahwa harus diusahakan supaya "anak-anak PKI tidak mengulangi sejarah gelap bangsa indonesia" dan "harus ada upaya sistematis dari semua komponen bangsa agar anak-anak PKI tidak bisa menyusup masuk birokrasi, apalagi sampai menjadi pejabat" mencerminkan bahwa fikiran jahat dan busuk yang berlandaskan nalar yang tidak waras masih tetap merajalela di kalangan pimpinan militer pendukung Soeharto. Ucapan semacam ini jelas-jemelas merupakan kecerobohan atau kesesatan cara berfikir yang secara gebyah-uyah menggolongkan semua anak-anak PKI sebagai orang-orang yang perlu disisihkan, atau dikucilkan, atau diperlakukan tidak adil. Menganggap bahwa semua anak-anak PKI adalah orang-orang tidak baik yang perlu diwaspadai atau dicurigai mencerminkan sikap yang gegabah (dan dungu !) serta nalar yang tidak waras (untuk tidak menggunakan kata-kata "gila") Sebab, apakah mentang-mentang anak-anak PKI maka mereka harus mendapat perlakuan sewenang-wenang, atau harus tidak dianggap sebagai warganegara RI yang biasa, atau tidak sebagai manusia seperti lainnya?

Perlu direnungkan oleh kita semua (terutama oleh kalangan pimpinan militer) bahwa sama sekali bukanlah kesalahan mereka bahwa sudah dilahirkan sebagai anak-anak PKI. Mereka tidak bisa memilih sendiri siapakah sebaiknya orang tua mereka. Dan, karenanya, juga bukanlah merupakan "dosa" mereka (harap perhatikan tanda kutip pada kata ini) bahwa orang tua mereka dulunya menjadi anggota atau simpatisan PKI. (Kalau mereka bisa memilih sendiri, barangkali mereka akan memilih Asisten Intelijen Kasdam 1/Bukit Barisan, kolonel (Inf) Arminson sebagai ayahnya, agar beliau ini nggak repot-repot mewaspadai "anak-anaknya" yang puluhan juta jumlahnya!-pen)

Dalam kaitan ini patut dicatat bahwa menurut keterangan berbagai sumber sejarah, jumlah anggota PKI (dalam 1965) ada sekitar 3 juta, sedangkan simpatisan atau pengikutnya yang tergabung dalam berbagai macam ormas (buruh, tani, nelayan, pegawai negeri, pemuda, mahasiswa,wanita, intelektual dll) ditaksir sekitar 20 juta. Karena itu, bisalah kiranya kita perkirakan bahwa jumlah anak-anak PKI itu besar sekali dan tersebar di seluruh Indonesia. (Nah, kalau korban Soeharto yang dituduh PKI yang berjumlah 20 juta itu, setiap orangnya punya anak 2 atau 3, dan mereka beranak pula, nah, selama lebih 40 tahun, berapa puluh juta "anak-anak" PKI yang mesti diwaspadai oleh Asisten Intelijen Kasdam 1/Bukit Barisan, kolonel (Inf) Arminson?-pen)

Anak-anak PKI adalah manusia biasa dan juga warganegara RI. Jadi, dari sudut ini nyatalah bahwa "seruan" pimpinan militer untuk mewaspadai anak-anak PKI, adalah pandangan yang sesat dan tujuan yang sama sekali tidak menguntungkan persatuan rakyat dan juga tidak memupuk rekonsiliasi nasional. Seruan pimpinan militer yang demikian ini hanyalah memperpanjang kesalahan atau kejahatan rejim militer Soeharto dan memperbesar dosa-dosanya yang sudah bertumpuk-tumpuk selama puluhan tahun.Dengan sikap yang memusuhi anak-anak PKI yang jumlahnya tidak sedikit itu, pimpinan militer (terutama TNI AD) melestarikan dendam yang sudah berlangsung selama lebih dari 40 tahun dan bahkan mengkobarkannya terus di kalangan generasi muda dewasa ini dan juga generasi yang akan datang. Anak-anak PKI itu adalah warganegara RI dan juga manusia biasa, yang mempunyai hak-hak fundamental, seperti yang lainnya. Karenanya, adalah hak mereka yang sah, dan kewajiban mereka yang mulia untuk melawan atau berontak terhadap perlakuan yang tidak adil yang dikenakan terhadap mereka.

Sebagian terbesar anak-anak PKI (yang jumlah pastinya sulit ditaksir) sejak kecil sampai dewasa telah hidup dalam macm-macam penderitaan yang berbeda-beda kadarnya , sebagai akibat dibunuhnya ayah atau ibu mereka atau dipecati dari pekerjaan dan ditahan secara sewenang-wenang. Dari segi ini saja sudah kelewat besar dosa pimpinan militer, karena menyiksa begitu banyak anak-anak yang tidak bersalah apa pun dan dalam jangka waktu yang sangat lama pula. Sekarang, dengan seruan "waspadailah anak-anak PKI", berarti bahwa perlakuan tidak adil (bahkan sering tidak manusiawi) terhadap anak-anak PKI ini akan ditrapkan sepanjang hidup mereka !!! (Dari catatan A.Umar Said/ http://kontak.club.fr/index.htm)

Sungguh, mereka-mereka itu telah dibutakan matanya. Seperti kintel yang ketika musim hujan bernyanyi dengan satu lagu yang sama "awas komunis, waspadai anak-anak PKI". Mereka tunduk dan membebek kepada rekayasa dan cara-cara licik Soeharto yang hanya dengan cara demikian bisa naik ketampuk atas, setelah terlebih dulu menghancurkan PKI melalui fitnah dan rekayasa, kemudian mempreteli dan melenyapkan Bung Karno. Mereka tidak bisa dan tidak mau melihat kebenaran sejarah, seperti yang diungkapkan oleh Bung Karno bahwa PKI sangat besar jasanya terhadap kemerdekaan bangsa kita ini.

Sebagai penutup tulisan ini, kita kutip sebagian kecil Amanat Presiden RI Bung Karno di depan rapat umum Front Nasional di Istora Senayan Jakarta, tanggal 13 Februari 1966, (beberapa bulan setelah G30S) sebagai berikut:

"Kita punya kemerdekaan sekarang ini, Saudara-saudara, hasil daripada keringat dan darah, ya Nas, ya A, ya Kom. Jangan ada satu golongan berkata, ooh, ini kemerdekaan hanya hasil perjuangan kami Nas saja. Jangan ada satu golongan berkata, ooh, ini kemerdekaan adalah hasil daripada perjuangan-perjuangan kami A saja. Jangan pula ada golongan yang berkata, kemerdekaan ini adalah hasil daripada perjuangan kami, golongan Kom saja"

"Tidak . Sejak aku masih muda belia, Saudara-saudara, aku melihat bahwa golongan-golongan ini semuanya, semuanya membanting tulang, berjuang, bahkan berkorban untuk kemerdekaan Indonesia. Saya sendiri adalah Nas, tapi aku, demi Allah, tidak akan berkata kemerdekaan ini hanya hasil dari pada perjuangan Nas. Aku pun orang agama, bisa dimasukkan dalam golonban A, ya pak Saifuddin Zuhri, saya ini ? Malahan, saya ini oleh dunia Islam internasional diproklamir menjadi Pahlawan Islam dan Kemerdekaan. Tetapi demi Allah, demi Allah, demi Allah SWT, tidak akan saya berkata bahwa perjuangan kita ini, hasil perjuangan kita, kemerdekaan ini adalah hasil perjuangan daripada A saja."

"Demikian pula aku tidak akan mau menutup mata bahwa golongan Kom, masya Allah, Saudara-saudara, urunannya, sumbangannya, bahkan korbannya untuk kemerdekaan bukan main besarnya. Bukan main besarnya !"

"Karena itu, kadang-kadang sebagai Kepala Negara saya bisa akui, kalau ada orang berkata, Kom itu tidak ada jasanya dalam perjuangan kemerdekaan, aku telah berkata pula berulang-ulang, malahan di hadapan partai-partai yang lain, di hadapan parpol yang lain, dan aku berkata, barangkali di antara semua parpol-parpol, di antara semua parpol-parpol, ya baik dari Nas maupun dari A tidak ada yang telah begitu besar korbannya untuk kemerdekaan Indonesia daripada golongan Kom ini, katakanlah PKI, Saudara-saudara".

"Saya pernah mengalami. Saya sendiri lho mengalami, Saudara-saudara, mengantar 2000 pemimpin PKI dikirim oleh Belanda ke Boven Digul. Hayo, partai lain mana ada sampai ada 2000 pimpinannya sekaligus diinternir, tidak ada. Saya pernah sendiri mengalami dan melihat dengan mata kepala sendiri, pada satu saat 10 000 pimpinan daripada PKI dimasukkan di dalam penjara. Dan menderita dan meringkuk di dalam penjara yang bertahun-tahun".

"Saya tanya, ya tanya dengan terang-terangan, mana ada parpol lain, bahkan bukan parpolku, aku pemimpin PNI, ya aku dipenjarakan, ya diasingkan, tetapi PNI pun tidak sebesar itu sumbangannya kepada kemerdekaan Indonesia daripada apa yang telah dibuktikan oleh PKI. Ini harus saya katakan dengan tegas."

"Kita harus adil, Saudara-saudara, adil, adil, adil, sekali adil. Aku, aku sendiri menerima surat, kataku beberapa kali di dalam pidato, surat daripada pimpinan PKI yang hendak keesokan harinya digantung mati oleh Belanda, yaitu di Ciamis. Ya, dengan cara rahasia mereka itu, empat orang mengirim surat kepada saya, keesokan harinya akan digantung di Ciamis. Mengirim surat kepada saya bunyinya apa ? Bung Karno, besok pagi kami akan dihukum di tiang penggantungan. Tapi kami akan jalani hukuman itu dengan ikhlas, oleh karena kami berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Kami berpesan kepada Bung Karno, lanjutkan perjuangan kami ini, yaitu perjuangan mengejar kemerdekaan Indonesia".

"Coba; coba, coba, coba ! Lha kok ada sekarang ini golongan-golongan yang berkata bahwa komunis atau PKI tidak ada jasa di dalam kemerdekaan Indonesia ini. Sama sekali tidak benar ! Aku bisa menyaksikan bahwa di antara parpol-parpol malahan mereka itu yang telah berjuang dan berkorban paling besar."
("Revolusi belum selesai", Editor :Budi Setiyono dan Bonnie Triyana, Penerbit Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah (MESIASS), Semarang. Cuplikan diatas diambil dari tulisan A. Umar Said, http://kontak.club.fr./index.htm, yang berjudul: Bung Karno: "Sumbangan dan pengorbanan PKI besar sekali!") ***

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?