Ambrosius Harto Manumoyoso dan Defri Werdiono
Brutal dan tak ada ampun! Sekitar 300 serdadu Belanda dari Batalyon 7 Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger atau KNIL hari itu dieksekusi Jepang meskipun mereka telah menyatakan menyerah, kalah perang, kepada Jepang.
Mengapa begitu brutal? Ternyata, beberapa hari sebelum eksekusi itu terjadi, tepatnya 12 Januari 1942, pasukan Belanda yang dibantu KNIL baru saja menenggelamkan dua kapal perang Jepang. Pasukan Belanda menghujani enam kapal penyapu ranjau Jepang dengan meriam dari perbukitan Peningki dan Karungan di Kelurahan Mamburungan, Pulau Tarakan, Kalimantan Timur.
Saat diserang, kapal-kapal Jepang itu sedang mendekati pesisir tenggara Tarakan sembari mengibarkan bendera putih. Akibat serangan itu, kapal W13 dan W14 milik Angkatan Laut Jepang hancur bersama hampir semua awaknya.
Ulah serdadu Belanda dan KNIL di Mamburungan—yang tidak mengetahui bahwa pasukan Belanda di Jawa telah menyerah setelah saluran telepon diputus oleh Jepang dan menganggap bendera putih sebagai siasat lawan—itu akhirnya bisa dihentikan atas bujukan Komandan Garnisun Belanda Overste (Letnan Kolonel) S de Waal. Belanda bersedia menyerah dengan janji amnesti dari Jepang. Sayangnya, janji itu diingkari. Jepang tetap mengeksekusi para serdadu dari Mamburungan.
Bukti-bukti serangan itu masih ada hingga kini. Di Peningki, misalnya, meriam-meriam dan bungker segi empat masih berdiri tegap dalam radius ratusan meter dari pantai. Meski beberapa bagiannya sudah tidak lengkap, termasuk coretan vandalisme, meriam-meriam ini masih gagah dengan moncong menghadap ke laut. Bahkan, pangkal meriam yang pecah akibat dihancurkan sendiri oleh serdadu Mamburungan juga masih tampak.
Dari arah meriam-meriam itu bisa dibayangkan bagaimana Belanda dulu bisa leluasa melihat kedatangan lawannya yang berada di lautan, untuk kemudian menghancurkannya.
Selain meriam, serdadu Belanda juga menghancurkan sumur dan pompa pengeboran minyak yang dibangun oleh Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), perusahaan perminyakan Belanda di Tarakan.
Bekas penghancuran itu pun masih bisa dilihat, antara lain 22 menara pompa minyak yang tersebar di Kampung Empat dan Kampung Enam, Tarakan Timur. Tidak jauh dari tempat itu juga ada tangki hitam besar yang kini berisi air untuk membersihkan minyak (wash tank).
Penghancuran instalasi dimaksudkan agar Jepang tidak mendapat minyak untuk memobilisasi pasukan dalam Perang Pasifik, bagian dari Perang Dunia II, 1942-1945. Namun, prediksi Belanda keliru. Produksi minyak saat dipegang Jepang justru meningkat menjadi empat kali lipat dibandingkan BPM. Volume minyak yang sebelumnya 80.000 ton menjadi 350.000 ton per bulan.
Keberadaan industri minyak bumi di Tarakan memang menjadi salah satu pemicu Perang Dunia II di Asia Pasifik. Nusantara (Hindia Belanda), termasuk Tarakan, adalah penghasil bahan mentah bagi industri dan mesin perang negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang, termasuk minyak.
Minyak Tarakan dikenal berkualitas tinggi dan murni (world purest oil). Pemicunya adalah komentar Amsterdam Effectenblad, bursa saham Belanda, pada 1932 yang menyatakan kualitas minyak bumi di Tarakan cukup baik sehingga kapal-kapal besar bisa langsung memasukkan minyak ke dalam tangki.
Saat perang berkecamuk (1941-1945), Tarakan menjadi prioritas utama Jepang. Alasannya, lokasinya strategis sehingga menjadi basis termudah dan terdekat bagi kekuatan Jepang di Davao, Pulau Mindanao, Filipina selatan. Menguasai Tarakan juga berarti memutus jalur bantuan sekutu dari Australia ke kepulauan Filipina, tempat pasukan Amerika Serikat di bawah pimpinan Jenderal MacArthur yang saat itu terdesak oleh gempuran Jepang.
Untuk itulah, pada malam Natal atau 24 Desember 1941, Jepang memulai serangan udara di Tarakan. Saat itu, bisa dikatakan, pertempuran milik Jepang.
Namun, penjajahan Jepang tidak bertahan lama. Tahun 1945 Belanda mendompleng sekutu melakukan balas dendam. Tanggal 1 Mei 1945, Tarakan digempur 20.000 serdadu Australia. Kali ini, sisa pasukan Jepang di Tarakan cuma 2.000 orang. Mereka memberikan perlawanan gigih sampai mati sehingga Tarakan baru bisa dikuasai sekutu pada Juli 1945.
Pada kurun 1942-1945, Tarakan juga menjadi mandala perang yang melibatkan sejumlah tokoh penting militer Indonesia, Jepang, Belanda, dan sekutu. Mereka adalah Kepala Staf Angkatan Udara (pertama) Marsekal RS Soeriadarma; pilot kawakan Jepang, Saburo Sakai; dan perwira tinggi legendaris Amerika Serikat, Jenderal MacArthur.
Membuka catatan sejarah Tarakan bak membuka buku tebal. Apalagi jika ditambah perkembangannya saat ini.
http://cetak.kompas.com/read/2010/10/09/03550019/perebutan.minyak.dan.perang.pasifik.di.tarakan
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar