SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Bismar Siregar : Cucuran Darah dan Air Mata Pencari Keadilan

| | |
Bismar Siregar, SH mengistilahkan bukan lagi air mata yang bercucuran, darah telah berceceran dari pencari keadilan. “Tapi ternyata pejabat pengadilan tidak peduli yang demikian itu,” keluhnya. Dia merasa bahagia tidak termasuk dalam lingkaran hakim-hakim yang bertanya: Mana lembaran Soedirman, mana lembaran Soeharto?

Dia juga menggelisahkan kekurangan pemahaman dan penjabaran hukum oleh para penegak hukum. Bagi dia, hukum itu hanya sebagai sarana, tujuannya ialah keadilan. Kalau sarana itu menjadi penghambat, maka harus disingkirkan, asal mencapai keadilan. Demi keadilan, baginya, tidak ada alasan bagi hakim menyatakan belum ada undang-undangnya. Hakimlah undang-undangnya!

Dia juga menyesalkan hakim-hakim yang tidak mengerti ajaran agamanya. Sebab hakim memutuskan perkara dengan diawali kata demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berarti keadilan yang menjadi landasan, bukan hukum, apalagi kepastian hukum. Saya menemukan itu dalam ajaran Islam: Kalau engkau menegakkan hukum, sesuai ajaran Tuhan tegakkan dengan adil.

Pengalamannya sebagai hakim, selalu memutuskan perkara dengan bijaksana, dengan mendengar hati nurani. Dalam KUHAP juga disebut dengan arif dan bijaksana. “Sehingga kalau ditanya bagaimana kearifan itu? Itu kita harus hadir dalam diri sendiri, tidak ada itu kuliah di fakultas hukum,” ujar Bismar Siregar dalam wawancara dengan Wartawan Tokoh Indonesia Ch Robin Simanullang dan Anna Fauzia, serta fotografer Wilson Edward di kediamannya Jalan Cilandak I/25 A, Jakarta Selatan.

Sebagai sesepuh, dia juga menyampaikan pesan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (pemerintah), lembaga legislatif dan para praktisi hukum. Dia juga berharap agar pemerintah memberi tempat terhormat kepada petani. “Mamurkanlah petani! Jangan berikan yang gratis-gratis, seolah negara ini negara sosialis. Negara ini negara demokrasi, maka berilah harga diri kepada rakyat,” ujarnya. Simak petikan percakapan tersebut.

MAJALAH TOKOH INDONESIA (MTI): Kami berharap Anda berkenan bertutur membagi pengalaman sejak masa kecil hingga menjadi hakim agung sampai setelah pensiun saat ini?

BISMAR SIREGAR (BS): Kalau boleh saya bertutur, tuturan saya sangat sederhana. Dalam melihat segala sesuatu pun sederhana sekali. Saya tidak punyai teori tinggi dalam hidup ini. Yang sederhana itu adalah percaya kepada yang di atas. Kalau sudah percaya kepada yang di atas, tidak ada lagi rasa ketakutan dan kegelisahan untuk hari esok. Percaya kepada Dia itulah yang membimbing saya.

Bismar itu dilahirkan dari keluarga di bawah garis kemiskinan. Ayah saya seorang guru desa. Ayah saya pernah berkata dan mencatat bahwa kami pernah hanya makan nasi satu kali sehari, di waktu malam hari cukup makan ubi rebus.
Waktu baca catatan itu, saya merenung sejenak dan menemukan jati diri. Seakan-akan Tuhan berkata: Tidak percuma engkau dapat baca catatan ayahmu itu, supaya engkau lebih mera-sakan bagaimana engkau sewaktu kecil berusia enam bulan, sudah bernasib sedemikian itu.

Adakah engkau tidak mengenal tentang sekitarmu? Sungguh banyak sekarang ini yang lebih parah daripada hidupmu dahulu. Kalau dulu masih ada nasi sekali, ubi sekali, sekarang apa-pun tidak ada yang dimakan saban hari. Adakah engkau tidak merasakan yang sedemikin itu?

Dalam kondisi demikian itu, saya melihat lunturnya manusia Indonesia yang mengaku dirinya Pancasilais sekarang ini. Karena ungkapan Pancasila tidak keluar dari hati nurani tapi hanya dari mulutnya. Dan kalau dari mulut berbeda dengan apa perbuatannya, saya mengatakan itulah ciri-ciri manusia munafik.

Saya tidak takut mengatakan kata-kata yang demikian. Karena sudah terlampau lama kita menderita, mengharapkan kemerdekaan itu membawa rahmat bagi kita semua.
Sampai saya katakan, saya ini republiken tulen. Saya tidak pernah mengalami penjajahan Belanda. Tapi saya sekarang ini ingin menyampaikan mohon maaf kepada mereka yang mengaku dirinya sebagai patriot, bahwa hidup jaman Belanda lebih nikmat daripada hidup zaman republik. Kenapa? Hidup pada zaman Belanda, jarum jatuh bisa dicari. Tapi hidup di zaman republik, mobil dicuri ke mana mau dicari? Dicari kepada kepolisian sudah dipreteli, saya bilang.

Salahkah saya mengucap yang demikin itu? Mungkin salah bagi mereka yang sungguh patriotisme luar biasa, tetapi ia bukan republiken tulen. Dalam perjalanan sejarah, ia barangkali tidak pernah mengalami hidup di alam republik. Waktu rebuplik dihantam Belanda ia mungkin menjadi koperator atau apa pun namanya. Tetapi, haleluya, haleluya, alhamdulillah, saya bisa merasakan yang demikian.

Dalam perjalanan hidup, saya ingin menyukuri, kendati tidak pernah tamat sekolah SD (HIS). Sebab ketika saya HIS kelas tujuh, Jepang masuk. Karena saya dibesarkan dalam garis kemiskinan, saya tidak bisa melanjutkan ke SMP. Walaupun kawan-kawan saya sudah masuk SMP.

Jadilah saya anak desa. Anak desa yang bukan sembarang anak desa. Tapi anak desa yang membuka rimba untuk dijadikan sawah. Saya hidup bersama orangtua, tidur-tiduran di tengah persawahan, mendengar jangkrik yang berseru, nikmat sekali. Sampai sekarang pun saya merasakan, dan menangis saat mengenangnya.

Namun dalam kehidupan yang sedemikian itu, tidak ada kesulitan dalam mencari makanan. Karena itu saya tulislah dalam buku Aku Anak Petani. Kenapa saya menulis? Karena saya melihat perlakuan dan perhatian pemerintah sekarang ini untuk petani tidak ada. Harga gabah diturunkan sedemikian rupa, sementara harga pupuk dinaikkan sedemikian tinggi. Petani ribut dan demo, itu bukan urusanku. Semua mengatakan itu bukan urusanku.

Mungkin dia bukan anak petani, tapi dia berbohong terhadap dirinya, kalau bukan ayahnya petani, neneknya yang petani. Tapi saya, bukan hanya ayah saja petani, saya sendiri juga petani. Jadi, terasa bagi saya bahwa petani itu berada di tengah sawah, hujan, kepanasan dan menunggu sampai selesai panen. Kalau istilah di kampung cukup makan setahun pun kita sudah bersyukur. Itu waktu dulu.

Tapi waktu sekarang tidak berlaku lagi. Karena lahan-lahan sudah dibagi kepada para ahli waris. Tinggallah lahan seadanya. Salahkah kalau anak-anak bangsa yang hidup di desa itu harus meninggalkan kampungnya mencari nafkah di kota?

Kalaulah kita, sebutlah umpamanya dari Siborong-borong atau entah apalah namanya, karena memang tidak bisa lagi hidup di situ, karena harga hasil pertanian tidak dapat lagi untuk diandalkan. Kenapa pemerintah tidak memikirkan nasib petani, supaya mereka tidak datang lagi ke kota, menjadi supir bus, menjadi pedagang-pedagang asongan, pedagang kali lima yang menimbulkan masalah. Kemudian dikejar-kejar Trantib dan seterusnya untuk diperas dan diperas lagi. Kenapa tidak dipikirkan?

Makmurkanlah petani itu. Bagaimana caranya? Berikan mereka subsidi tiga kali lipat. Kalau subsidi sudah tiga kali, mereka sudah hidup yang layak. Dengan demikian mereka tidak usah datang lagi kota. Kalau mereka sudah makmur, sudah bisa hidup yang layak, tidak perlu lagi susah cari sekolah dan berobat ke rumah sakit, karena mereka sudah bisa bayar sendiri. Kenapa harus digratis-gratiskan? Seakan-akan negara ini negara sosialisme. Tidak! Negara ini negara yang demokratis, berikan kepada mereka untuk menegakkan harga diri.

Kalau di Jepang, delapan kali, kata meraka. Maka Jepang tidak mau mengimpor beras. Jepang memproteksi petani, walaupun AS memprotes dengan berbagai macam cara. Di sana petani memiliki kedudukan yang sangat terhormat.
Kapankah kita memberikan kedudukan terhormat itu kepada para petani, dari mana kita berasal? Kurasakan nikmatnya melihat padi yang tumbuh, kemudian mulai boltok (istilah di Tapanuli), berbuah dan seterusnya. Lalu melihat burung pipit (amporik) ratusan bahkan ribuan ekor hinggap, lalu diusir dan diusir.

Kemudian sekarang saya bertanya kenapa kita begitu kejamnya kepada burung pipit pada jaman dahulu. Bukankah rezeki yang kita harapkan itu ada juga rezeki orang lain? Kenapa? Jadi saya merasa berdosa kepada mereka.
Tapi apakah kita tidak ada yang ingin melanjutkan filsafat hidup seperti itu? Bukan hanya engkau, hanya manusia, yang berhak mendapat rezeki yang diberikan Tuhan, binatang-binatang atau hewan-hewan itu juga berhak.

Oleh karena itu, sebagai orang muslim saya berbahagia, sebagai orang Batak pun saya berbahagia karena menyandang marga Siregar. Nanti di Bali, saya akan menyampaikan satu makalah. Sebagai seorang muslim, saya ingin menyampaikan nikmat itu sebagai bahan kajian kita. Sebagai seorang Batak, saya juga ingin menyampaikan nilai-nilai kebatakan itu kepada kita.

Jadi sebagai muslim, ada dikatakan bahwa ada dua kelompok manusia yang paling dimuliakan oleh Allah, yaitu perempuan dan petani. Pertama, kalau wanita tidak mau lagi untuk melahirkan seorang anak, menyusui anak, menyantuni anak, celakalah manusia. Adakah tendensi untuk mengingkari itu? Lihat saja gaya hidup beberapa wanita yang selebritis, yang bahkan tidak segan-segan merusak rumah tangga orang dan seterusnya.

Kedua adalah kalau tidak ada lagi petani yang mau menabur benih untuk dituai, celakalah manusia. Maka saya mengajak supaya kita berbahagia untuk menjadi petani. Kita semua berbahagia pernah menjadi keturunan petani.

Tapi saya akan merasa lebih berbahagia lagi, kalau mereka yang duduk di atas itu, merasakan bahwa para petani itu mengharapkan uluran tangan mereka untuk bisa hidup sebagai rakyat yang berhak di dalam kemerdekaan ini. Tetapi apa yang saya lihat, walaupun petani dibilang begini-begini, tetapi tidak menyangkut mengenai pokok dasarnya rakyat.
Makmurkanlah petani, insya Allah mereka nanti tidak ada lagi yang tidak sekolah. Tidak perlu mereka diseragamkan. Jangan mengasingkan anak itu dari alam dan lingkungnnya.

Biarkanlah dia bersama dengan lingkungannya. Biarkanlah kaki ayam. Si Bismar pun setelah SMA dia baru tahu memakai sepatu. Waktu di HIS dulu jaman Belanda kaki ayam. Jadi nggak masalah, kenapa kita harus malu. Mereka itu harus menjadi dirinya.

Oleh karena itu, kesalahan itu perlu diakhiri. Supaya ia cinta pada pertanian. Kalau dahulu kita bangga, saat orangtua kita bekerja di sawah, maka pukul 12 siang anak membawa makanan untuk ayahnya. Sekarang mana ada anak yang mau begitu. Jadi kita sendiri tidak sadar telah merusak tatanan yang ada, yang begitu baik, yang telah diwarisan nenek moyang kita.
Oleh karena itu, sekali lagi, saya kembali mengetok pintu hati nurani mereka yang diberikan amanah jabatan oleh Yang Kuasa. Tolonglah ingat, amanah dan jabatanmu itu adalah sesuatu yang kelak engkau pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Engkau tidak bisa lepas dari pertanggungjawaban itu.

Kepada SBY pun pada waktu Pilpres dulu, saya bilang, engkau imam yang harus bertanggungjawab terhadap lingkunganmu.
Jadi kalau saya menjadi imam terhadap diri saya, terhadap keluarga saya, engkau SBY adalah imam untuk bangsa ini. Sehingga tolong ingat, engkau bukan presiden dalam sistem parlementer, engkau tidak bisa dikecilkan oleh parlemen, tidak bisa, engkau dipilih langsung rakyat. Tetapi, tampaknya engkau tidak sadar bahwa rakyatlah yang memilih engkau. Engkau ingin mengadakan koalisi, koalisi dengan Golkar, koalisi dengan Jusuf Kalla.

MTI: Kembali ke perjalanan hidup Anda yang selain mencapai berbagai keberhasilan juga diwarnai penderitaan dan tantangan?

BS: Itulah sekilas perjalanan hidup saya. Terlalu banyak penderitaan-penderitaan selama dalam perjalanan hidup ini. Tetapi penderitaan itu tidak saya anggap sebagai sesuatu yang memojokkan dan sebagainya. Melainkan merupakan ujian-ujian iman. Masihkah saya mampu menghadapi ujian-ujian dan cobaan-cobaan berikutnya?

Antara lain, keluar dari jaksa juga merupakan ujian. Saya tadinya wakil AA Baramuli di kejaksaan Makassar. Kemudian karena ada salah pengertian, barangkali, saya lepaskan orang yang mereka tidak merasa senang dilepaskan, maka saya dipindahkan ke Ambon.

Makassar adalah kejaksaan kelas satu, Ambon kelas tiga. Dari wakil menjadi jaksa biasa. Apakah saya tidak akan kecewa? Semula saya kecewa. Tanpa SK. Waktu itu saya memberontak dan berpikir akankah melawan pada atasan? Mulailah si Batak berpikir lebih bijak, ah nggak. Karena saya ini di sini hanya ketimun, dia adalah durian. Kalau saya protes, saya juga yang akan salah.

Kemudian saya pindah ke Ambon. Dan ketika bertugas di Ambon itulah saya harus berpisah dengan keluarga, jauh Jakarta dengan Ambon. Bukan seperti sekarang enaknya, kapan saja kita bisa berangkat, bukan. Oleh karena itu pada suatu saat, saya sudah merasa orang Ambon yang sebelumnya saya sebut hitam-hitam, tapi makin lama makin terlihat cantik dan makin putih. Maka timbullah setan akankah saya melihat orang Ambon yang makin putih dan cantik, lupakah saya bahwa isteri saya lebih cantik dan lebih putih darpada wanita mana pun yang ada di dunia ini?

Ini bekal pembinaan kehidupan dalam berkeluarga. Sehingga, saya berkata, kalau akan mencari pemimpin yang dapat dipercaya, carilah orang (pemimpin) yang setia pada rumah tangganya. Kalau ia setia pada anak dan isterinya, paling tidak jaminan 50%, dia setia dalam menjalankan tugasnya. Kalau dia sudah melanggar, jangan pilih.

Oh itu terlampau kejam. Tidak, saya bilang. Itu pengalaman saya. Karena setiap saya digoda oleh siapapun, apa lagi dengan wanita, terbayanglah wajah istriku yang sekarang ini sudah mulai keriput dan sudah mulai putih rambutnya. Namun, saya katakan, di keriput wajahmu itu, di rambut yang sudah memutih, di situlah kulihat rahmat ilahi ya robbi, kita membina hidup rumah tangga yang bahagia. Haleluya. Kehidupan rumah tangga kami bahagia.

MTI: Lalu, bagimana pengalaman di Ambon?

BS: Tak berapa lama kemudian, di Ambon saya menjadi Wakil Kepala Kejaksaan. Itulah hikmahnya. Bahwa gara-gara Baramuli memindahkan saya ke Ambon. Walau semula saya kecewa, namun kemudian saya ikhlas. Saya tidak tahu itu menjadi jalan Tuhan.

Setelah itu, saya di pindahkan menjadi ketua pengadilan negeri di Pangkal Pinang. Namun ketua pengadilannya minta pensiunnya ditunda menjadi satu tahun lagi. Sehingga saya menjadi hakim biasa, tertunda jadi ketua pengadilan negeri. Ada kawan saya, kita protes, kita demo. Nggak, saya bilang. Kenapa sih engkau tidak rela seorang yang sudah menua meminta setahun dan kenapa engkau tidak ingin untuk membahagiakan orang lain?

Lalu belum satu tahun di Pangkal Pinang, Ketua Pengadilan Negeri Pontianak meninggal. Langsung saya dipindahkan ke sana. Pangkal Pinang kelas tiga, Pontianak kelas satu.
Inilah, saya baca, saya baca, saya baca semuanya itu, sebagai bukti bahwa kalau engkau dekat dengan Tuhanmu, Dia lebih dekat lagi kepadamu. Tapi kalau kau sudah mulai ragu kepadaNya, Dia juga tidak akan pernah meninggalkanmu.

Jadi setelah kami tujuh tahun di Pontianak, istri saya sudah betah dan bilang, kita tidak usah pindah. Tapi, saya bilang, saya harus pindah. Jadilah kami pindah jadi Ketua Pengadilan Negeri di Jakarta Utara. Kemudian menjadi hakim tinggi.
Satu hal yang tidak bisa saya bayangkan, belum sempat saya dua tahun menjadi hakim tinggi sudah ditunjuk menjadi Ketua Pengadilan Tinggi di Medan. Ditanya, mau dia tidak? Siapa yang tidak mau kembali ke Bonapasogit? Karena itikad kita bagaimana untuk membela. Haleluya! Selama saya bertugas, satu setengah tahun di Medan, tidak ada tempat dimana saya sebahagia itu. Mempunyai anak buah, seluruh jajaran pengadilan negeri sungguh bisa saya jalin kerjasamanya dengan baik.

Tidak perlu saya tegur, jadi begini-begitu, tidak perlu. Karena dalam prinsip saya, menegur orang itu bukan dengan cara kekerasan. Tapi cara contoh dengan bijak.

Contohnya, Dumasi Nababan, mantan hakim agung, anak buah saya. Dulu biasa di Medan itu, ditunggu datang orangnya. Apa itu ditunggu datang orangnya? Kalau tidak datang, tidak diselesaikan perkaranya. Oh itu. Ambil perkaranya semua, saya bilang. Ada tiga ratus. Bagi semua kepada hakim lain.
Kemudian ada seorang hakim yang perkaranya bertumpuk.

Koq nggak selesai-selesai. Akhirnya, saya buat, karena perkara Anda tidak selesai-selesai, sudah saya pikir, untuk sementara perkara tidak saya bagikan pada Anda sebelum itu diselesaikan. Dan saya selalu transparansi, maka ada tembusan pada atasan. Sakit dia. Belum pernah saya mengalami hal yang demikian ini. Tapi karena dia anak buah saya, dan saya bertanggungjawab terhadap penyelesaian perkaranya.

Saya juga memberi contoh, misalnya sebagai ketua, saya datang jam tujuh. Anak buah akan kerepotan akan datang sebelum jam tujuh. Kalau ketua datang jam 10, anak buah pun iya.
Jadi di Mahkamah Agung juga sama. Saya datang lebih pagi, dan membuat kunci duplikat, sehingga saya tidak perlu menunggu datang tukang kunci pintu. Tidak perlu saya harus marah. Sementara kawan-kawan saya demikian (mengandalkan tukang kunci pintu), tapi saya tidak. Kalau saya sudah datang jam 7, saya pulang jam 2 siang. Bijaksana, kalau sama-sama pulang sudah macet. Kalau jam 2 belum pulang, saya sudah pulang mendahului, tapi pekerjaan saya kerjakan.

Dalam bekerja, saya selalu berdoa. Kalau saya melihat satu berkas perkara walaupun setebal sedemikian rupa, di mata saya terbayang orang yang menunggu keadilan dari berkas perkara ini, dan berkas perkara ini adalah makhluk. Sehingga kalau saya datang dan saya buka dengan bismillah.

Alhamdulillah, seorang di antara hambamu dikasih jabatan amanah hakim agung, untuk menyelesaikan perkara.
Karena saya mempunyai istilah bukan lagi air mata yang bercucuran, darah telah berceceran dari pencari keadilan. Tapi ternyata pejabat pengadilan tidak perduli yang demikian itu. Karena kita sudah merasakan, apa yang dialami oleh orang lain bukan urusan kita. Karena itu, tunggakan-tunggakan perkara, dua puluh ribu, sebentar-sebentar. Kapan kau sebentar? Sampai habis masa jabatannya, dan sudah diperpanjang lagi oleh mereka sendiri dan sudah dilantik lagi oleh Presiden SBY, dan itu kan aneh.

Yang sepanjang hemat saya, itu tidak sah. Keputusan untuk memperpanjang masa jabatan sendiri. Kalau tidak sah tentu SBY tidak menyatakan sah dan harus diganti dengan pilihan yang sah.

Peci kebanggaan kita sejak jaman Belanda juga sudah diganti dengan bentuk peci profesor. Saya sudah tahu, semua sudah tahu, namun seakan-akan diam dan saya tidak akan diam.
Itulah banyak masalah. Tapi dalam masalah yang demikian, saya masih mantap untuk berkata, apa pun yang terjadi atas dirimu dan keluargamu itu Bismar, jangan sesali, jangan sesali. Itu tidak akan terjadi kecuali dengan izin Dia. Kalau itu seizin Dia, akankah saya durhakah, protes mengenai izin Dia.

Karena itu saya menulis mengenai Gus Dur. Waktu ucapannya, saya protes Tuhan, karena saya harus lengser tahun 2004, sekarang saya dilengserkan, saya protes. Saya tulis, Gus Dur mengapa engkau harus protes dengan Tuhan. Tidakkah engkau lupa, apapun tidak lebih dari apa yang ditentukan oleh Tuhan. Kalau pun harus lengser, ikhlas saja, jabatan tidak segala-galanya untuk saya. Tapi ternyata pejabat-pejabat kita sekarang luar biasa, menjadikan jabatan segalanya.

Betul saya bahagia kok, tidak termasuk dalam lingkaran hakim-hakim yang bertanya mana lembaran Soedirman, mana lembaran Soeharto. Saya nggak ragu-ragu bilang dan memang begitu.

Jadi anak kami ada tiga, satu pun tidak ada yang mau melanjutkan untuk menjadi hakim, semua yang bergerak di bidang pegawai dan advokat.

MTI: Kemudian sewaktu bertugas sebagai hakim, salah satu waktu itu di Medan, tentang defenisi ‘benda’ atau ‘barang’, itu sempat menjadi pemberitaan yang menarik di koran-koran. Bagaimana ceritanya?

BS: Sebelum itu, pertama, waktu saya menjadi Ketua Pengadilan Tinggi di sana, ada seorang entah bermarga apa itu, berkelahi dengan hakim Pengadilan Tinggi. Kemudian ketika dia mau datang pada saya, dihalangi mereka. Mereka melapor pada saya. Pak Bismar, itu datang orang yang berkelahi dengan hakim. Saya bilang masukkan saja. Begitu masuk, dia bilang, begini, begini, saya minta supaya hakim ini dihukum, dan seterusnya.

Sesudah dia selesai, saya bilang bolehkah saya menyampaikan sesuatu? Boleh, apa itu katanya. Saya bilang, mestinya saya yang harus dihukum. Terkejut dia. Kenapa? Saya sebagai Ketua Pengadilan Tinggi tidak bisa membenahi anak buah saya. Saya tidak pantas sebagai ketua.

Kemudian dia datang kedua kali. Saya songsong ke pintu. Masuk dia.”Ya itulah Pak Bismar, Ketua, ibu saya marga Siregar,” katanya. “Kalau marga Siregar tondongmu do ahu,” kubilang. Masalah-masalah yang demikian itu sebetulnya kalau kita sebagai pimpinan harus terbuka untuk menghadapinya, tidak usah berprasangka yang tidak baik.
Kemudian tentang mengenai benda (bonda, bahasa Batak) atau ‘barang’. Semua ribut, sehingga mahasiswa sekarang pun kalau belajar dalam hukum perdata tentang barang, semua mereka tersenyum. Kenapa? Mereka ingat ‘barangnya’ si Bismar.

Itu mengenai cerita orang kita yang ada di suatu tempat, tinggalkan keluarga. Biasalah kalau pulang, mampir, jalan dan seterusnya. Dan kebiasaan di kampung, seorang gadis duduk sore-sore di jendela untuk melihat adakah orang yang lewat yang melirik-lirik. Memang pada waktu itu dia tidak menyadari apa yang menjadi kehormatan itu. Si wanita begitu percaya terhadap rayuan cinta si pria, kehormatan pun diberikannya.
Setelah berulang kali, dia berkata, mana janjimu! Apa itu janji? Kalau kita sudah begini, kita akan menikah. Saya tidak bisa menikah karena saya orang Kristen, nggak boleh berpoligami. Itulah, berakhir di pengadilan. Dihukum oleh Pengadilan Negeri 4 bulan.

Tapi waktu sampai di Pengadilan Tinggi, saya mengatakan, kurang ajar ini. Akhirnya ada dakwaan, saya terapkan sebagai penipuan. Bagaimana tidak penipuan, sudah tahu tidak boleh berpoligami dan sebagainya, terus dia masih mengatakan, ‘tuntut sampai langit ketujuh, suka sama suka, dewasa sama dewasa, tidak ada satu pasal pun yang dapat menjerat saya’.
Sekarang datang si Bismar menjawab, sekarang engkau akan dihukum. Jadi dia akhirnya dihukum kurang lebih empat tahun. Dengan catatan bahwa, kalau istilah Batak, kalau amarah orang Batak itu sudah memuncak ‘kehormatan’ itu disebut ‘bondami’. Maka dikatakan orang, jangan jadikan dong istilah Batak itu menjadi istilah hukum, inilah protes mereka yang wanita. Kenapa begitu Pak Bismar? Karena saya seorang laki-laki, lahir dari rahim seorang ibu, wanita.

Memang betul, ya si Bismar orang Batak, kalau memang dalam prinsip, ya idealis sekali. Waktu di Mahkamah Agung, kita rapat pleno, ditanyakanlah oleh Hakim Agung, Ketua Pidum. Tapi saya mengatakan, Mahkamah Agung tidak boleh memberikan komentar tentang perkara yang sedang diselesaikan di tingkat pengadilan negeri atau tinggi, mestinya diserahkan kembali kepada majelis hakim. Kalau nanti sudah sampai ke MA silahkan putuskan sendiri atau batalkan. Kala itu, saya percaya nanti akan dibatalkan. Memang dibatalkan.
Walaupun orang sekarang mengatakan, ‘putusan Pak Bismar itu benar’. Tapi kebenaran putusan yang diberikannya itu saat-saat tertentu belum merupakan suatu kebahagiaan bagi kita, tetapi saat lain dimana orang membutuhkan, itulah kebahagiaan bagi kita.

MTI: Kalau tidak salah juga ada kasus ganja yang sebelumnya dihukum 10 bulan tetapi kemudian Anda hukum 10 tahun?

BS: Iya, juga ada kasus ganja, dari hukuman 10 bulan menjadi 10 tahun, dari 15 bulan menjadi 15 tahun, ribut. Sehingga Benny Moerdani mengatakan, Pak Bismar ini menyelamatkan negara kita dengan putusannya terhadap ganja itu.

Tetapi sekarang, saya bertul-betul bertanya, apakah hakim itu punya hati nurani atau tidak. Umpamanya, Roy Martin, sekarang dituntut karena dia menggunakan. Kalau dulu saya sebagai hakim, terhadap yang menggunakan saya tidak hukum, tetapi saya masukkan keperawatan di Fatmawati. Itu tidak ada undang-undangnya? Saya undang-undangnya! Untuk apa saya hukum dia, karena dengan itu dia tidak bisa berhenti. Tapi kalau dirawat bisa. Siapa yang membiayai? Negara saya bilang. Kalau dia orang kaya, dia sendiri.

Jadi sekarang ini seakan-akan hakim tidak mengerti, tidak mau mengerti. Dengan alasan UU-nya belum ada. Bagi saya itu tidak boleh. Hakim harus berani menciptakan UU. Seperti kasus wanita tadi, saya buat itu penipuan.

Jadi di situlah saya menemukan, yang dari satu segi saya bahagia pernah menjadi hakim, tapi sesudah sekarang ini, saya merasakan pedih karena saya mengalami dan seterusnya tapi tidak bisa berbuat. Karena itu saya terus menulis, menulis, menulis dan menulis.

Selain itu, di pengadilan, saya pernah menjatuhkan putusan terhadap dua anak yang sangat akrab sekali, orangtuanya juga akrab sekali, tapi terlanjur satu saat si anak membunuh kawannya, jadilah perkara. Sampai di pengadilan tinggi, kedua orangtuanya datang untuk menyelesaian perdamaian. Dalam hukum pidana, tidak ada perdamaian yang demikian. Tetapi saya tukang-tukangilah. Bukan karena saya ada maksud tertentu, tidak.

Tapi bagaimanalah, orangtuanya kawan baik, mereka kawan baik. Jadi terjadi yang demikian itu ‘kan bukan karena kemauan mereka. Maka pada saat itu, karena ini orang Melayu, diselesaikan secara adat Melayu, kemudian karena mereka juga beragama Islam maka diselesaikan juga sesuai dengan agama Islam tentang pembunuhan. Kalau si korban itu memaafkan, hapus, tetapi dengan ganti rugi maka diberikan ganti rugi.

Cuma secara hukum tidak dapat dikatakan dimaafkan tapi diberikan hukuman percobaan. Hasilnya ‘kan sama saja, keluar dari penjara, cuma barangkali redaksinya yang lain. Seperti sekarang, Pak Harto tidak boleh dimaafkan katanya, karena perkaranya belum diselesaikan. Kenapa kita harus mengutamakan penyelesaian perkara daripada batin kita, hati nurani kita, memaafkan seseorang. Mengapa?

Jadi di situlah barangkali kekurangan pemahaman dan penjabaran daripada hukum. Bagi saya, hukum itu hanya sebagai sarana, tujuannya ialah keadilan. Kalau sarana itu menjadi penghambat, maka saya harus singkirkan, asal mencapai keadilan.

MTI: Juga ada kasus pernikahan yang Anda sahkan sebelum menikah secara catatan sipil?

BS: Salah satu putusan yang sangat membahagiakan saya, ada dua orang umat Kristiani (Katolik) menikah di hadapan pastur, tetapi mereka belum menikah secara catatan sipil. Maka datang dia dan berkata: Sahkanlah pernikahan kami Pak. Kalau menurut UU tidak boleh.

Tetapi apakah saya menyatakan anak yang lahir dari hubungan suami istri, ayah dan ibu yang diberkahi oleh pastur dengan mengatakan atas nama Tuhan saya berkahi, kemudian di depan pengadilan, demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, perkawinan yang atas nama ini tidak sah.

Saya mengatakan, saya tidak akan melakukan yang demikian.
Saya nyatakan bahwa perkawinan itu sah. Yang tidak sahnya adalah belum memenuhi prosedur. Sempurnakanlah prosedurnya. Tidakkah bahagia, sebagai seorang muslim, saya bisa mengatasi kesulitan dari sesamaku yang kristiani?
Sekarang tidak ada yang mencari Tuhan, karena bagi mereka kepastian hukum. Tidak ada yang pasti dalam hidup ini, saya bilang. Yang pasti itu Tuhan. Karena itu undang-undang memberikan kesempatan kepada hakim menggu-nakan akalnya, bagaimana untuk menjabarkan supaya hukum itu bisa mencerminkan keadilan. Sekarang ‘kan tidak, hukum demi uang.

Tahun 1964, waktu PKI hamil tua, lahirlah undang-undang yang memerintahkan: Hei hakim, kalau engkau akan mengucapkan putusanmu, ucapkanlah dengan sumpah demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Maha Esa.

Tolong bayangkan, dalam situasi kondisi seperti itu, yang tidak mungkin dilakukan, tapi lahirlah UU yang demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Maha Esa. Maka saya berkata, Maha Besar Engkau Illahi Robbi, kalaulah demi keadilan, toga ini saya tanggalkan. Tapi karena di situ ada Ketuhanan Yang Maha Esa, saya pakai. Tapi landasannya ialah harus sesuai dengan hukum Tuhan. Hukum manusia boleh saya pakai, tapi kalau bertentangan, saya kesampingkan.

Karena itu kalau hukum Tuhan yang menjadi urusan, ajaran Kristen ada, ajaran Islam ada. Cuma mungkin dalam ajaran Kristen terlampau dikekang untuk menafsirkan ayat-ayat itu. Sebagaimana saya peroleh dari seorang hakim umat kristiani yang menjemput saya waktu saya sampaikan mengenai kalimat: Jadilah engkau garam di dunia. Apa jadinya kalau engkau tidak asin, engkau akan dibuang dan diinjak orang. Penafsirannya begini, jadilah engkau membawa kebahagiaan kepada siapapun juga. Pandai betul ya Pak Bismar menafsirkannya, kalau kami tidak boleh, dia bilang. Saya tidak tahu apa omongannya benar demikian itu

MTI: Dia tidak mengerti barangkali?

BS: Iya situ, hakim-hakim itu tidak dibekali pengertian. Hakim-hakim kritiani tidak mengerti ajaran agamanya, juga hakim Islam tidak mengerti. Jadi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, berarti keadilan yang menjadi landasan, bukan hukum, apalagi kepastian hukum. Saya menemukan itu dalam ajaran Islam: Kalau engkau menegakkan hukum, tegakkan ajaran Tuhan.

Sebagai contoh, hukum adat. Laki-laki selalu diutamakan untuk sekolah sedangkan wanita tidak. Maka bantulah dia sekolah. Akankah adil, saya masih menuntut hak saya sebagai anak laki-laki? Tidak adil. Karena itu, adat itu harus out, nggak bisa. Paling banyak hak, ambillah semua, karena saya sudah mendapat buah warisan itu.

Jadi kalau dalam pertimbangan putusan, saya selalu bawa nilai ajaran-ajaran Kristiani, dan ajaran Islam. Bukan saya menyepelekan yang lain, tapi saya membuktikan bagaimana saya ingin untuk menjadikan agama yang dijiwai dan dirohi Tuhan Yang Maha Esa.

Buktinya, suatu saat ada seorang suami yang ingin cerai dengan istrinya. Kemudian dia buatlah sedemikian rupa pancingan sehingga suatu saat di malam sepi jam 12 malam, ditangkaplah si istri. Kemudian diajukan ke polisi. Yang sebetulnya kalau yang demikian ini kan tidak boleh ditahan, tapi kok ditahan polisi. Dengan janji kalau dia mengaku maka akan segera dilepaskan, mengakulah dia. Walaupun tidak benar mengakulah dia.

Selesainya dalam tempo dua minggu sudah selesai diajukan ke pengadilan. Seandainya proses ini berlaku, alangkah bahagianya pencari keadilan segera menemukan keadilan-keadilan. Tapi ini tidak. Oleh karena apa? Rupanya keinginan suaminya, kalau dia dihukum maka perceraian akan putus, si istri tidak mendapat bagian dari harta.

Maka saya bilang, cari ayat Injil. Kemudian dapat. Surat Injil Johannes. Inti ayatnya, waktu orang Farisi membawa seorang wanita yang berzinah, kemudian mereka berkata, ya Tuhan Yesus, hukumlah ia sesuai dengan hukum Farisi, dihukum rajam sampai mati. Tuhan Yesus mendengar, kemudian menundukkan kepalanya. Diangkat kepalanya, Yesus berkata, siapa di antara kalian yang tidak berdosa, silakan mengambil batu lebih dulu untuk melempar si wanita ini supaya hukum ditegakkan dan diperlakukan.

Lalu Yesus menunduukan kepala. Waktu Yesus mengangkat kepala kembali, tidak ada lagi orang di sana kecuali si wanita itu. Ditanya kemana mereka? Mereka sudah pergi Tuhan Yesus, jawab si wanita. Jadi simpul saya, ya Allah, hanya orang tidak berdosalah yang boleh mengadili orang yang tidak berdosa.

Itu filsafat harus dicanangkan untuk para hakim supaya mereka mengerti di dalam ajaran Injil, sedemikian rupalah kedudukan hakim. Karena hakim itu wakil Tuhan. Jadi kalau sekarang, kita dibodoh-bodohi, karena memang kedudukan hakim tidak seperti yang selayaknya.

Demi itu langkah sumpah. Jadi menurut saya tidak benar. Janganlah engkau bersumpah demi bumi, demi langit, karena itu alas tempat Tuhan bermukim. Jangan bersumpah demi bumi, karena itu tempat berpijak. Jangan bersumpah demi Yerussalem, karena itu kota Maha Hadir. Jangan kau bersumpah, kecuali bersumpahlah demi nama-Ku. Itu telah menjadi irah-irah putusan kita. Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Haleluya, haleluya! Di negara kami yang lahir dan di atas berkat dan rahmatNya, sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Keadilan diucapkan atas nama Tuhan, betapa kami tidak merasa, Engkau yang harus mengaturnya, terserah kepadamu ya Tuhan. Sampai enam puluhan tahun lebih kami belum menikmati mengenai kurnia rahmat kemerdekaan negeri ini. Kami masih hidup di dalam angan-angan.

MTI: Bagaimana Anda bisa selalu arif dalam setiap mengambil keputusan itu?

BS: Putuskanlah dengan bijaksana, dengar hati nunari. Kemudian di dalam KUHAP ditambah dengan arif dan bijaksana. Sehingga kalau ditanya bagaimana kearifan itu? Itu kita harus hadir dalam diri sendiri, tidak ada itu kuliah di fakultas hukum.

Karena putusan itu engkau pertanggungjawabkan hanya kepada Tuhanmu, bukan kepada ketua Mahkamah Agung. Bukan seperti sekarang. Nanti apa kata Mahkamah Agung ya. Bukan. Kalau itu betul atau tidak, itu urusan nanti. Kemudian kepada hati nuranimu, baru kepada yang lain. Jadi sudah jelas sistematika, hierarkinya itu ditetapkan dengan undang-undang, tapi kenapa mereka tidak mau belajar?

MTI: Kembali masalah jenjang karir, apakah Anda pernah meminta jabatan?

BS: Saya tidak pernah minta. Sekarang ini fit and proper test. Saya nggak pernah tahu. Dulu Golkar pernah mengirim surat kepada saya, membuat mengenai suatu tulisan tentang penegakan hukum dan seterusnya. Rupanya ini fit and proper test. Setelah menilai, calonlah saya jadi hakim agung.
Kalau ditanya mau tidak? Saya akan jawab tidak. Kenapa? Karena dua kali, tiga kali PPP mengusulkan saya tidak pernah gol karena yang punya negara ini Golkar, akan saya bilang. Tapi karena tidak ditanya, hanya itu tulisan saja, saya kirim, Alhamdulillah. Haleluya. Tidak ditanya kok. Sekarang, krasak-krusuk, bayar lagi sekian katanya, untuk dapat jabatan. Saya tidak mau hal demikian.

MTI: Mengenai kondisi bangsa. Dalam era reformasi, kita menginginkan kehidupan yang lebih baik dan itulah tujuan dari reformasi itu sendiri. Setelah sewindu reformasi ini, bagaimana pendapat Anda?

BS: Tentang reformasi, bukan hal yang asing dalam Islam. Apa itu? Engkau harus berani mengadakan pembaruan pada saat orang tidak berani berbuat demikian. Itu reformasi.
Ketika kampanye banyak janji yang di ucapkan, tapi itu omong kosong. Sesudah dia terpilih, jadilah ia seorang kader politik sesuai dengan partainya. Terlibat di partai, saya setuju, tidak apa-apa. Saya ini juga PPP tetapi saya tidak pernah berjuang untuk PPP. Saya berjuang untuk rakyat.

Kalau sudah untuk rakyat, kalau sudah terpilih nanti, tanggalkanlah baju loyal kepada partai. Tapi karena sampai sekarang ini juga itulah yang kita lakukan. Apakah ini termasuk yang disebut munafik. Ia berkata, bukan aku berjuang untuk engkau ya Tuhan, aku berjuang untuk partaiku, untuk iniku. Rakyat ditinggalkan.
Jadi sebetulnya, karena kita belum kembali kepada tujuan bahwa apapun yang kita perbuat tiada lain karena Tuhan. Maka selama itu belum kembali, jangan harapkan berkat dan ridho Allah.

MTI: Awal ketertarikan Anda sendiri di bidang hukum?

BS: Orang tua berpesan, saya ingin engaku nanti menjadi hakim. Sekolah di bidang hukum. Jadi waktu saya menjadi mahasiswa, saya berdoa. Ada pesan orangtua saya dahulu, kalau sekarang saya mendaftar untuk masuk kalau benar kabulkanlah, jadikan saya menjadi seorang sarjana hukum. Dan ternyata dikabulkanNya, maka saya ingatlah doa saya, harapan orangtua saya.

Kalau umpamanya jaksa memang jaksa buat saya tidak cocok karena saya tidak bisa mengembangkan pemikiran-pemikiran saya, karena jaksa hanya satu dari atasan sampai ke bawah, harus mengikuti atasan, saya tidak mau. Tapi sebagai hakim saya jangan dicoba-coba atasan untuk menghalangi, saya tidak mau.

Dan itu pernah saya alami. Oleh Mahkamah Agung dikatakan bigini. Saya bilang, tolonglah, nanti kalau di kasasi putusan bapak, karena ini putusan saya tapi jangan sekarang saya diarahkan. Itulah yang tidak ada pada hakim-hakim sekarang ini. Mereka lebih senang mengikuti apa kata atasan, karena dengan demikian mereka bisa selamat untuk naik pangkat. Buat saya pangkat tidak ada artinya.

MTI: Boleh dibilang dari segi peran, ketulusan hati nurani, Anda seorang sesepuh juga di bangsa ini. Sebagai seorang sesepuh mungkin ada pesan untuk pemerintah?

BS: Pesan untuk pemerintah, kalau boleh saya berkata: SBY, engkau adalah imam yang kelak dihadapan Tuhan akan dituntut pertanggungjawaban. Bagaimana engkau melaksanakan mengenai keimaman ini. Sungguh ngeri saya melihat apa yang terjadi sekarang ini karena sudah hampir dua tahun kita melakukan mengenai Kabinet Indonesia Bersatu, kok belum ada yang jelas, selalu mengambang terus.
Kalau boleh saya sampaikan kepada mereka yang menjadi pejabat itu, contoh dalam Islam. Ada seorang khalifah namanya Umar Ibnu Abdul Azis. Waktu ia akan ditunjuk, ia berkata aku tidak ingin. Tapi karena kuat arus, apa katanya?

Siapalah nanti yang akan membebaskan daku dari rintihan mereka yang diperlakukan tidak adil. Siapakah nanti yang membebaskan daku dari tangisan mereka yang menderita kelaparan. Siapakah nanti yang membebaskan daku dari yang diperlakukan kezaliman, dari janda yang ditinggal tidak mendapat santunan, anak yatim, dan seterusnya. Siapa? Tidak siapa-siapa, kecuali aku sendiri.

Berdasarkan itulah dia menentukan sikap, sebagai khalifah, walaupun tentu kita tidak perlu mencontoh kayak demikian. Waktu dia diberikan kendaraan kerajaan berlapiskan emas, ketika hendak dinaikinya, dia tolak untuk kemudian juallah, kembalikan hasilnya ke baitul mall untuk dimanfaat oleh rakyat. Dia berjalan kaki seperti rakyat biasa.

Kemudian di istana dia tinggalkan istana, dia buat rumah seperti tempat tinggalnya istana yang berlantai tanah. Kemudian waktu ditanya kenapa? Takut saya nanti, kalau ditanya oleh Tuhan, kenapa kamu hidup bukan seperti rakyatmu yang paling miskin, takut saya.

Mengapa kita tidak mampu untuk bersikap seperti itu. Kenapa kita sekarang ini kalau sudah menjadi pejabat selalu berpikir mumpung, mumpung, dan mumpung. Kalau itu kita jadikan dan kemudian peringatan kepada mereka, tolonglah ingat siapa nanti yang membebaskan engkau dari ini, itu dan seterusnya, barangkali tertahan nafsu dia untuk mengejar kekayaan dan kekuasaan.

MTI: Lalu pesan Anda untuk lembaga legislatif, DPR dan DPD?

BS: Ada tulisan saya, masihkah aku percaya pada mereka? Kenapa saya tidak percaya pada mereka? Dulu waktu Pemilu berjanji akan berjuang untuk rakyat, tetapi setelah duduk di situ untuk kepentingan partainya. Sehingga sekarang pun malunya sudah tidak ada lagi. Menerima amplop 5 juta dari Mendagri, dan dikatakan itu bukan suap. Jadi sungguh banyak, apalagi sekarang ini menghadapi RUU APP dan seterusnya.

Sudah bicara ketua nya. Akan ditagih oleh rakyat. Dan itulah menurut hemat saya, kelirulah umat Islam yang memaksakan hal itu. Sampai-sampai ulama ikut memfasilitasi demo.
Seperti pada masalah Soeharto, majelis ulama seharusnya mengatakan, jangan sakitilah dia. Walaupun fisiknya sudah sakit, jangan lagi sakiti bathinnya, maafkanlah kesalahannya. Majelis Ulama harus berani mengatakan yang demikian. Tapi sampai sekarang, saya belum mendengar kata-kata seperti demikian.

Itulah dalam Islam. Celakanya satu umat ialah bila ulamanya sudah koalisi dengan umaro, celakalah. Mestinya ulama harus berdiri di depan, dia harus melihat apa tindakan dari umaro, salah ingatkan. Tapi sayang, ulama berkata, kalau kita ingatkan ndak didengar, bagaimana? Loh itu sudah lazim, jangan paksakan. Ini ulama ikut juga memaksakan. Sudah tidak benar itu.

MTI: Pesan Anda untuk praktisi hukum?

BS: Kepada para praktisi hukum, tolonglah jangan berpikir bahwa hukum itu bukan hanya soal hukum, tapi berpikirlah bahwa hukum itu adalah sebagai sarana untuk menegakkan keadilan.

Tangan itu aparat, tapi ubahlah dengan mulutmu itulah kewajibanmu. Kalau tidak, ubahlah dengan hatimu, hati dengan setengah iman. Kita sekarang ini dalam keadaan demikian, hanya iman saja, tidak berani ngomong. Kalau ngomong menimbulkan masalah yang menyakiti hati orang lain. Kalau aku disakiti, itu yang diucapkan oleh Pak Harto, aku difitnah, aku dihujat, ini-tiu, aku bahagia karena melalui itu mereka mengambil dosa saya, dan saya sudah ampuni. Dia bilang, sudah.

MTI: Sebagai sesepuh, apa obsesi Anda untuk negeri ini yang saat ini dirasakan belum sejahtera?

BS: Obsesinya itu ialah saya bertanya, ya Illahi, ya Robi, kenapa sampai 60 tahun kami ini belum menikmati kemerdekaan, kenapa? Dia menjawab, karena kalian tidak bersyukur kepada-Ku. Kita tidak bersyukur kok. Kalimat itu ada da-lam alinea ketiga, atas berkat dan rahmat Allah yang Maha Kuasa. Konsekuensi dari ini peringat-an kepada kita bersyukurlah. ►mti/crs-ad

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?