SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Menguak Jejak Pepera di Papua

| | |
Dalam sejarah politik Indonesia, penyelenggaraan penentuan pendapat rakyat di Papua adalah sebuah misteri. Dalam misteri itu terpendam emosi dan sejarah relasi Papua dengan keindonesiaan. Tepat di jantung misteri itu pulalah, masyarakat Papua selalu mempersoalkan keindonesiaannya sampai kini.

Melalui proyek besarnya di tahun 2000, PJ Drooglever berhasrat untuk membongkar misteri itu. Hasil dari proyek penuh ambisi itu adalah terbitnya buku berjudul Een Daad van Vrije Keuze: De Papoea’s van westelijk New-Guinea en de grenzen van het zelbeschikkingsreecht pada tahun 2005. Tahun 2009, buku ini diterbitkan di Eropa dalam edisi bahasa Inggris. Tepat lima tahun kemudian buku itu terbit dalam bahasa Indonesia.

Karena buku ini membahas pelaksanaan penyelenggaraan penentuan pendapat rakyat (act of free choice/pepera), sambutan masyarakat Papua begitu antusias. Sejak terbit pertama di Belanda, buku ini telah menyihir banyak orang di Papua meskipun isi yang dikandung oleh buku ini terdengar secara samar-samar, tentu plus dengan bumbu-bumbunya. Akibatnya, dalam sekejap isi buku ini menjadi perbincangan dalam segala forum dan di semua tempat meskipun yang memperbincangkannya belum pernah bersitatap dengan buku bertebal hampir 900 halaman ini.
Dengan telah hadirnya edisi bahasa Indonesia, saat ini semua yang samar-samar dari buku ini menjadi benderang dan bisa dibaca oleh semua pihak di Papua dan luar Papua. Oleh karena itu, diskusi yang produktif mengenai temuan Drooglever pantas untuk digelar.

Papua, salah urus

Buku yang ditulis oleh profesor senior dalam bidang sejarah di Instituut voor Nederlandse Geschiedenis ini menguraikan masalah yang paling sensitif dalam relasi sejarah Papua dan Indonesia dengan Belanda, yaitu permasalahan seputar penyelenggaraan pepera dan suasana politik dunia yang melingkupinya.

Buku ini terdiri dari 14 bab, tetapi intinya hadir di dua bab terakhir. Pada bab 13 Drooglever mengungkapkan betapa kecewanya Ortiz Sanz (utusan PBB) kepada Indonesia karena mendapatkan Papua yang didatanginya telah berada dalam situasi yang salah urus. Sementara itu, gagasan referendum yang dibayangkan oleh Ortiz Sanz gugur sebelum bisa ia diskusikan secara matang karena pepera mengambil jalan musyawarah dalam pelaksanaannya (hal. 782). Akibatnya, posisi diplomat Bolivia yang menjadi utusan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB U Than ini untuk melaksanakan peran advis, bimbingan, dan turut serta dalam perancangan pepera menjadi minimal (hal. 682).

Sementara dalam bab 14 menyoroti permasalahan pembentukan dewan-dewan daerah yang akan menjadi Dewan Pepera. Prosesnya penuh dengan tekanan, begitu Drooglever menyimpulkan. Meskipun demikian, akibat berubahnya orientasi dan kepentingan masing-masing negara terhadap Indonesia, negara-negara lain tidak mampu untuk memengaruhi perkembangannya. Demi membangun kerja sama yang baik dengan Indonesia di masa depan, Belanda dan Amerika Serikat menerima hasil pepera.

Untuk kondisi itu, Drooglever mencatat bahwa Sekjen PBB bertolak dari laporan Ortiz Sanz dan tentu saja laporan dari pemerintah menerima penyelenggaraan pepera dengan menyatakan pemilihan bebas (act of free choice) telah terjadi di Papua meskipun dengan menggunakan kata sandang ’an’ (suatu). Sejak itu kedaulatan Indonesia di Papua diterima oleh komunitas internasional dengan segala dinamikanya (hal. 785).
Setelah hasil pepera diterima di kancah internasional, konflik mengenai Papua berakhir, sekaligus juga menandai berakhirnya perlombaan persenjataan global dengan medannya Indonesia waktu itu. Sebab, selama konflik itu, Rusia dan Cina telah memasok senjata besar-besaran ke Indonesia (hal. 385). Belanda juga memobilisasi persenjataannya. Sementara Amerika Serikat ingin mengendalikan kehadiran ribuan senjata modern itu, dengan sekaligus mengendalikan Indonesia.

Pelurusan sejarah

Meskipun tuntutan pelurusan sejarah di Papua tidak berkorelasi langsung dengan penulisan buku ini, tetapi orang-orang di Papua melihat hasil kerja Drooglever ini sebagai pelurusan sejarah yang mereka nantikan. Itulah yang menjadi penjelas mengapa buku ini disambut begitu gegap-gempita di Papua.

Buku ini sesunguhnya merupakan sebuah proyek historiografi semata, bukan politik. Demikian penegasan Drooglever. Hal yang paling menarik dari buku ini adalah cara penulisnya menempatkan pelaksanaan pepera di Papua dalam posisi Papua sebagai titik tuju pandangan dan kepentingan dunia dengan menariknya jauh ke belakang sampai pada abad ke-18.

Dalam situasi seperti itulah Papua kemudian menjadi agenda PBB di tahun 1960-an ketika Belanda dan Indonesia berebut pengaruh dunia. Sementara AS menjadi pihak pengaturnya dengan melibatkan Australia, sedangkan Indonesia memancing masuk Rusia dan China.

Singkatnya, Papua hanya sekadar menjadi wilayah perebutan, sementara orang-orang Papua menjadi pemain figuran dalam seluruh proses pertarungan politik global pasca-Perang Dunia II itu. Dalam seluruh permainan itu, tokoh-tokoh Papua yang telah mencoba menjadi tokoh protogonis sepertinya kelelahan karena kurang diapresiasi oleh semua pihak.

Buku ini sungguh mengagumkan karena berhasil menyajikan secara detail dan menyeluruh mengenai problematika dekolonisasi Papua dan dinamika politik yang melingkupi penyelenggaraan pepera.

Sudah sepantasnya buku ini disimak oleh berbagai kalangan, khususnya kalangan akademisi di Indonesia dan Papua. Sebab, Drooglever telah membuka jurus tantangan, dan sekaligus menunggu balasan dalam kajian-kajian sejarah politik yang adil dan bernas dari para akademisi Indonesia. Hanya dengan itu tantangan Drooglever bisa dijawab. Semoga.

Aminuddin Al Rahab Penulis Buku Heboh Papua dan Papua Roadmap

• Judul: Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri
• Penulis: PJ Drooglever
• Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
• Cetakan: I, 2010
• Tebal: 867 halaman
• ISBN: 978-979-21-2280-0

http://cetak.kompas.com/read/2010/12/16/03553149/menguak.jejak.pepera.di.papua

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?