In memoriam :
Berikut di bawah adalah sekelumit dari riwayat hidup Soedjinah, seorang wanita Indonesia yang dalam hidupnya dari sejak muda belia sudah ikut dalam perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia, yang kemudian menjadi pimpinan organisasi wanita yang terbesar di Indonesia, Gerwani. Soedjinah dipenjara selama belasan tahun oleh rezim militer Orde Baru setelah ditangkap dalam tahun 1967 karena ia aktif melakukan kegiatan-kegiatan bersama sejumlah kawan-kawannya dalam gerakan PKPS (Pendukung Komando Presiden Sukarno).
Soedjinah, yang pernah beberapa tahun mewakili gerakan wanita Indonesia dalam Gabungan Wanita Demokratik Sedunia (GWDS) dan ikut dalam berbagai konferensi internasional, telah mengalami bermacam-macam siksaan selama dalam tahanan militer, seperti halnya banyak wanita lainnya yang pernah ditahan atau dipenjarakan selama bertahun-tahun oleh rezim Suharto dkk.
Dengan menyimak sejenak riwayat hidupnya, yang berupa wawancara dengan HD Haryo Sasongko (editor buku "Terempas Gelombang Pasang" karya Soedjinah, terbitan ISAI) maka kita semua ingat kembali kepada kekejaman dan kesewenang-wenangan rezim Suharto terhadap orang-orang kiri, termasuk anggota dan simpatisan PKI dan pendukung Presiden Sukarno.
Riwayat hidup Soedjinah, yang menggambarkan bagaimana ia telah berjuang untuk bangsa, dan khususnya untuk kebangkitan dan kebebasan wanita Indonesia, perlu diketahui oleh banyak orang, terutama generasi muda dewasa ini dan di masa-masa yang akan datang.. Selain itu, penyajian secara singkat kisah hiduppnya ini juga untuk mengingat kembali betapa besar kekejaman rezim militer Suharto dkk terhadap ratusan ribu -- bahkan jutaan -- orang-orang yang tidak bersalah apa-apa.
Soedjinah, yang di harituanya – sampai wafatnya -- terpaksa tinggal di sebuah rumah jompo di Jakarta, hanyalah seorang dari begitu banyak kader-kader, aktifis, dan pimpinan Gerwani, yang telah dipersekusi di seluruh Indonesia. Sekarang ini masih banyak di antara mereka yang tetap terus mengalami berbagai penderitaan sebagai eks-tapol.
Mengingat itu semualah maka berikut ini disajikan wawancara dengan Soedjinah, yang dilakukan oleh HD Haryo Sasongko dalam bulan Desember 2000, yang selengkapnya adalah sebagai berikut.
Umar Said
* * * *
Tanggal 6 September 2007, SOEDJINAH telah meninggal dunia. Untuk mengenang wafatnya tokoh wanita yang pernah terlibat dalam perjuangan fisik di masa revolusi kemerdekaan dan perjuangan politik di masa prakemerdekaan, namun nasib dirinya sendiri tidak merdeka sampai di akhir hidupnya, berikut dikutip kembali sinopsis wawancara dengan SOEDJINAH, diangkat dari kumpulan dokumen tentang Korban Tragedi '65. Karena wawancara dilakukan pada tahun 2000, jadi tidak mencakup kisah SOEDJINAH ketika masuk ke rumah Jompo. Semoga ada manfaatnya. (HD. Haryo Sasongko)
« Menyaksikan dan merasakan hidup terjajah, Soedjinah terpanggil untuk ikut bergerilya membantu Tentara Pelajar dan laskar-laskar lainnya yang berniat mengusir penjajah. Karena tak tahan melihat darah, dia memilih sebagai kurir. Selama Perang Kemerdekaan dia tak pernah absen, baik dalam menghadapi Clash I atau Clash II. Usai penyerahan kedaulatan barulah dia kembali ke sekolah, kuliah dan kemudian aktif di Pemuda Rakyat serta Gerwani. Dari sana dia kemudian melanglang buana, menghadiri berbagai forum pertemuan internasional. Namun tragedi 1965 membawanya masuk penjara dan disekap di sana selama 16 tahun. Toh, di balik terali besi itu, dia terus melanjutkan perjuangannya. Dia pun menulis pengalaman, puisi dan cerita pendek di kertas yang dicurinya dari petugas penjara. Kini di masa tuanya, tanpa suami tanpa anak, Soedjinah memanfaatkan kemampuannya berbahasa Inggris, Belanda dan Jerman dengan menjadi penerjemah dan memberikan kursus di LSM maupun di rumah kontrakannya.
Ikut Bergerilya dan Melanglang Buana
Sebagai anak pertama dari seorang Abdi Dalem Kraton Kasunanan Sala yang lahir pada tahun 1929 ini, Soedjinah mendapat kesempatan mengecap pendidikan HIS selama tujuh tahun sampai tamat yang kala itu sebenarnya hanya terbuka bagi keluarga orang-orang Belanda atau keluarga bangsawan saja. Hal itu terjadi karena Soedjinah “didekati” oleh seorang putera Mangkubumi. Karena itu pula Soedjinah sudah menguasai bahasa Belanda sejak masa kanak-kanak. Kemudian dia melanjutkan pendidikan di MULO, namun kali ini tidak sampai tamat karena baru menginjak tahun pertama Jepang datang. Sehingga Soedjinah harus melanjutkan pendidikan di sekolah Jepang selama tiga tahun dan selesai di masa penjajahan Jepang.
Ketika itu Soedjinah mulai merasakan perlakuan penjajah Belanda maupun Jepang yang sama-sama merendahkan bangsanya. Mula-mula dia harus memberi hormat terhadap orang-orang Belanda dan kemudian terhadap orang-orang Jepang. Sementara orang-orang pribumi tetap menjadi warga kelas tiga pada strata yang paling bawah. Lebih-lebih Soedjinah sangat sakit hati karena ketika itu – dengan alasan untuk biaya perang – Jepang menyita harta benda milik rakyat pribumi seperti emas atau berlian sambil melakukan pemerasan serta pelecehan seksual terhadap kaum wanita.
Karena itu sejak Proklamasi Kemerdekaan Soedjinah menyambut gembira dengan ikut serta di badan-badan perjuangan. Pada masa perang kemerdekaan berkecamuk, Soedjinah pada tahun 1946-47 (Clash I) masuk dalam Barisan Penolong sebagai kurir dan membantu logistik dapur umum di tengah medan pertempuran yang terjadi antara lain di daerah Ampel dekat Salatiga hingga Tengaran dekat Semarang. Dia bergaul akrab dengan para laskar pejuang muda yang kebanyakan dari TP (Tentara Pelajar), antara lain dipimpin oleh Achmadi yang di kemudian hari menjadi seorang menteri pada masa pemerintahan Bung Karno.
Pada Clash II yang berlangsung hingga tahun 1949, Soedjinah juga ikut aktif bergerilya bersama tentara dan TP sampai di Bekonang dan tempat tempat lain. Salah seorang pimpinannya yang masih diingat Soedjinah ialah Soebroto yang di kemudian hari juga menjadi menteri. Ketika itu Soedjinah berperan sebagai kurir antar pasukan gerilya yang berada di desa dan di perkotaan. Siang malam harus jalan kaki menyusup di pedesaan untuk menghindari patroli Belanda.
Tahun 1950 ketika terjadi cease fire, Soedjinah kembali ke kota (Sala) untuk melanjutkan sekolah sampai dapat menyelesaikan SMAnya di Yogyakarta pada tahun 1952. Ketika itu Soedjinah pernah mendapatkan beasiswa untuk 5 tahun. Dia manfaatkan beasiswa itu untuk masuk ke Universitas Gajah Mada di fakultas sosial politik yang sayangnya hanya sampai tiga tahun saja karena beasiswa sudah tidak ada lagi. Selanjutnya Soedjinah aktif di Pesindo yang di kemudian hari menjadi Pemuda Rakyat dan juga di Gerwis yang di kemudian hari menjelma menjadi Gerwani. Bahkan ketika Gerwis menyelenggarakan Konferensi Nasionalnya yang pertama di Surabaya pada tahun 1951, Soedjinah sudah ikut serta di mana ketika itu juga ada SK Trimurti sebagai salah seorang ketuanya. Pada masa itu di samping Gerwis juga sudah ada organisasi wanita Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) yang sudah berdiri sejak 1946 dan Aisyiyah dari Masyumi. Sejak Konferensi Nasional yang pertama itu, Gerwis sudah menjadi anggota Gabungan Wanita Demokratis Sedunia.
Dalam Kongres Gerwis di Jakarta pada 1954, barulah namanya berubah menjadi Gerwani dan sekretariatnya pun pindah dari Surabaya ke Jakarta dengan Ketua Umum Umi Sardjono. Sejak itu pula Gerwani mengembangkan sayapnya dan jumlah keanggotaannya terus meningkat di seluruh Indonesia. Soedjinah semakin aktif di organisasi ini. Aksi-aksi menentang kenaikan harga bahan pokok, pemerkosaan dan pelecehan seksual menjadi salah satu tema perjuangan Gerwani yang banyak menarik simpati masyarakat wanita, sehingga sebelum pecahnya tragedi 1965, Gerwani merupakan organisasi wanita terbesar di Indonesia.
Ketika pada tahun 1955 diselenggarakan Festival Pemuda Sedunia di Praha Chekoslovakia, Soedjinah mengikutinya sebagai wakil dari Pemuda Rakyat. Seusai Festival, Soedjinah mendapat tugas dari Gerwani untuk bekerja di Sekretariat Gabungan Wanita Demokratis Sedunia yang berkedudukan di Berlin Timur selama dua setengah tahun. Di sinilah puteri Abdi Dalem Keraton Kasunanan Sala ini medapat banyak pengalaman dalam pergaulan dengan wakil-wakil gerakan wanita berbagai negara, baik dari AS, negara-negara Eropa Barat, Timur, Australia, Afrika maupun sesama negara-negara di Asia. Ketika itu wanita Asia yang mengikuti kegiatan kewanitaan di forum internasional baru dari India, China dan Indonesia. Selama aktif bekerja di Berlin Timur itu, Soedjinah mendapat kesempatan pula untuk memperdalam pengetahuan dalam bahasa Inggris dan Jerman yang dilakukannya seusai tugas kantor.
Dari Gerakan Wanita Demokratis Sedunia itu pula Soedjinah kemudian mendapat tugas “melanglang buana” dengan mengikuti kongres-kongres di Eropa seperti di Prancis, Denmark, Italia, Austria, Finlandia, Yugoslavia, Swedia dan juga Uni Soviet dan China. Tahun 1957 Soedjinah baru kembali ke Indonesia dan banyak membuat karya-karya jurnalistik berupa laporan perjalanan yang pernah dilakukannya di berbagai suratkabar, di samping menjadi penerjemah untuk bahasa Inggris, Belanda dan Jerman bagi tamu-tamu asing yang mengunjungi sekretariat Gerwani. Di samping karya-karya jurnalistik, untuk menambah pendapatan guna menopang biaya hidup (karena dana dari organisasi tidak mungkin mencukupi), Soedjinah juga membuat karya-karya sastra dengan menulis cerita pendek, esai atau puisi dan dimuat di berbagai media.
Tahun 1963 Soedjinah aktif sebagai penerjemah untuk perwakilan kantor berita asing di Indonesia, antara lain Pravda (Uni Soviet) di samping dia sendiri aktif menulis pemberitaan di suratkabar dalam negeri. Karena itu Soedjinah sering juga keluar masuk Istana Merdeka dan bertemu tokoh-tokoh nasional. Ketika diselenggarakan Kongres Buruh Wanita Internasional di Rumania, Soedjinah ditunjuk oleh pimpinan Sobsi sebagai penerjemah untuk delegasi Gerwani Indonesia. Selanjutnya mendapat undangan untuk mengunjungi China.
Haappp ... Lalu Ditangkap
Aktivitasnya di DPP Gerwani di Bagian Penerangan dan Penerjemahan, membuat dia harus sering tidur di kantor. Sampai kemudian, terjadilah Peristiwa Gestapu dan dirinya bersama kawan-kawan lainnya ditangkap dalam suatu penggerebegan yang dilakukan oleh suatu aparat keamanan. Padahal, semua personil Gerwani sedang sibuk menyiapkan suatu acara, sehingga mereka kaget ketika di siang hari tanggal 1 Oktober 1965 mendengar warta berita tentang telah terjadinya peristiwa pembunuhan sejumlah jenderal di Lubang Buaya dan juga tentang telah dibentuknya Dewan Revolusi untuk menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal. Mereka benar-benar tak tahu menahu tentang hal itu. Konsentrasi mereka masih pada rencana penyelenggaraan Kongres Gerwani. Terdorong keingintahuannya, Soedjinah pada hari itu pergi ke kantor CC PKI dan ternyata kantor itu sudah dirusak massa. Soedjinah tak mau kembali ke kantor DPP Gerwani, tetapi juga tak pulang ke rumah tempat tinggalnya. Dia pilih berkeliling menyelinap dari tempat ke tempat untuk mencari informasi lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya telah terjadi.
Dan informasi memang terus mengalir. Penangkapan-penangkapan telah terjadi atas diri para tokoh Gerwani. Rumah yang ditempati Soedjinah dan dalam keadaan sudah dikosongkan, juga kantor DPP Gerwani itu sendiri, ternyata sudah dijarah. Dia menginap dari satu tempat ke lain tempat secara sembunyi-sembunyi di rumah kenalan atau saudara. Tak pernah ada tempat yang diinapinya sampai tiga malam berturut-turut. Pernah juga dia tinggal di rumah mantan Kolonel Suwondo dari Divisi Brawijaya yang dikenalnya sebagai pendukung Bung Karno.
Di tengah situasi politik yang memanas, Soedjinah bersama sejumlah kawannya yang sehaluan dalam mendukung Bung Karno sempat membuat buletin bernama PKPS (Pendukung Komando Presiden Soekarno). Ketika itu Soeharto sudah mencium adanya kegiatan tersebut dan siapa yang terbukti sebagai pendukung Soekarno ditangkap. Selama dua tahunan, Soedjinah terus “bergerilya” sambil menyebarkan buletin ini ke tengah masyarakat. Termasuk ke kedutaan-kedutaan negara asing. Sampai akhirnya dia tertangkap pada 17 Februari 1967 di rumah seorang kawan (yang juga ikut ditangkap) di daerah Pasar Minggu Jakarta Selatan.
Soedjinah dibawa ke suatu tempat – mungkin sebuah sekolah tionghoa di daerah Pintu Besi yang dijadikan semacam posko di Gunung Sahari Jakarta Pusat - oleh petugas keamanan yang menangkapnya dan mulailah dia menyaksikan bahkan mengalami sendiri berbagai bentuk penyiksaan yang amat kejam bahkan banyak tahanan yang sampai mati dalam penyiksaan. Dia sendiri (seperti kawan-kawan lainnya yang sama-sama tertangkap, antara lain Soelami, Soeharti dan Sri Ambar) ditelanjangi dan dipukuli dengan rotan oleh delapan orang tentara berbaju loreng. Seorang di antaranya, Letkol Acep, pimpinan di posko tersebut, konon pernah dididik oleh CIA. Ketika kelihatan Soedjinah hampir mati - dan dia memang pura-pura mati - barulah seorang tentara melerai agar penyiksaan dihentikan sehingga tahanan dapat dibawa ke pengadilan. Padahal di bagian belakang halaman gedung tempat penyiksaan itu sudah digali lubang-lubang untuk mengubur mayat mereka yang mati disiksa.
Soedjinah bersama tiga kawannya yang tidak sampai mati dalam penyiksaan itu akhirnya dibawa ke tempat lain secara berpindah-pindah hingga lima kali (yang masih diingat, Kodam Jayakarta, kantor CPM Guntur), untuk kemudian ditahan di Penjara Wanita Bukitduri guna diajukan ke pengadilan karena terbukti menerbitkan PKPS. Karena dianggap sebagai orang berbahaya, maka Soedjinah dimasukkan ke sel khusus untuk diisolasi. Di Bukitduri inilah Soedjinah bertemu dengan banyak kawan-kawan sesama Gewani, baik tingkat pimpinan, aktivis hingga anggota biasa dan simpatisan.
Di tempat ini pula dia bertemu dengan anak-anak perempuan muda yang ditangkap di Lubang Buaya. Mereka berusia sekitar 14 tahunan sehingga dapat dipastikan bukanlah anggota Gerwani, karena batas minimal usia agar bisa menjadi anggota Gerwani adalah 18 tahun. Dari merekalah Soedjinah mendapat kepastian bahwa tidak ada adegan mencungkil mata apalagi memotong alat kelamin para jenderal. Mereka di sana karena ikut latihan sukarelawan Dwikora dari Pemuda Rakyat dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Merekalah yang ketika ditangkap malah diperkosa oleh aparat yang menangkapnya dan dipaksa untuk mengaku sebagai anggota Gerwani. Di antara mereka yang menghadapi pemaksaan dan penyiksaan itu – ada yang bernama Emi - adalah pelacur muda yang masih buta huruf, dan baru saja bebas dari Penjara Bukitduri sebulan sebelumnya akibat kasus kriminal.
Di sel isolasi khususnya, Soedjinah tidak dapat berkomunikasi dengan siapa pun karena tertutup rapat dan hanya ada lubang kecil untuk bernafas. Sehari hanya diberi kesempatan keluar untuk “angin-angin” selama satu jam dengan penjagaan ketat. Makanan hanya diberikan sekali sehari sekitar dua sendok nasi saja atau jagung rebus sekitar 40-60 butir. Bila ada kesempatan keluar sebentar, dia makan daun apa saja yang ada di dekatnya untuk menutup rasa laparnya Dia diisolasi penuh di tempat ini selama 8 tahun, untuk selanjutnya dipisah di sel isolasi untuk tahanan kriminal. Di sel ini Soedjinah dapat mencuri-curi kesempatan agar bisa berdialog dengan tahanan kriminal dan mendapatkan banyak informasi dari mereka tentang kenapa mereka ditahan dan bagaimana pula perlakuan aparat penguasa terhadap tahanan politik maupun tahanan kriminal selama di dalam selnya.
Sementara itu pemeriksaan atas dirinya masih berjalan terus. Di antara mereka yang melakukan pemeriksaan itu adalah bekas teman sekolah Soedjinah. Ketika kemudian diajukan ke depan pengadilan di Pengadilan Jakarta Pusat pada tahun 1975 (hanya empat orang anggota Gerwani yang ketika itu diajukan ke depan pengadilan, yakni Soedjinah, Soelami, Soeharti dan Sri Ambar karena terbukti menyebarkan buletin PKPS dan nyata-nyata menentang rezim Soeharto-Nasution), seorang hakim yang mengadilinya adalah teman kuliahnya ketika di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Hakim itu – keponakan SK Trimurti – masih mengenal baik siapa Soedjinah - ketika itu menjadi terdakwa II - yang kemudian divonisnya dengan hukuman 18 tahun. Vonis ini tidak berubah ketika Soedjinah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Sesama aktivis Gerwani lainnya yang juga mendekam di Penjara Bukitduri, seperti Tanti Aidit, Ny. Mudigdo dan Umi Sardjono - semua pimpinan Gerwani - yang bertemu dengan Soedjinah tidak ada yang diadili karena tidak ada bukti apa-apa yang dapat diajukan ke depan pengadilan kecuali sebagai aktivis Gerwani itu saja.
Sekitar tahun 1980, dari Penjara Wanita Bukitduri Soedjinah dipindahkan ke Penjara Tangerang. Di tempat inilah dia mendapatkan kesempatan untuk menuliskan semua yang dialaminya selama di Penjara Bukitduri, termasuk pengakuan sesama tahanan – para gadis remaja yang tertangkap di Lubang Buaya dan dipaksa mengaku sebagai anggota Gerwani itu – di kertas-kertas yang dicurinya. Ketika itu, karena mempunyai kemampuan melukis, Soedjinah diberi tugas membuat disain untuk kain bordir yang akan dikerjakan sesama tahanan wanita. Sebagai “disainer” tentu saja dia membutuhkan kertas dan pensil. Dan inilah memang yang sesungguhnya dia cari. Sebagian kecil dari kertas yang disediakan petugas penjara itu dia curi, disembunyikan, yang kemudian dipakai untuk menuliskan catatan-catatan tentang pengalaman sesama tahanan, juga puisi bahkan cerita pendek. Catatan yang ditulis di toilet di dalam selnya ini kemudian diselundupkan lewat seorang wartawan dari Harian Sinar Harapan (kini Suara Pembaruan) yang menyaru sebagai arsitek dan tukang bangunan sehingga bisa sering datang mendekatinya. Tulisan yang dikumpulkan oleh si wartawan itulah yang di kemudian hari diserahkan kembali kepada Soedjinah sesudah dia bebas dan diterbitkan oleh Lontar sebagai buku.
Di penjara Tangerang, Soedjinah memang sedikit mendapatkan kebebasan, tidak dikurung dalam sel lagi. Namun tetap dengan baju biru karena statusnya masih tetap “disamakan” dengan tahanan kriminal.Dia banyak memberikan bimbingan dan pelajaran bahasa Inggris kepada para tahanan kriminal sehingga mereka memanggilnya “mamie” kepada Soedjinah. Tahun 1983 dia baru dibebaskan sehingga dia total menjalani hidup di belakang terali besi selama 16 tahun dari 18 tahun yang harus dijalaninya. Di luar penjara, tidak berarti dia benar-benar bebas merdeka. Di samping masih dikenai wajib lapor diri di Kodim Jakarta Selatan sampai 1997, KTPnya juga diberi stigma “ET” sampai 14 tahun kemudian dan tanda itu baru hilang setelah Soeharto lengser.
Ketika dibebaskan, Soedjinah tinggal di rumah saudaranya – Widodo yang juga pernah mendekam di Pulau Buru – yang berada di Gandul. Menyadari dirinya tak mungkin bisa bekerja di instansi pemerintah berhubung stigmatisasi pada KTPnya itu, maka untuk menghadapi hari-hari depannya Soedjinah hanya bisa mengandalkan kegiatan memberikan les bahasa asing untuk menghidupi dirinya. Dia mengambil sertifikat untuk penerjemah bahasa Belanda di Erasmushuis selanjutnya dia mengambil sertifikat sebagai guru bahasa Inggris di LIA. Dengan modal inilah Soedjinah menapaki hari-hari kebebasannya dalam usia tua sebagai penerjemah dan guru bahasa Inggris di sejumlah LSM, antara lain Kalyana Mitra dan Solidaritas Perempuan serta Yasalira yang dikelola oleh Kartini Syahrir.
Beberapa karya terjemahan telah dihasilkan pula, antara lain dari tulisan Carmel Budiardjo dan sejumlah penulis dari Australia. Kini, Soedjinah yang pernah mendapatkan Award dari Hawaii University dan Hamlet Award karena ketekunannya untuk terus menulis meskipun berada di dalam penjara, tinggal seorang diri di sebuah rumah sewa ukuran kecil yang harus dibayarnya setiap bulan Rp 125.000,- Di rumah itu pula dia memberikan les bahasa Inggris untuk beberapa orang sambil terus menulis buku. Agar bisa lebih konsentrasi dalam menekuni pekerjaannya, dia tak mau repot-repot memasak dan mencuci pakaian sendiri. Semua diserahkan kepada tetangganya dan dia tinggal memberikan uang lelah kepada tetangganya itu.
Kini dia sedang menunggu bukunya “Terhempas Gelombang Pasang” yang berisi memori pribadinya selama dalam penahanan yang diterbitkan oleh ISAI dan “Mereka yang Tersisih” (kumpulan 18 cerpen) yang diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Yayasan Lontar. Dengan pengeluaran bulanan sekitar Rp 500.000,- Soedjinah yang beragama Islam dan kini berusia 72 tahun ini masih bisa menyisakan sedikit uang untuk membantu saudara-saudaranya di Sala yang mengalami kesulitan mengarungi sisa hidupnya karena identitas mantan tapol dan stigmatisasi pada KTPnya. Karena sikapnya yang suka menjalin keakraban dengan tetangga, sejak bebas hingga kini Soedjinah tak pernah mengalami kesulitan dalam mensosialisasikan diri di lingkungan masyarakatnya. Demikian juga bila dia sekali waktu pulang ke Sala, kota kelahirannya. Para tetangga menyambutnya dengan baik , lebih-lebih karena orangtuanya dulu dikenal sebagai seorang guru mengaji.
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar