Berbeda dengan orang-orang yang datang ke Kaledonia Baru pada usia dewasa, maka mereka yang dilahirkan di Kaledonia Baru, secara lamat-lamat masih dapat mengenang ketika mereka tinggal di kawasan Perancis di seberang laut itu.
Merdeka, Mendapat Perlakuan Sama
Djarimin misalnya, yang kini tinggal di Totokaton, Kecamatan Punggur, Lampung Tengah, Lampung, tidak dapat menuturkan masa kanak-kanaknya lebih banyak, kecuali bahwa ia kemudian mendapat pengertian mengenai kemerdekaan dari orang tuanya. Banyak di antara orang Jawa yang dikontrak untuk bekerja di Pulau itu semasa Indonesia masih dijajah Belanda. Yang terkesan padanya adalah bahwa ketika Indonesia merdeka, ia mendapat perlakuan sama dengan anak-anak kulit putih lainnya, mengingat bahwa ia satu-satunya yang berkulit sawo matang. Di rumah, sejak semula ia selalu bermain dengan cucu majikan ayahnya. Dan sang cucu itu pun terbiasa tinggal, bermain dan makan di keluarganya, seperti dia juga terbiasa bermain di keluarga majikan ayahnya.
Gagal di SGA, lalu Jadi Carik
Tetapi kemudian, setelah kembali ke Indonesia pada 1953, tidaklah semudah saat kepergian mereka, karena bagi orang tuanya harus menyesuaikan diri. Demikian juga dia harus turun kelas, karena kurikulum sekolah sangat berbeda. Bahasa yang digunakan juga berbeda. Di Indonesia bahasa pengantar Indonesia dan di Kaledonia Baru Perancis. Walaupun demikian ia maju terus, sampai akhirnya mogol di SGA. ia tidak terus, tetapi berhenti dan minggat ke Palembang. Tapi toh ia harus kembali lagi ke Totokaton, dan sampai kini menjadi carik.
Menyesal tak Melanjutkan Sekolah
Susani, beruntung, karena ketika diajak "pulang" oleh ayahnya ke Indonesia, ia menurut saja, walaupun ibunya tinggal bersama enam saudaranya yang lain di Kaledonia Baru. Ia bersekolah, tetapi sesudah tiga bulan terserang malaria, sehingga berhenti sekolah untuk selamanya. Ia menyesali mengapa tidak meneruskan sekolah. Ia sendiri lalu menikah dan mempunyai 9 orang anak. Bahkan kini dikaruniai 12 orang cucu.
Bertransmigrasi
Mengapa sampai di Totokaton, karena ayahnya memilih untuk tidak tinggal bersama saudara. Walaupun tidak memenuhi syarat sebagai orang transmigran, berkat anaknya yang sudah besar-besar dan Susani dapat menjadi pengganti ibu bagi adik-adiknya untuk memasak, akhirnya keluarga Supardi ini dapat hidup dan tinggal di Totokaton bersama orang Jawa lainnya yang datang dari Kaledonia Baru.
Pindah-Pindah Kerja, Lalu Menikah
Pardjan, berasal dari Yogya, ke Kaledonia Baru pada 1930. Kala itu ia sudah dewasa dan siap melakukan pekerjaan apa saja di tempat asing. Dengan kapal dan bersama orang lain, ia menuju ke Kaledonia Baru, bekerja di rumah, lalu di ladang. Mendapat majikan dokter gigi, ia dapat tinggal di keluarga itu, karena masih lajangan. Gajinya tidak banyak hanya 75 franc, gaji rata-rata para pendatang tiap bulan. Sesudah lima tahun, ia boleh keluar dan bekerja di pabrik es, lalu pindah ke pemotongan hewan. Pada 1945 ia menikah dengan seorang perempuan asal Jogya.
Pensiun dengan Tenang
Wirjo Soepadmo kelahiran Banjarnegara pada usianya yang ke-90 harus sendirian, karena isterinya meninggal. Tetapi dengan uang pensiun yang diperolehnya dari hasil kerja selama itu di Kaledonia Baru, ia cukup, walaupun kadang-kadang merasa kurang.
Generasi Pertama Kaledonia Baru
Soedjono Wonoredjo kelahiran Kaledonia Baru pada 1927. Ia salah seorang dari generasi pertama kelahiran Kaledonia Baru.
Bersekolah hanya sampai SD saja, karena tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah. Lagi pula pada waktu itu di Kaledonia Baru ada aturan orang Jawa tidak boleh melanjutkan sekolah. Karena itu ia harus membantu orang tuanya menanam kopi dan sayuran pada tanah seluas 9,5 hektar hasil jerih payah orang tuanya selama itu. Pada 1952 ia bersama ayahnya kembali ke Indonesia dan memutuskan untuk ikut bertransmigrasi di Totokaton. Ayahnya berasal dari Pati, sedang ibunya dari Purworejo. Dari dulu hingga sekarang, Sudjono Wonorejo yang tidak menikah, selalu hidup sederhana.
Pengalaman yang kurang menyenangkan adalah hidup mereka sekeluarga dicekam ijon, karena harus membeli bahan pangan untuk keperluan hidup sehari-hari. Untungnya bahwa harga sama, baik ketika mengutang maupun ketika panen tiba dan harus membayar.(17/06/2002 - DX-Komunikasi 23 Juni 2002)
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar