Perempuan-perempuan perkasa yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka"
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa Akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Begitulah penyair Hartoyo Andangjaya melukiskan keperkasaan wanita desa dalam bait ketiga puisinya yang berjudul Perempuan-perempuan Perkasa. Di antara jutaan perempuan desa nan perkasa di bumi Nusantara ini, sebagian datang dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Nguter, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Mereka adalah perempuan penjual jamu gendong alias mbok jamu asal Nguter yang menyebar ke pelbagai kota di Indonesia.
Untuk memuliakan keperkasaan perempuan penjual jamu gendong itu, warga secara gotong royong membangun monumen "Jamu Gendong". Monumen ini berupa patung sosok perempuan penjual jamu setinggi 1,6 meter, terbuat dari batu kali.
Patung mbok jamu itu tampak "perkasa". Ia menggendong bakul yang di dalamnya terdapat sejumlah botol berisi berbagai jenis jamu. Tangan kirinya menjinjing ember berisi air. Mengenakan kebaya lurik dan berkain batik. Parasnya manis, matanya tajam menatap lurus ke depan.
Monumen yang terletak di Desa Gupit, Kecamatan Nguter, Kabupaten Sukoharjo, itu dibangun warga desa setempat pada awal 1990-an. Kemudian monumen itu direnovasi dan diresmikan Bupati Sukoharjo, Bambang Riyanto, pada 24 Mei 2004. Perempuan Desa Gupit kebanyakan menjadi penjaja jamu gendong di kota-kota besar. Dari 1.600 kepala keluarga, sepertiganya berjualan jamu gendong.
Di wilayah Kecamatan Nguter, bukan hanya perempuan Desa Gupit yang menjadi penjual jamu gendong. Di desa lainnya banyak pula warga yang bekerja sebagai bakul jamu. Jumlahnya 50-100 orang setiap desa. Perdagangan jamu gendong bermula dari tradisi warga yang secara turun-temurun memanfaatkan tanaman berkhasiat untuk mengobati berbagai penyakit dan nenambah stamina.
Lantaran terasa khasiatnya, warga pun meracik dan membuat jamu dalam bentuk cair. Akhirnya mereka memberanikan diri menjualnya. Lama-kelamaan, makin banyak warga yang meniru. Tradisi itu menyebar pula ke desa-desa lainnya di Kecamatan Nguter. Sebagian kini dibuat menjadi jamu dalam kemasan dan dijual di Pasar Nguter.
Karena sebagian warganya bekerja sebagai penjual jamu, beberapa di antaranya memilih menjual jamu di luar desa. Sebagian warga, terutama perempuan, merantau ke kota-kota terdekat, seperti Semarang dan Solo, dan belakangan sampai ke Surabaya, Jakarta, bahkan ke luar Jawa.
Usaha menjual jamu itu ternyata menguntungkan. Mereka pun kembali ke desa membawa uang tidak sedikit. Setidaknya mereka bisa membantu kebutuhan keluarga dan meningkatkan taraf hidup. Kemudian mereka mengajak tetangga, kenalan, atau saudara untuk menggeluti pekerjaan itu. "Ada pula yang meri (kepingin) melihat kesuksesan mereka, jadi ikut merantau juga," kata Kepala Desa Gupit, Suyadi.
Produksi jamu pun berkembang di Nguter. Produsen jamu skala kecil atau rumah tangga terus tumbuh. Kini jumlahnya tak terhitung. Yang terbesar adalah pabrik jamu Gujati, yang --dalam perkiraan Suyadi-- berdiri sejak 1990-an.
Suyadi berkisah bahwa pemilik pabrik jamu Gujati adalah orang Bali. Namun pengelolaannya diserahkan kepada seorang warga asal Bandung. Mayoritas pekerja pabrik jamu itu adalah warga Nguter. Pangsa jamu Gujati masih lokal, seperti Solo, paling jauh Surabaya.
Pada hari-hari biasa, rumah para perantau itu kerap kosong. Bapak-ibu merantau. Anak yang besar dan selesai sekolah biasanya juga ikut mengadu nasib di daerah lain. Sedangkan anak-anak yang masih kecil biasanya dititipkan kepada saudara atau kakek-neneknya di kampung lain. Ketika Gatra mengunjungi desa itu, memang banyak rumah yang kosong melompong, sehingga sulit mencari penjual jamunya.
Mereka hanya pulang ketika Lebaran atau pada saat saudara mengadakan hajatan. Ketika mudik, mereka sangat dermawan. Tanpa ada komando, warga perantau ikut membantu pembangunan desa atau menyumbang kas. "Karena menganggap kampung ikut menjaga rumah mereka selama ditinggal," kata Suyadi. Sayangnya, pihak kelurahan dan kecamatan tak punya data tentang kontribusi dan perputaran uang warga Gupit di perantauan untuk kampung halamannya.
Hasil kerja di luar kota itu rupanya turut mengangkat ekonomi keluarga. Setidaknya tampak pada rumah mereka di Gupit. Umumnya rumah mereka permanen, besar, berlantai keramik, bercat menarik, dan tergolong mewah. Bandingkan dengan kebanyakan rumah warga yang tidak merantau: hanya dari gedek (anyaman bambu), kayu, dan lantai biasa atau malah masih tanah.
Meskipun di rumah di kampung halamannya mewah, di perantauan ternyata mereka tinggal di tempat yang sangat sederhana. Menempati rumah petak berukuran tak lebih dari 16 meter persegi. Malah ada yang mengontrak kamar 2 x 3 meter. Kehidupan mereka juga sederhana: makan secukupnya, terkadang tidur beralaskan tikar.
Pergulatan hidup perempuan penjual jamu gendong di perantauan tidaklah ringan. Mereka harus berjalan sepanjang hari menyusuri kerasnya kehidupan di lorong-lorong kota sambil menggendong bakul berisi 7-10 botol jamu. Tak jarang mereka juga harus berhadapan dengan orang-orang jail. Toh, mereka tak pernah mengeluh.
Mereka senantiasa menabung untuk biaya pulang dan biaya sekolah anak-anak serta membangun rumah. Ada ribuan warga Desa Nguter yang merantau sebagai penjual jamu gendong. Dari merekalah perekonomian desa itu bisa berkembang. Selain itu, tingkat pendidikan warga juga membaik karena kian banyak warga yang bisa membiayai anak mereka untuk menamatkan pendidikan SMA atau universitas.
Namun tidak selamanya kaum peremuan itu mampu menjual jamu gendong. Mereka akan berhenti sebagai mbok jamu ketika usia menjelang senja. "Saya sudah tak kuat lagi bejalan kaki sambil menggendong jamu," kata Satutik, 53 tahun, yang berhenti menjual jamu gendong tatkala usianya menginjak kepala lima.
Perempuan perkasa asal Nguter itu mulai berjualan jamu ketika usianya masih belasan tahun. Selama 20 tahun ia berjualan jamu gendong di kawasan Jakarta Utara. "Saya jadi bakul jamu buat biaya sekolah anak-anak," tutur Satutik, yang mengaku selalu mengirim uang untuk biaya sekolah anak-anaknya di desa. "Setelah anak-anak selesai (sekolah) dan kerja sendiri, saya berhenti," katanya.
Ia merantau ke Ibu Kota bersama suaminya yang bekerja sebagai kuli bangunan. Dua putranya tak diajak. Mereka dititipkan kepada saudara Satutik, yang juga punya anak sebaya anak-anaknya. Penghasilan dari menjual jamu disisihkan dan dititipkan kepada saudaranya di kampung.
Setelah anaknya lulus sekolah, Satutik memilih pulang kampung. Tapi tak ada istilah pensiun berjualan bagi perempuan "perkasa" seperti Satutik. Setelah tak lagi menjajakan jamu gendong, kini ia berjualan nasi rames di kampungnya.
Arif Koes Hernawan (Yogyakarta)
[Astakona, Gatra Nomor 51 Beredar Kamis, 26 Oktober 2010]
URL: http://www.gatra.com/2010-11-06/versi_cetak.php?id=142765
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar