BANYAK usulan agar Jaksa Agung baru pengganti Hendarman Supandji jangan diambil dari jaksa karier di internal Kejaksaan, melainkan harus didatangkan figur yang berani dan tegas dari luar Korps Adhyaksa tersebut. Pasalnya, apabila Jaksa Agung baru berasal dari jaksa karier bawahan Jaksa Agung yang ada tentu mustahil nanti mau membongkar kasus-kasus yang menyeret seniornya, karena dia adalah ‘orangnya’ Jaksa Agung yang sekarang. Jaksa karir juga rawan terhadap praktik kolusi dan nepotisme yang sulit dihindari di dalam lingkungan kejaksaan. Kini, apabila ada kemauan untuk memberantas kasus-kasus tindak pidana korupsi secara tuntas dan membongkar ‘gurita’ hukum yang menyelimuti jajaran kejaksaan, maka harus dicari figur jaksa agung yang independen dan ‘berani mati’. Sosok ini hanya bisa didapatkan dari luar lingkaran kejaksaan itu sendiri. Ambil saja misalnya dari tokoh pengiat antikorupsi yang dikenal vokal dan bersikap tanpa pandang bulu dalam perilakunya. Atau calon dari luar kejaksaan seperti Baharuddin Lopa.
Figur Jaksa Agung baru adalah syarat mutlak dan sangat diperlukan dalam pemberantasan korupsi di era reformasi seperti yang telag digariskan dalam konstitusi. Apalagi, jaksa agung akan memimpin kejaksaan sebagai ujung tombak lembaga penegak hukum dalam pemberantasan korupsi. Sayangnya, kinerja kejaksaan masih terlalu rendah dalam pemberantasan korupsi di mata masyarakat. Mungkin inilah yang menjadi alasan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga ad hoc atau bersifat sementara. Memang dari segi struktur pun, pejabat jaksa agung adalah di bawah presiden, sehingga tindakan jaksa agung untuk menyeret kalangan atas harus seizin atau menunggu ‘petunjuk’ presiden dulu. Kecuali, kalau posisi Kejaksa Agung berdiri sendiri sebagai lembaga tinggi negara seperti Mahkamah Agung (MA).
Oleh karena itu, berani atau tidaknya kejaksaan agung menyeret suatu kasus besar adalah sangat tergantung kepada political will (kemauan politik) dari seorang presiden. Apabila presiden menghendaki untuk melakukan pemberantasan korupsi tanpa tebang pilih, maka sekarang juga jaksa agung bisa melakukannya. Namun, apakah presiden kita sekarang memiliki kemauan ke sana? Ataukah lebih memilih model pemberantasan korupsi tebang pilih untuk dimanfaatkan bagi kepentingan politik rezim penguasa? Silakan menilai sendiri! Setidaknya indikator ini bisa dilihat dari nama-nama calon jaksa agung yang akan diajukan ke presiden nanti.
Tapi, nampaknya figur jaksa agung akan diambilkan dari jaksa karier alias orang ‘dalam’ kejaksaan agung. Seperti dikabarkan media massa, Jaksa Agung Hendarman Supandji menyatakan sudah mengajukan delapan nama calon pengganti dirinya yang berasal dari internal kejaksaan ke Presiden SBY. Hal itu diutarakan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Babul Khoir Harahap di Jakarta, Selasa (14/9) lalu. Kedelapan calon itu adalah Darmono (Wakil Jaksa Agung), M Amari (Jampidsus), Hamzah Tadja (Jampidum), Marwan Effendy (Jamwas), Juga Edwin P Situmorang (Jamintel), Iskamto (Jambin), Kemal Sofyan Nasution (Jamdatun) dan Zulkarnaen Yunus (Staf Ahli Jaksa Agung). Meski Mensesneg Sudi Silalahi, rabu (15/9), mengaku belum menerima delapan nama calon yang diajukan Jaksa Agung Hendarman Supandji tersebut kepada Presiden.
Kalau Presiden serius menjalankan tuntutan reformasi dalam pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), seharusnya SBY harus memilih Jaksa Agung dari luar yang betul-betul ‘berani mati’ melawan korupsi. SBY bisa meniru atau belajar dari mantan Perdana Menteri (PM) China, Zhu Rongji. Ketika dilantik jadi PM China pada 1998, Zhu Rongji menyatakan, "Berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor. Satu buat saya sendiri jika saya pun melakukan hal itu." Zhu tidak asal bicara. Cheng Kejie, pejabat tinggi Partai Komunis China, dihukum mati karena terlibat suap US$ 5 juta. Tanpa ampun. Permohonan banding Wakil Ketua Kongres Rakyat Nasional itu ditolak pengadilan.
Zhu di awal tugasnya juga mengirim peti mati kepada koleganya sendiri. Hu Chang-ging, Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi, pun kebagian peti mati itu. Ia ditembak mati setelah terbukti menerima suap berupa mobil dan permata senilai Rp 5 miliar. Xiao Hongbo dijatuhi hukuman mati,lelaki 37 tahun yang menjabat Deputi manajer cabang Bank Konstruksi China, salah satu bank milik negara, di Dacheng, Provinsi Sichuan, itu dihukum mati karena korupsi. Xiao telah merugikan bank sebesar 4 juta yuan atau sekitar Rp 3,9 miliar sejak 1998 hingga 2001. Uang itu digunakan untuk membiayai kehidupan delapan orang pacarnya.
Xiao Hongbo satu di antara lebih dari empat ribu orang di Cina yang telah dihukum mati sejak 2001 karena terbukti melakukan kejahatan, termasuk korupsi. Angka empat ribu itu, menurut Amnesti Internasional (AI), jauh lebih kecil dari fakta sesungguhnya. AI mengutuk cara-cara Cina itu, yang mereka sebut sebagai suatu yang mengerikan. Tapi, bagi Perdana Menteri Zhu Rongji inilah jalan menyelamatkan Cina dari kehancuran. Zhu tidak main-main. Cheng Kejie, pejabat tinggi Partai Komunis Cina, dihukum mati karena menerima suap lima juta dolar AS. Tidak ada tawar-menawar. Permohonan banding wakil ketua Kongres Rakyat Nasional itu ditolak pengadilan. Bahkan istrinya, Li Ping, yang membantu suaminya meminta uang suap, dihukum penjara.
Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi, Hu Chang-ging, pun tak luput dari peti mati. Hu terbukti menerima suap berupa mobil dan permata senilai Rp 5 miliar. Ratusan bahkan mungkin ribuan peti mati telah terisi, tidak hanya oleh para pejabat korup, tapi juga pengusaha, bahkan wartawan. Selama empat bulan pada 2003 lalu, 33.761 polisi dipecat. Mereka dipecat tidak hanya karena menerima suap, tapi juga berjudi, mabuk-mabukan, membawa senjata di luar tugas, dan kualitas di bawah standar. Agaknya Zhu Rongji paham betul pepatah Cina: bunuhlah seekor ayam untuk menakuti seribu ekor kera. Dan, sejak ayam-ayam dibunuh, kera-kera menjadi takut. Kini pertumbuhan ekonomi Cina mencapai 9 persen per tahun dengan nilai pendapatan domestic bruto sebesar 1.000 dolar AS. Cadangan devisa mereka sudah mencapai 300 miliar dolar AS.
Langkah pemimpin China yang tegas inilah yang membuat negara China maju seperti sekarang ini, bahkan kemajuannya melesat menjadi ancaman bagi negara di kuasa. Sementara Indonesia yang kaya sumber daya alam sangat melimpah, justeru semakin mundur kaya undur-undur. Lebih parah lagi, Indonesia menggaet juara peringat atas dalam negara terkorup di Asia Pasific. Apakah akibat pemimpin negara ini yang salah menjalankan amanat dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya? Oleh karena itu, rakyat Indonesia harus cerdas dalam memilih pemimpin.Pilihlah presiden yang memiliki teladan keberanian, kepahlawanan, kesatria, dan komitmen yang sangat tinggi dalam memberantasan korupsi yang membuat negara terpuruk dan menyengsarakan kehidupanr rakyat. Terbukti di China, pemimpin yang tegas akan membawa kesuksesan sebuah negara besar.
Setelah realisasi pemberantasan korupsi tidak terbukti sesuai janji-janjinya saat kampanye pemilu, kini citra Presiden kita semakin terpuruk dengan memberikan grasi dan remisi kepada terdakwa koruptor, antara lain mantan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani HR dan mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Aulia Pohan yang juga besannya sendiri. Hal ini akan diperkparah lagi apabila orang-orang lingkaran kekuasaan melakukan kongkalikong dengan kalangan pejabat dan birokrasi untuk melakukan KKN di sana-sini. Kasus dugaan korupsi bailout Bank Century juga tidak segera ditindaklanjuti, kasus rekening gendut sejumlah perwira tinggi Polri juga terkesan dipetieskan, kasus ‘Anggodo’ dibiarkan berbelit-belit, kasus ‘Miranda Goeltom’ tidak segera dicari dalang pemberi uang suap ke anggota DPR, dan berbagai kasus dugaan korpusi lainnya.
Kita sudah muak mengamati praktik korupsi di Indonesia yang bukannya semakin turun dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Apalagi ketika tiba-tiba Presiden SBY memberikan grasi kepada seorang koruptor dan juga remisi kepada 341 dari 778 terpidana korupsi. Tindakan ini jelas tidak adil karena korupsi sudah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Itu berarti upaya memeranginya juga harus luar biasa keras, sehingga membuat efek jera bagi para koruptor. Uang negara triliunan rupiah yang ditilep koruptor mestinya bisa dipakai untuk upaya kesejahteraan rakyat yang kini semakin sengsara kehidupannnya. Kini, harapan kita tinggal pengawasn dari rakyat sendiri, yang harus terus-menerus menyikapi koruptor secara kritis. Serukan sikap jangan pernah berkompromi menghadapi korupsi dan jadikan korupsi sebagai musuh bersama. (Pro CICAK)
http://www.jakartapress.com/www.php/news/id/15961/Koruptor-Takut-jika-Jaksa-Agung-dari-Luar.jp
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar