Lebaran Disambut Beduk, Takbir Keliling, Minus Pasudon Rega
Warga keturunan Jawa di Suriname merayakan Idul Fitri sama dengan tradisi pendahulunya. Ada takbir keliling, menabuh beduk, dan membunyikan petasan.
ARIES SNTOSA, Paramaribo
BERBEDA dengan keturunan para kuli kontrak di Kaledonia Baru, Kepulauan Pasifik, orang-orang Jawa di Suriname masih bisa mempertahankan jati diri sebagai orang Jawa. Bukan hanya bahasa, tapi juga khazanah adat-istiadat warisan leluhur tetap mereka jaga dengan baik.
Banyak generasi muda dalam komunitas Jawa di Kaledonia yang kini tidak mengerti bahasa Jawa (hanya berbahasa Prancis). Tapi, orang-orang Jawa di Suriname, selain bisa menggunakan bahasa Belanda, aktif menggunakan bahasa ibu (Jawa) di rumah atau dalam pergaulan antarmereka.
Kerukunan mereka terlihat nyata pada saat Lebaran yang dirayakan Senin, 23 Oktober 2006. Republik Suriname -mungkin satu-satunya negara di Benua Amerika- menyatakan Idul Fitri sebagai hari libur nasional.
Tapi, ada juga warga di Suriname yang sudah berlebaran kemarin (Minggu, 22 Oktober). Sabtu malam waktu Suriname, sudah ada warga yang menggemakan takbir. Warga yang berlebaran kemarin adalah di Desa Java Weg, sekitar 20 kilo meter arah selatan dari Paramaribo. Yang menarik, kebanyakan warga muslim di sana yang didominasi kelompok kilenan (kiblatnya tetap menghadap ke barat, seperti di Indonesia), selama ramadan tidak berpuasa. Bahkan, saat lebaran pun, mereka kebanyakan juga tidak malaksanakan salat Id.
Warga di desa itu, menurut Leles Muchlis Pawirodinomo, salah seorang anggota parlemen Suriname keturunan Jawa termasuk kelompok: ngakoni Islam, anging ora nglakoni ajarane (mengakui Islam, tapi tidak melaksanakan ajarannya).
Saat lebaran tiba, tak berbeda dengan di Indonesia, warga Suriname menjalankan salat id di lapangan pusat kota. Setelah itu dilanjutkan silaturahmi atau bersalam-salaman.
"Mangke, sak sampunipun salam-salaman, tiyang angsal pacitan, lajeng mulih ning omahe dewe-dewe (Nanti, setelah berjabat tangan, orang mendapat makanan kecil, lalu pulang ke rumah masing-masing, Red)," kata Leles.
Di rumah ibu-ibu sudah menyiapkan makanan Lebaran, seperti kupat-lontong opor, soto, dan aneka jajan pasar khas Jawa (jadah, wajik, gethuk, enting-enting, peyek, krupuk, dan sebagainya).
"Biasane keluarga kumpul. Terus mangan bareng-bareng. Bocah-bocah cilik diwenehi duit receh dienggo jajan. Cah-cah seneng banget (Biasanya seluruh keluarga kumpul. Terus makan bersama-sama. Anak-anak kecil diberi uang receh untuk jajan. Mereka senang sekali, Red)," kata Roosmi Tambeng, istri Kapten Does.
Bedanya dengan orang-orang Jawa di Suriname, menyambut hari fitri setelah sebulan berpuasa, mereka tidak punya kebiasaan harus memakai barang-barang serbabaru. Seperti disaksikan Jawa Pos, pada hari-hari menjelang Lebaran toko-toko di Suriname biasa-biasa saja. Tidak ada program potongan harga (pasudon rega, istilah orang Jawa Suriname) besar-besaran yang digelar di plaza-plaza atau mal seperti di Indonesia.
"Neng kene opo-opo larang. Dadi, gawe opo tuku klambi anyar nek klambi sing ono isih apik (Di sini apa-apa mahal. Jadi, untuk apa beli baju baru kalau baju yang ada masih baik)," papar Hadi Waluyo, warga Kampoeng Baroe.
Bisa dimaklumi jika muslim di Suriname tidak konsumtif pada saat Lebaran. Selain mereka tidak mengenal "tradisi" jor-joran baju baru, harga barang-barang di toko memang mahal. Misalnya, baju batik lengan panjang yang di Pasar Turi Surabaya dibanderol Rp 100 ribu di Suriname bisa sampai Rp 300 ribu.
Bagi kebanyakan warga Jawa, harga baju yang puluhan sampai ratusan dolar Suriname (SRD) amat memberatkan kehidupan ekonomi mereka. Karena itu, mereka memilih tidak membeli yang tidak primer pada Lebaran.
"Daripada untuk beli baju baru, mending untuk makan bisa berhari-hari," tutur Toemirah, warga Sidodadi. Pada malam Lebaran di Suriname juga masih ada arak-arakan keliling untuk takbiran. Mereka mengendarai sepeda motor dan mobil berputar-putar di sekitar kota sambil melantunkan asma Allah.
Begitu pula di masjid-masjid suara takbir dikumandangkan lewat mikrofon. Bahkan, semalaman sambil menabuh beduk. Mercon dan kembang api juga dinyalakan sebagai tanda datangnya Lebaran Fiter (istilah mereka untuk Idul Fitri). Keesokan paginya mereka berduyun-duyun ke lapangan atau masjid untuk menjalankan salat id. Lalu, bila di lapangan, salat menghadap ke mana yang dianut?
Seperti tahun-tahun sebelumnya, salat id dipusatkan di lapangan tengah kota Paramaribo. Salat ini dilaksanakan sesuai perintah Allah, yakni menghadap ke kiblat (ke arah timur).
Leles mengaku tidak tahu apakah masih ada pelaksanaan salat id yang menghadap ke barat seperti tradisi yang dibawa dari Indonesia dulu. "Lha monggo bade salat madep pundi. Menawi kulo madep kiblat (Silakan mau salat menghadap ke mana. Kalau saya menghadap ke kiblat (timur)," ujarnya.
Saat ini di seluruh Suriname terdapat lebih dari 120 masjid. Selain masjid orang keturunan Jawa yang bertebaran di pelosok-pelosok desa, ada masjid keturunan warga India (Hindustan), Arab, dan lainnya. Sebagian masjid orang Jawa itu sudah ada yang menghadap kiblat, seperti anggota Stiching der Islamitische-geemeenten in Suriname (SIS) yang berjumlah 50 masjid; Parsatuan Jamaah Islam Suriname (tiga masjid), dan Nurul Iman (tiga masjid).
Sebagian masjid lagi memang masih ada yang memegang teguh ajaran nenek moyang orang Jawa bahwa kiblat salat itu selalu ke barat. Di antaranya anggota Federatie Islamitische Gemeenten in Suriname (FIGS) yang berjumlah 46 masjid dan Assafiyah (15 masjid).
"Sing salat bokong-bokongan wis ora ono maneh. Soale, sing salat madep kiblat, ngalah. Saiki wis duwe masjid dewe-dewe. Ora opo-opo, sing penting kabeh balik ning atine dewe-dewe."
(Yang salat saling membelakangi sudah tidak ada lagi. Yang salat menghadap kiblat mengalah. Sekarang sudah punya masjid sendiri-sendiri. Tidak apa-apa yang penting sesuai hatinya masing-masing," kata Leles.
http://www.opensubscriber.com/message/zamanku@yahoogroups.com/5209495.html
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar