Y. B. Mangunwijaya, dalam sebuah pertemuan di Solo (30/10/1984), mengungkapkan kerinduannya akan tampilnya ‘Splendor Veritatis’ (Lat. Splendor kecemerlangan atau cahaya; Veritas kebenaran). Splendor Veritatis atau Cahaya Kebenaran adalah orang yang mampu memberikan sumbangannya yang relevan dalam pergulatan hidup sekian juta manusia yang mendambakan pemanusiawian dirinya.
Orang-orang dengan fungsi dan daya Splendor Veritatis semacam ini sesungguhnya ada, akan tetapi mereka lebih cenderung bersembunyi di balik ritualitas simbolik. Mereka antara lain seniman dan ilmuwan di perguruan tinggi. Seniman bersembunyi di balik slogan “resi di atas angin,” dan ilmuwan “di dalam menara gading”. Keduanya tidak banyak mempedulikan keretakan diri manusia yang mengalami krisis dalam skala global, yang kini sudah dalam stadium parah.
Harapan YB Mangunwijaya itu barangkali sudah terwujud dalam diri penyair muda Wiji Thukul (1963 – …). Wiji Thukul muncul dengan prinsip kreativitas puitik yang tegas: menyuarakan kenyataan yang keras dan menekan dalam kehidupan nyata. Seperti yang diharapkan Mangunwijaya, estetika untuk penikmatan pancaindra ataupun intelektual bagi Wiji Thukul bukanlah hal yang utama. Hal yang utama justru adalah penjaminan eksistensial dalam pergulatan to be or not to be. Seperti “Rumah Jawa,” kata Mangunwijaya memberikan analogi, bukan soal teknis-pragmatis, melainkan merupakan sumber energi kehidupan.
Tulisan ini bermaksud mengemukakan sebuah kajian awal tentang Wiji Thukul, khususnya mengenai visi dan sikap kreatif baru yang secara sadar dimiliki penyair ini. Wiji Thukul adalah seorang penyair yang punya warna tersendiri dalam sejarah sastra Indonesia modern. Dia kini banyak menyita perhatian pengamat sastra Indonesia, bukan hanya karena penyair ini “menghilang secara misterius” pada saat-saat tumbangnya rezim Orde baru, melainkan juga karena dia menawarkan sebuah visi dan sikap kreatif baru. Kehadiran Wiji Thukul tampaknya memberi warna tersendiri dalam bidang puisi Indonesia mutakhir.
Untuk itu, akan dikemukakan latar belakang kehidupan penyair, tema-tema yang menonjol dalam puisi-puisinya, dan akhirnya saya akan memberikan sebuah catatan tentang visi dan sikap kreatif baru yang ditawarkan Wiji Thukul.
BIOGRAFI
Wiji Thukul lahir 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen, Solo, yang mayoritas penduduknya tukang becak dan buruh. Dia sendiri datang dari keluarga tukang becak. Sebagai anak tertua dari tiga bersaudara dia berhasil menamatkan SMP (1979), masuk SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) jurusan tari, tetapi tidak tamat (1982).
Wiji Thukul selanjutnya berjualan koran, kemudian oleh tetangganya dia diajak bekerja di sebuah perusahan mebel antik sebagai tukang pelitur. Pada waktu bekerja sebagai tukang pelitur itu dia dikenal sebagai penyair pelo (cadel) yang sering mendeklamasikan puisinya untuk teman-teman sekerjanya.
Wiji Thukul menulis puisi sejak masih duduk di bangku SD. Dia mulai tertarik pada teater ketika SMP. Dia bergabung dalam kelompok teater JAGAT (Jagalan Tengah). Bersama kelompok ini dia pernah keluar masuk kampung ngamen puisi dengan iringan berbagai instrumen musik: rebana, gong, suling, kentongan, gitar, dsbnya. Tiga bulan menjadi wartawan Masa Kini.
Istrinya Sipon bekerja sebagai tukang jahit. Wiji Thukul juga membantu istrinya dengan menerima pesanan sablonan kaos, tas, dll. Dia memiliki dua orang anak: Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah. Prestasi tertinggi di bidang sastra: dia menerima WERTHEIM ENCOURAGE AWARD (1991) dari Wertheim Stichting di Negeri Belanda bersama WS Rendra.
Sejak Peristiwa 27 Juli 1996 yang menghebohkan, Wiji Thukul menjadi salah seorang korban politik Orde Baru. Hingga sekarang belum juga diketahui di mana Wiji Thukul berada.
Karya-karya Wiji Thukul telah dihimpun dalam sebuah buku yang diberi judul Aku Ingin Jadi Peluru (2000) dan diterbitkan Penerbit Indonesia Tera, Magelang. Penerbit ini sangat berjasa dalam menghimpun karya-karya Thukul yang semula tersebar di berbagai manuskrip dan terbitan. Dari Taman Budaya Surakarta, diperoleh dua buah manuskrip, yakni “Darman dan Lain-lain”, dan “Puisi Pelo”. Kumpulan terakhir “Baju Loak Sobek Pundaknya” diperoleh dari Jaap Erkelens (Perwakilan KITLV di Indonesia). Sisanya diperoleh dari Mbak Sipon (istri Wiji Thukul). Terbitnya buku ini sangat memudahkan kita menelusuri karya-karya Wiji Thukul.
Aku Ingin Jadi Peluru berisi 136 puisi yang dibagi atas lima buku atau lima kumpulan puisi. Buku 1: Lingkungan Kita Si Mulut Besar berisi 46 puisi.. Buku 2: Ketika Rakyat Pergi berisi 17 puisi. Buku 3: Darman dan Lain-lain berisi 16 puisi. Buku 4: Puisi Pelo berisi 29 puisi. Dan Buku 5: Baju Loak Sobek Pundaknya berisi 28 puisi. Dalam catatan penerbit, Buku 5 merupakan kumpulan sajak-sajak yang ditulis Wiji Thukul ketika ia berada di masa pelarian.
Dalam proses kreatifnya, Wiji Thukul memiliki prinsip tersendiri. Puisi bagi dia adalah media yang mampu menyampaikan permasalahan dirinya selaku orang kecil, orang-orang tertindas, yang secara kebetulan mewakili suara kaum tertindas pada umumnya. Dia sesungguhnya tidak bermasud membela rakyat (penyair kerakyatan), melainkan membela dirinya sendiri, lingkungan, komunitas yang menghidupi dirinya: tukang pelitur, istri tukang jahit, bapak tukang becak, mertua pedagang barang rongsokan, dan lingkungan hidupnya yang melarat.
sumber : truedhiet.wordpress.com
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar