SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Nenek Lumpuh Cicit Diponegoro Itu Tergusur

| | |
Sukartinah: "Akan saya perjuangkan rumah peninggalan ini, meski dengan keterbatasan saya."

Tinggal kekuatan hati yang dipersiapkan Sukartinah Ahruzar, 69 tahun, untuk menghadapi ancaman pengusiran dari rumahnya sendiri di Jalan Blitar Nomor 3, di belakang Taman Menteng, Jakarta Pusat.

Sukartinah bukan sembarang nenek. Menurut pengakuannya, dia adalah cicit Pangeran Diponegoro. Garis darah dengan pahlawan nasional yang dikagumi itu, kata Sukartinah, bersumber dari garis ayahnya, Raden Soekardjono Rekso Soeprodjo, dan kakeknya, Raden Dipodilogo.

Adalah Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) yang mengklaim rumah yang ditempati Sukartinah sebagai milik mereka. Sengketa berawal pada tahun 1987 dan PPI pun melayangkan gugatan atas rumah dan tanah yang telah ditempati Sukartinah sejak berpuluh-puluh tahun itu.

Surat tanah yang dimiliki Sukartinah dianggap tidak sah. PPI beralasan surat keterangan pembelian rumah di tahun 1952 atas nama ayah Sukartinah, Rd. Soekardjono, tidak sah karena perusahaan Belanda "NV Lettergieterij Amsterdam" tidak lagi berhak menerbitkan surat setelah perusahaan tersebut dinasionalisasi.

Sengketa pun berlanjut ke pengadilan hingga Mahkamah Agung. Hasilnya, majelis hakim MA mengabulkan permohonan kasasi PT PPI per tanggal 14 September 2009.

"Rumah saya sudah dalam proses lelang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," kata Sukartinah, pasrah. Harga buka sudah ditetapkan senilai Rp8,5 miliar.

Sukartinah berkisah, kepemilikan rumah seluas 860 meter persegi ini bermula saat ayahnya bekerja di perusahaan Belanda itu. Karena sudah lama bekerja, Rd. Soekardjono diberi kesempatan untuk membelinya, dengan cara mencicil Rp10 ribu sebulan, antara 1952-1957.

"Rumah ini dibeli bapak saya dari perusahaan Belanda, Lettergieterij Amsterdam, tempat bapak saya bekerja. Ada surat tanah dan tanda terimanya," ujar Sukartinah.

Pada tahun 1957 perusahaan Belanda tersebut dinasionalisasi dan lalu berganti nama menjadi Perusahaan Perdagangan Indonesia.

Kursi roda

Sukartinah kini tinggal seorang diri di rumah seluas 860 meter persegi itu. Anak putri semata wayangnya, Syahnara Mahruza, 38 tahun, memilih tinggal dan bekerja di Hong Kong. Suaminya, Mahruzar telah meninggal sejak beberapa tahun lalu. Empat saudara kandung Sukartinah juga memilih tinggal di luar Jakarta.

Walaupun lumpuh sejak dua tahun lalu, Sukartinah tidak mau menggantungkan hidup pada orang lain. Meski hidup di atas kursi roda, dia tetap berusaha hidup mandiri. Semua dia lakukan sendiri, seperti ke pasar atau mengambil uang ke bank. "Sudah terbiasa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Belanja pakai kursi roda," ujar Sukartinah, saat ditemui VIVAnews.com di rumahnya, Jumat 12 November 2010.

Demi menyambung hidup, ia menyewakan halaman rumahnya untuk penitipan gerobak pedagang keliling. Hasilnya ia gunakan untuk membayar listrik dan kebutuhan hidup lain. Sang suami tak meninggalkan uang pensiun. "Gini-gini, saya anak Menteng," ujarnya sambil tertawa.

Sukartinah telah tinggal selama 64 tahun lalu di rumah itu, sejak dia berusia lima tahun. Menurut dia, rumah itu sudah dilunasi ayahnya. Tanda bukti pembelian dan surat tanah semua lengkap ia simpan. Pelunasan pun dilakukan sebelum perusahaan Belanda itu dinasionalisasi. Sebagai pemilik rumah, dia selalu runtin membayar pajak bumi dan bangunan. Makanya, dia heran kenapa tiba-tiba rumah warisan orangtuanya ini tiba-tiba diakui pihak lain.

"Akan saya perjuangkan rumah peninggalan ini, meski dengan keterbatasan saya," ujar Sukartinah, dengan nada tegas.

PPI hingga kini belum dapat dimintai penjelasannya. Saat dihubungi wartawan VIVAnews.com, Cindy staf legal PPI hanya menyatakan, "Tidak ada yang bisa kasih pejelasan. Pimpinan kami sedang keluar kota. Kembali hari Senin."

Sementara itu, Suryati Ananda (60) yang pernah mendampingi Sukartinah selama enam tahun untuk mengurus perkara ini juga mengaku kaget dengan upaya lelang eksekusi yang akan dilakukan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurutnya, lelang itu tidak berdasar. Pada persidangan perdata di pengadilan yang sama, Sukartinah dinyatakan menang. Tapi di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung kliennya dikalahkan. "Bagaimana bisa, tiba-tiba kami kalah PT dan MA," ujarnya.

Suryati telah meminta kepada pengadilan untuk menunda eksekusi selama satu bulan. Entahlah hasilnya.

Sementara Pangeran Diponegoro telah dengan gagah-berani mengusir penjajah dari negeri ini, cicitnya kini harus terusir dari tanah yang telah puluhan tahun dia tempati. (kd)
• VIVAnews

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?