SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Tiga Pekan Melawat ke Belanda, Sarmadji Bebas Keliling Dunia Kecuali Indonesia

| | |
Pergantian kekuasaan di Jakarta pasca Peristiwa 1965 meminta tumbal dari orang kebanyakan. Bahkan, anak-anak muda Indonesia yang sedang menuntut ilmu di mancanegara ikut jadi korban, seperti Sarmadji, kini 78 tahun.

Sarmadji tinggal di apartemen pinggir kali di Amsterdam. Lingkungannya bersih, tapi kamarnya kecil sekali. Sudah begitu, ruangnya penuh buku. Sekitar 3.000 judul buku berjejal di ruang tamu dan kamar tidur. Hanya dapur kecilnya yang bebas dari buku. Mayoritas buku itu terkait Indonesia.

Koleksinya yang paling berharga adalah dokumen terkait peristiwa 30 September dan buku-buku karya tokoh-tokoh kiri zaman itu. Misalnya, buku-buku karangan Ketua Umum CC PKI Dipanala Nusantara Aidit dan lainnya yang susah dicari di Indonesia.

Saya dan Kistyarini, juga dari Harian Surya, mengunjungi apartemen Sarmadji malam hari bersama belasan teman usai kursus online journalism di RNTC Hilversum atas sponsor STUNNED.

Sarmadji meladeni wawancara di ruang tamu. Sementara tiga sahabat mudanya mempersiapkan makan malam. Ketiganya adalah Judi Tahsin, putra Duta Besar RI untuk Mali di Afrika zaman Bung Karno, Soeraedi Tahsin Sandjadirdja (1922-2003), kemudian Tri Astraatmaja, putra tokoh pers Atmakusumah Astraatmaja. Satu lagi adalah Gogol Rusyanadi, profesional dari Blitar yang menetap di Amsterdam.

Sarmadji orang biasa saja sebelum 1965 itu. Ia pegawai negeri sipil di Solo yang kemudian ditarik ke Biro Pemuda Departemen Dasar dan Kebudayaan, Jl Menteng Raya 31 Jakarta, sekarang Gedung Juang di Cikini.

Sebagai pemuda yang saat itu berusia 32 tahun pada 1964, Sarmadji senang sekali mendapat tawaran beasiswa ke Sekolah Pendidikan Anak-anak di Peking, Tiongkok. “Lha saya seneng, to? Wong ndak bayar. Kendaraan gratis, apa-apa gratis dan dapat uang saku,” ia mengenang dengan cenderung ceria.

Ia tahu, Presiden Soekarno ketika itu ingin pemuda-pemuda Indonesia menuntut ilmu ke negeri-negeri sosialis semisal Tiongkok dan Uni Soviet. Peluang beasiswa dibuka lebar di Uni Soviet setelah Perdana Menteri Nikita Sergeyevich Khrushchev ke Jakarta tahun 1961. “Makanya, paling banyak mahasiswa kita di Soviet, kemudian Chekoslowakia. Kalau di Tiongkok total hanya 40-an,” katanya.

Pada pertengahan 1964, Duta Besar RI untuk Tiongkok dijabat oleh Djawoto, kelahiran Tuban, 10 Agustus 1906 yang semula Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara.

Pada September 1965, sekitar 500 delegasi berbagai organisasi dan partai politik di Indonesia berangkat untuk menghadiri peringatan Hari Nasional Tiongkok 1 Oktober. Pejabat tingginya, antara lain, Ali Sastroamijoyo dari PNI dan Ketua MPRS Chaerul Saleh dan beberapa menteri.

Usai meletus Gerakan 30 September, para pejabat itu mengumpulkan wakil-wakil delegasi itu untuk berikrar. “Pernyataannya sederhana saja, setia kepada Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Itulah yang kami pegang,” kenang Sarmadji yang mengubah namanya jadi Warjo, kependekan dari waras dan bejo.

Djawoto dikenal loyalis Soekarno. Itu sebabnya, dia mundur dari jabatan duta besar pada 16 April 1966. Kedutaan kosong, digantikan kuasa usaha sementara, dan atase militernya Kolonel Slamet.
“Kami dipanggil. Mau pulang atau mau apa? Milih Soeharto atau Soekarno gitu aja. Gampang, kan? Saya kan tidak bisa setengah-setengah. Berangkat Soekarno, pulang Soeharto. Saya ya pilih Soekarno. Kan ndak bisa saya bilang Soekarto,” cerita Sarmadji sambil tersenyum.

Konsekuensinya, paspor Sarmadji dicabut. Itu berarti dia tidak bisa pulang ke Indonesia. Sebagian temannya ada yang nekat pulang, tapi ditangkap juga oleh tentara Orde Baru.

“Tuduhannya yang paling gampang, ya komunis. Padahal, tuduhan itu tidak semuanya belajar. Jujur saja ya, orang tidak punya uang diberi beasiswa kan seneng, saya termasuk itu,” ujarnya.
Setelah geger 1965, gedung Kedutaan Besar Tiongkok di Jl Gajah Mada, Jakarta diserbu. Hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok putus. Tapi Tiongkok tetap tidak mencabut beasiswa buat mahasiswa Indonesia. “Tapi masalahnya, kami tidak boleh kerja di Tiongkok,” ujarnya.

Sarmadji bertahan di Tiongkok sampai tahun 1976, lalu masuk ke Jerman Barat. Dari sana, ia mencari suaka politik ke Belanda. Prosesnya tak mulus. Ia akhirnya diterima tapi dengan anggapan bahwa dia lahir di Solo tahun 1931. “Jadi, saya bukan dianggap sebagai warga Indonesia tapi Hindia Belanda,” ujarnya. Apa boleh buat, Sarmadji mau terima.

Ia bebas bepergian ke negara mana saja, kecuali Indonesia. Ini menyakitkan juga bagi Sarmadji. Selama di Belanda, lelaki yang masih kuat ingatannya itu bekerja di sebuah pabrik. Sempat juga jadi karyawan toko buku. “Bagaimanapun, saya harus mengubah kesedihan ini,” ujarnya.

Sebagai kaum terdidik yang tetap cinta tanah air, Sarmadji pun mengumpulkan buku-buku tentang Indonesia. Kini, semua buku koleksinya menjadi milik Yayasan Perhimpunan Dokumentasi Indonesia. Ia ingin koleksinya bermanfaat buat generasi sekarang dan akan datang. Sarmadji pernah ke Indonesia tapi setelah zaman serba bebas. Ia tak berani pulang semasa Soeharto berkuasa.

Bagaimana dengan keluarga? “Saya nggak punya istri. Maunya itu dulu sekolah pinter jadi sarjana, doktorandus atau apa kek, mulih duwe bojo (pulang dapat istri),” katanya.

Yuli Akhmada
Belanda

sumber surya online

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Buat Oom Sarmadji, sehat selalu ya Oom....
Beliau permah nginep di rmh sy selama 1 minggu waktu pulang ke Indonesia

Unknown mengatakan...

Buat Oom Sarmadji, sehat selalu ya Oom....
Beliau permah nginep di rmh sy selama 1 minggu waktu pulang ke Indonesia

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?