SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Mereka Ingin Memelihara Kebudayaan Perancis,Apa Daya Tak Ada yang Menolong

| | |
Banyak di antara orang Jawa, yang kemudian menjadi Indonesia di Kaledonia Baru tidak beruntung mengenyam pendidikan tinggi. Mereka yang pada 1953 kembali ke Indonesia dan menetap di Totokaton, Kecamatan Punggur, Lampung Tengah demikian juga. Membicarakan kehidupan, mereka tidak banyak membedakan, karena di Kaledonia Baru mereka dapat hidup, di Lampung pun dapat bertahan. Yang membedakan adalah mereka yang mempunyai pensiun dari Kawasan Perancis dan kini tinggal di daerah Lampung. Mereka dapat menikmati pensiun mereka. Sedang yang tidak berpensiun, harus tetap bekerja sampai tua.

Kesempatan Kecil Bersekolah

Pardjan tidak bersekolah. Baginya hidup masa lalu dan sekarang sama saja. Kalau orang tidak mempunyai pekerjaan, tidak memiliki uang tidak dapat makan. Dulu di Kaledonia Baru ia mempunyai rumah. Kini pun di Totokaton ia mempunyainya. "Tapi sekarang hidup saya lebih lumayan," katanya.

Hidup Dari Pensiunan Lebih Enak

Bagi Wirjo Soepadmo, yang kini menikmati pensiun dari Kaledonia Baru, hidup di Indonesia lebih senang, karena "Ini negeri sendiri, sedang di Kaledonia Baru itu tanah orang. Di sana serba mahal, di Indonesia lebih murah. Di sana kalau satu orang makan, di Indonesia dapat untuk tiga orang. Dia merasakan ada perbedaan mencolok dalam soal pendidikan. Di Kaledonia Baru anak-anak mendapat jaminan dari negara. "Di Indonesia, orang yang berpendidikan tinggi mungkin enak, tetapi orang tua harus kaya untuk membiayai anaknya bersekolah." Hidup di Lampung dengan pensiun sebesar CPF 80.000, sudah berlebihan, dapat membantu orang lain. Tetapi ia mengatakan, "Masih kurang, untuk beli rokok!"

Kemerdekaan Berarti Perlakuan Sama


Dalam menghadapi kemerdekaan pada 1945, Soedjono Wonoredjo merasa senang. Ia mendengar Indonesia merdeka dari radio Perancis. Akibatnya dirasakan perlakuan orang Perancis berbeda, karena ada persamaan. Ia pun merasa bebas. Baginya kehidupan di masa lalu di Kaledonia Baru dan sekarang di Lampung sama saja. Petani harus bekerja, menanam keperluan hidup.
Mendorong Anak Bersekolah
Mangunpawiro yang rumahnya digunakan untuk berkumpul karena wawancara ini, mempunyai dua orang anak. Salah seorang anaknya, sudah sarjana. Dalam soal pendidikan ia mengatakan, "Orang tua mendorong, tetapi anak juga mau."

Mangunpawiro: mendorong anak bersekolah tinggi.
Sebagai petani ia merasa cukup hidup dari penghasilannya. Demikian juga untuk menyekolahkan kedua anaknya.

Tanah Tempat Berpijak

Sebagai transmigran, Susani dan orangtuanya hanya memperoleh dua hektar tanah. Satu hektar untuk sawah, seperempat hektar untuk rumah dan tiga perempat hektar untuk perkebunan. Tetapi setelah suaminya yang sementara bekerja di Kaledonia Baru kembali ke Lampung, mereka dapat membeli satu hektar tanah lagi. Sesudah suaminya meninggal, tanah ini diolah sebagai sawah oleh anak-anaknya.
Perhatian Pemerintah Perancis

Dubes Adian Silalahi

Pemerintah Perancis mempunyai perhatian juga kepada mereka. Djarimin menuturkan ada salah seorang Perancis yang bekerja untuk badan dunia di Jenewa datang mengunjungi mereka di Lampung. Perancis, melalui Masyarakat Eropa memberikan bantuan berupa pembangunan bendungan. Disain oleh Belanda, pengerjaan oleh Jepang dan Indonesia.
Alliance Français di Lampung

Duta Besar RI untuk Perancis dan Andorra, Drs. Adian Silalahi, di Paris menuturkan bahwa Alliance Français akan didirikan juga di Lampung. Konsul Jenderal Perancis di Jakarta juga pernah mengunjungi Lampung dengan akibat bahwa Lampung menjadi perhatian Perancis.

Hangat-hangat Tahi Ayam

Sebenarnya mereka ingin sekali menggiatkan masyarakat Totokaton, tetapi baik Djarimin maupun Susani mengatakan, kemampuan mereka berkumpul untuk melakukan kegiatan seperti misalnya belajar bahasa Perancis, hanya satu minggu. Jadi... hangat-hangat tahi ayam
Mengimbau Kedubes Perancis di Indonesia


Mereka juga ingin tetap memelihara bahasa Perancis, tetapi sarananya tidak ada. Kalaupun sehari-hari mereka berbahasa Perancis sangat terbatas, karena masyarakat sekitar tidak berbahasa Perancis. Itulah sebabnya, mereka menghimbau bantuan Kedutaan Besar Perancis di Jakarta, agar mereka dibantu misalnya untuk dapat menangkap siaran TV5 Monde (Asie). Ini berarti perlu antena parabola dan perangkat televisi.

Yang Tersisa

Mereka yang pada 1953 dari Kaledonia Baru kembali ke Indonesia dan menetap di Totokaton berjumlah 140 Kepala Keluarga dengan 600 jiwa. Selebihnya ada yang menetap di Palembang. Ada pula di Jawa Tengah dan tempat lain. Mereka yang tersebar ingin sekali kontak dengan sesama dari Kaledonia Baru. Cotohnya, Jacques Ichlas yang tinggal di desa kecil di kawasan Pekalongan. Penghuni Totokaton asal Kaledonia Baru kini tinggal 10 jiwa dengan 39 anak keturunan mereka.

Tetap jadi Perhatian

Totokaton tetap menjadi perhatian para peneliti. Kemungkinan Besar Frederic Mitterrand dan Elizabeth Schoungui dari TV5 Monde yang melaporkan 24 Jam di Jakarta pada 6 dan 7 Juli lalu, akan meliput juga orang-orang Kaledonia Baru.(26/07/2002 - DX-Komunikasi 28 Juli 2002)

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?