SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Mati Karena Miskin

| | |
Berita enam warga Jepara yang mati keracunan tiwul (terbuat dari singkong) adalah rangkaian dan representasi derita rakyat miskin negeri yang bergunung-gunung emasnya dinikmati bangsa asing ini. Rasanya tak cukup kekayaan alam negara ini untuk dimakan oleh warganya sendiri. Ada pembiaran terhadap keserakahan para raksasa. Juga ada penurunan angka kemiskinan dengan cara membiarkan orang-orang miskin mati kelaparan atau penyakitan.

Saya jadi ingat penelitian Prof Mubyarto almarhum yang menunjukkan daya hisap investasi partikelir di negara ini yang memakan lebih dari rata-rata 50 persen produksi di tiap-tiap daerah di negara ini, meski angka penghisapannya tidak sama.

Pemerintahan negara Indonesia saat ini menggunakan tolok ukur pertumbuhan ekonomi, ciri khas parameter ekonomi kapitalisme, membanggakan angka pertumbuhan. Tapi itu kebanggaan yang sesat, diliputi senyum-senyum yang menjijikkan menimbulkan kebencian yang kian meluas. Tak ada presiden Indonesia yang wibawanya sejatuh saat ini, setiap gerak dan bicaranya menjadi bahan cibiran dan olok-olok di mana-mana.

Pemerintahan oligarki yang menjadi peliharaan konglomerat hitam yang juga dibenci masyarakat. Kebencian itu bukan karena cermin buruk hati tetapi karena kejengkelan yang memuncak menyaksikan perselingkuhan dalam pemerintahan bebal yang tak tahu malu.

Para pejabatnya banyak yang korupsi, pembuangan anggaran negara sia-sia dengan berbagai acara yang berbiaya mahal yang tak punya efek korelatif dengan perbaikan hidup masyarakat. Inilah pemerintahan foya-foya.

Media tentu hanya memberitakan yang diketahui. Di dusun-dusun pedamalan yang tersebar bahkan di dalam hutan-hutan ada banyak kemiskinan yang rata yang mengabadi sejak Orde Lama hingga kini. Demi menyambung nyawa orang makan apa saja yang bisa dimakan yang kadang bertaruh dengan risiko kematian.

Berlipat-lipatnya jenjang pemerintahan dari pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa seolah tak ada artinya untuk memantau dan mengetahui serta mengurus kesulitan warga negaranya. Lalu apa yang dikerjakan? Apakah sekadar mempersulit pengurusan KTP, surat pindah tempat, pembayaran pajak, izin lokasi?

Orang mungkin mengatakan bahwa siapa yang miskin harus menyalahkan diri-sendiri karena dikata malas. Tapi apakah mereka tahu bahwa seorang buruh tani bekerja sehari mencangkul tanah penghasilan sehari hanya cukup dimakan sehari? Apakah mereka tahu seorang buruh jahit bekerja keras upah mingguannya hanya cukup dimakan tiga hari? Apakah mereka paham empirisitas ketidakmampuan alamiah yang menjadi pembahasan para filsuf sejak zaman kuno? Apakah mereka paham apa yang disebut pemiskinan struktural oleh perselingkuhan pemerintahan dan korporasi?

Barangkali ada orang miskin berubah nasib yang dengan sombong menjawab: “Buktinya saya bisa begini karena bekerja keras!” Andai saja dia adalah orang-orang yang tidak mempunyai kesempatan yang sama seperti dirinya tentu tak akan berkata sombong seperti itu.

Intinya, sesuai tujuan dibentuknya negara, ada kewajiban bagi para pengurus negara untuk mengatasi masalah-masalah warga negaranya. Tidak layak ada pengurus negara yang mempunyai gaji dan tunjangan bulanan yang bisa dibuat makan keluarganya selama dua bulan, sementara masih ada rakyat yang mati kelaparan atau mati keracunan makanan yang tak layak konsumsi karena miskin. Tak layak ada pengurus partai politik yang berkekayaan megah hidup di negara yang penuh dengan rakyat miskin. Kesenjangan distribusi kekayaan negara yang melebar jauh menunjukkan bahwa negara belum berfungsi secara benar. Ada banyak orang mati karena terlalu banyak makan makanan mahal, ada banyak yang mati karena miskin. Percuma saja dibuat negara jika tak mampu atau tak mau mengatur distribusi kekayaan negara.

Andaikan para kepala desa, lurah, camat, bupati, walikota, gubernur dan dan presiden Indonesia adalah Khalifah Umar bin Khatab, mereka akan memanggul karung-karung bahan pangan dengan pundaknya sendiri untuk diantar kepada rakyatnya yang kekurangan pangan. Mereka akan marah ketika petugas negara/pemerintah hendak membantunya sebab dosa dan tanggung jawab atas kelalaian para pemimpin ditanggung dengan pundaknya sendiri yang tak dapat diwakilkan kepada para bawahannya.

Jika pemerintahan zaman kuno yang tidak mengenal paham demokrasi dapat berfungsi baik, lalu mengapa pemerintahan demokrasi ini justru tak berfungsi dengan benar?


http://sosbud.kompasiana.com/2011/01/05/mati-karena-miskin/

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?