Sejarah keistimewaan Yogyakarta terentang sebelum Republik Indonesia berdiri. Eksistensi Kesultanan Yogyakarta bermula dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua: Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dipimpin Paku Buwono II dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di bawah kekuasan Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono Senapati Ingalaga Abdul Rakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah atau Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I.
Perjanjian Giyanti ditandatangani pada 13 Februari 1755. Lewat perjanjian itu, Pemerintah Hindia Belanda memfasilitasi penyelesaian diplomatik untuk mengakhiri pertikaian antara Paku Buwono II dan Pangeran Mangkubumi. Berikutnya, perjanjian itu menempatkan Kesultanan Yogyakarta dalam status daerah istimewa atau dalam bahasa Pemerintah Hindia Belanda disebut zelfbestuurende lanschappen.
Status itu setara dengan dependence state atau hampir seperti negara bagian. Model ini menempatkan kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan diatur dan dilaksanakan berdasarkan perjanjian atau kontrak politik yang dibuat Pemerintah Hindia Belanda bersama-sama dengan Raja Ngayogyakarta Hadiningrat.
Selama penyelenggaraan kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia, status istimewa itu terus disandang Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Di antara rentang itu, pada 1 Maret 1813, atas bantuan Pemerintah Inggris, Pangeran Notokusumo --adik Sri Sultan HB I-- atau Paku Alam I memimpin Kadipaten Pakualaman yang masih terletak di dalam wilayah Ngayogyakarta.
Untuk Kerajaan Ngayogyakarta, kontrak politik terakhir dengan Pemerintah Hindia Belanda terjadi pada 1940. Perjanjian politik itu ditandatangani Dr. Lucien Adam mewakili Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan Sri Sultan HB IX mewakili Kesultanan Yogyakarta, dimasukkan dalam lembaran negara Kerajaan Belanda sebagai Staatsblad 1941 No. 47.
Ketika menandatangani kontrak itu, Sri Sultan HB IX baru berusia 28 tahun dan belum lama pulang dari Nederland untuk menuntut ilmu di Universitas Leiden. Perjanjian itu menyebut Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai bagian wilayah Hindia Belanda di bawah kedaulatan Baginda Ratu Belanda yang diwakili gubernur jenderal. Ngayogyakarta Hadiningrat menjalankan pemerintahan sipil di Yogyakarta dan mendapat biaya operasional dari Pemerintah Hindia Belanda sebesar 1.000.000 gulden per tahun.
Status istimewa itu tetap berlangsung ketika masa pendudukan Jepang. Pemerintah Jepang menyebut Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Yogyakarta Kooti Hookookai. Jepang di ambang kekalahan dan tidak dapat memenuhi janjinya untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Hingga akhirnya Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Dua hari setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya 19 Agustus 1945, Sri Sultan HB IX selaku penguasa Kesultanan Yogyakarta dan Paku Alam VIII selaku pemimpin Kadipaten Pakualaman secara sendiri-sendiri dalam waktu hampir bersamaan mengirim kawat ucapan selamat kepada Soekarno dan Hatta.
Pada tanggal yang sama, diperkirakan setelah menerima kawat ucapan selamat itu, Soekarno menandatangani piagam penetapan yang isinya memberi kepercayaan kepada Sultan HB IX dan Paku Alam VIII untuk memimpin pada kedudukannya masing-masing. Yakni sebagai pemimpin Kesultanan Yogyakarta dan penguasa Kadipaten Pakualaman alias status quo.
Piagam yang ditandatangani pada 19 Agustus 1945 itu baru diterima di Yogyakarta pada 6 September 1945 melalui dua utusan dari Jakarta. Sebelumnya, pada 20 Agustus, Sultan HB IX dan Paku Alam VIII kembali mengirim telegram ke Jakarta, yang berisi dukungan penuh kepada Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Dukungan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pakualaman terhadap kedaulatan Indonesia dipertegas melalui maklumat yang dikeluarkan masing-masing pemimpin "kerajaan" itu pada 5 September 1945. Inti maklumat itu adalah penegasan status kedua kerajaan yang mereka pimpin sebagai daerah istimewa yang menjadi bagian negara Republik Indonesia.
Maklumat yang terdiri dari tiga pasal itu juga menyebutkan bahwa kedua raja itu tetap menjadi pemimpin dan pemegang kekuasaan di daerah dan kerajaan masing-masing, dengan bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia.
Menyusul maklumat tersebut, berikutnya keluar instruksi dari Jakarta mengenai pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta yang berfungsi sebagai badan pekerja yang memiliki kekuatan legislatif; sebagai wakil rakyat masing-masing daerah serta bertugas membuat peraturan dan haluan penyelenggaraan pemerintahan di daerah istimewa itu.
Setelah badan pekerja terbentuk, Sri Sultan HB IX dan Paku Alam VIII secara bersama-sama mengeluarkan amanat yang isinya tunduk pada UUD negara Republik Indonesia dan mengakhiri dualisme kepemimpinan di antara keduanya melalui pembentukan satu badan legislatif sebagai perwakilan rakyat kedua daerah.
Sembari menunggu undang-undang yang mengatur susunan daerah yang bersifat istimewa, seperti diamanatkan Pasal 18 UUD 1945, pada 18 Mei 1946 Sultan HB IX dan Paku Alam VIII --tas persetujuan dewan daerah-- mengeluarkan Maklumat Nomor 18 yang mengatur kekuasaan legislatif dan eksekutif. Dalam maklumat ini, nama Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara resmi digunakan untuk menandai bersatunya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman.
Pada periode itu, DIY menunjukkan keistimewaannya dalam lintas sejarah revolusi di Indonesia. Pada 5 Januari 1946, karena alasan keamanan, ibu kota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta. Pada masa-masa genting menjelang agresi militer Belanda I dan II itu, Sri Sultan BH IX sebagai ketua dewan kota sering menyiarkan maklumat yang membesarkan hati, dengan memberi kesan bahwa pemerintahan RI yang berada di Yogya terus berjalan. Dan lambat laun Yogyakarta menjadi pusat kegiatan perjuangan.
Setelah pengakuan kedaulatan sebagai hasil Konferensi Meja Bundar, Indonesia memasuki babak sejarah yang baru. Negara Republik Indonesia yang beribu kota di Yogyakarta sejak 1946 hanyalah negara bagian dari Republik Indonesia Serikat yang berkedudukan di Jakarta sampai 17 Agustus 1950.
Setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Negeri Belanda, Yogyakarta juga menjadi tuan rumah dan saksi dalam tahapan sangat penting penentuan kedaulatan RI. Yakni penyatuan Republik Indonesia Serikat dengan negara kesatuan Republik Indonesia dan diresmikan sebagai satu negara berdaulat bernama negara kesatuan Republik Indonesia pada 15 Agustus 1950.
Dengan perubahan sistem ketatanegaraan itu, DIY tidak lagi menjadi ibu kota RI. Secara resmi, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, DIY ditempatkan sebagai daerah istimewa setingkat provinsi. Dan sekitar satu bulan sebelum peristiwa G-30-S/PKI, tepatnya pada 1 September 1965, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, Yogyakarta dijadikan sebagai sebuah provinsi.
Sultan HB IX diangkat menjadi Wakil Presiden Indonesia pada 1973. Dengan begitu, urusan pemerintahan sehari-hari di DIY dijalankan Paku Alam VIII.
Pada masa itu, kebijakan tentang status Yogyakarta diteruskan pemerintah pusat dengan UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah. Kecuali mengenai status kepala daerah dan wakilnya, undang-undang itu memiliki semangat menyusun tata pemerintahan DIY sama dengan daerah lainnya. Keistimewaan Yogyakarta mulai kabur.
Usai berhenti dari posisi Wakil Presiden RI, tahun 1978, Sultan HB IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk merevitalisasi keistimewaan DIY, DPRD DIY periode 1977-1982 menyatakan pendapat dan kehendak bahwa sifat dan kedudukan istimewa DIY perlu terus dilestarikan sampai masa mendatang, sesuai dengan UUD 1945 dan isi serta maksud UU Nomor 3/1950.
Pada 1988, Sultan HB IX wafat, dan pemerintah menunjuk Paku Alam VIII sebagai penjabat Gubernur atau Kepala Daerah Istimewa Yogyajarta. Sepuluh tahun kemudian, Paku Alam VIII wafat. Hal ini menimbulkan masalah bagi Pemerintah Provinsi DIY dalam hal kepemimpinan. Untuk menanggulangi masalah itu, dalam UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah pusat mengatur masalah suksesi bagi kepemimpinan di Provinsi DIY.
Pada tahun 2000, MPR-RI melakukan perubahan kedua UUD 1945. Pada perubahan ini, status daerah istimewa diperjelas dalam Pasal 18B. Dalam pasal ini, keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang.
Sejak itu, perihal Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta menjadi wacana berkepanjangan, utamanya menandai benturan antara konsep pemilihan gubernur secara langsung atau melalui mekanisme penetapan seperti masa-masa sebelumnya.
Yogyakarta memang istimewa. Hal ini barangkali juga dapat ditandai dari perdebatan dan wacana tentang keistimewaannya yang tidak kunjung tuntas.
Bambang Sulistiyo (dari berbagai sumber)
[Laporan Khusus, Gatra Nomor 5 Beredar Kamis, 9 Desember 2010]
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar