SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Kebiadaban Rezim Soeharto, di Sumatra Barat.

| | |
Oleh: Yoseph Tugio Taher

Jenderal Bintang Lima Soeharto. Mantan Presiden Republik Indonesia, sudah meninggal!
Jenderal yang “kuat dan perkasa” yang selama kekuasaannya bisa memutihkan yang hitam dan menghitamkan yang putih, “yang mampu menyihir banyak orang pintar menjadi bebek-bebek, meneluh wakil-wakil rakyat menjadi gagu, dan membuat pers tiarap sekian lama”, kata H.A. Mustofa Bisri, pengasuh pesantren Rodlatut Thalibin, Rembang, akhirnya mati setelah 23 hari tersiksa dengan segala macam penyakitnya.

“Urang gaek” (orang tua) itu pergi untuk selama-lamanya, kendatipun 40 orang dokter ahli berusaha mati-matian untuk mengobatinya, mengulur waktu kematiannya, namun akhirnya hukum Tuhan juga yang harus berlaku” “Dari tanah kau dijadikan, dan ke tanah kau kembali!” Dia tidak lebih dari segumpal tulang dan daging yang terbungkus kulit, yang dikubur dan bersenyawa dengan tanah. Tak seorangpun yang dapat mengingkari hukum yang tak terelakkan oleh manusia itu, bagaimanapun kaya, kuasa dan perkasanya!
Keadaannya sama dengan manusia-manusia lain yang mati, tidak peduli, apakah dikubur dalam kuburan yang berharga jutaan dollar, ataukah yang dikubur tanpa batu nisan. Semua sama, dari tanah kembali ke tanah!

Semenjak sakitnya, sampai meninggalnya bahkan sesudah itupun, pers dan mass media memberikan segala macam ulasan yang super istimewa keterlaluan dan berkelebihan, memuji dan memuja setinggi langit menempatkan seolah-olah Soeharto seperti seorang dewa, seorang firaun yang “berjasa”, bahkan tidak kurang golongan karut yang memperbodoh bangsa Indonesia dengan menggambarkan seolah-olah alam turut sedih, turut menangis dengan meninggalnya Soeharto, menghubungkan manusia Soeharto dengan tanda-tanda alam!

Para kroni-kroni Soeharto-sudah barang tentu- merasa sedih, merasa kehilangan dengan kematian Soeharto. Mereka mengingat segala “jasa dan kebaikan” Soeharto, yang membuat mereka bisa mencapai kedudukan tinggi, pangkat dan jabatan, kesenangan dan tidak ketinggalan: kekayaan! Mereka merasa sedih, karena orang yang memberi segala-galanya kepada mereka, telah pergi untuk selama-lamanya. Bagaimanapun mereka tidak akan melupakan Soeharto, sampai tiba saatnya mereka juga pergi ketempat akhir seperti godfathernya: yaitu mati! Memang, Soeharto tidak bisa dilupakan! Bukan saja oleh kroni-kroninya, namun terlebih lagi oleh jutaan rakyat yang menjadi korban kebiadaban, kebrutalan, kekejaman di luar perikemanusiaan Soeharto dan antek-anteknya!

Dalam saat-saat pemberitaan dan perlakuan super istimewa terhadap Soeharto oleh kroni-kroninya, yang kuikuti melalui Online, aku juga menerima beberapa buah email dari saudara dan sahabatku di rantau. Satu diantara sekian banyak email yang sangat menyentuh hati dan perasanku, datang dari seorang temanku, seorang “anak Salido diparantauan”, yaitu saudara A.Tjaniago.

Membaca emailnya itu, hatiku menjadi trenyuh, sedih dan mataku berkaca-kaca. Tenggorokanku merasa sakit menahan tangis yang bakal mendobrak keluar, karena apa yang diceritakannya itu sangat berlawanan sekali dengan segala “kebesaran” dan “kemegahan” yang dipertontonkan oleh pemerintah, ditambah dengan segala puja dan puji serta sanjungan setinggi langit oleh pers dan media, seputar kematian Soeharto, yang hanya memberikan gambaran dan merupakan cermin yang gamblang sekali mengenai masih kuatnya pengaruh buruk Orde Baru, baik di pemerintahan, militer, maupun pers dan media.

Dengan terperinci sahabatku itu, menceritakan, apa yang terjadi dikota kecil Salido, di pantai Pesisir Selatan Kerinci di Sumatra Barat, pada tahun-tahun ketika Soeharto memulai gerakannya untuk melumpuhkan dan menggulingkan Bung Karno Presiden Republik Indonesia. Suatu kisah dari kejadian yang sesungguhnya, tentang kekejaman, kebrutalan dan kebiadaban rezim Soeharto, yang oleh kroni-kroni Soeharto, dicoba untuk dihapus, dilupakan, dan dihilangkan dari sejarah bangsa!

“Kota Salido - Painan, dua kota kecil dari Kabupaten Pesisir Selatan, di Sumatra-Barat, yang mungkin sukar ditemukan di dalam peta. Ketika Rakyat Indonesia dikejutkan oleh Peristiwa 30 September`65 yang terjadi di Jakarta, tidak ada bentrokan, tidak ada pergaduhan dalam masyarakat Salido dan Painan, tidak ada apa yang dinamakan konflik horizontal. Semua hidup tenang rukun dan damai dan pemerintahan Kabupaten Pesisir Selatan juga berjalan dengan baik dan normal. Penduduk yang tertanya-tanya ingin tahu, menunggu berita Radio dari Pusat-demikian kebiasaan penduduk untuk menamakan Jakarta. Penduduk menunggu Pidato Presiden Soekarno, menunggu kabar berita tentang apa sesungguhnya yang terjadi. Banyak rakyat, para ninik mamak dan orangtua duduk bersama di warung-warung kopi, bersenda, berkelakar, dengan rasa gembira dan persaudaraan tanpa ada rasa curiga antara satu dengan yang lain. Radio-radio di warung kopi mendendangkan lagu-lagu Minang Populer yang menjadi kesukaan
penduduk, yang menggambarkan kerukunan dan keharmonisan penduduk Minangkabau, yang sepotong antaranya berbunyi:

Panduduaknyo nan elok, Nan suko bagotong royong , Kok sakik samo-samo diraso

Memang sesungunyalah, keadaan Ranah Minang, persis seperti apa yang dilagukan itu! Rakyat Minangkabau merupakan penduduk yang elok, yang suka bergotong royong. Jika sakit sama-sama dirasa dan ditanggungkan. Begitu adat dan kebudayaan Minangkabau turun temurun, dari generasi ke generasi, “indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan” (tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan).

Namun, keadaan itu menjadi berobah, menjadi bertolak belakang dan berlawanan!
Langit yang semula cerah dan indah, kini berobah menjadi gelap, diiringi awan hitam tebal serta badai dan petir yang mengharu birukan “kampuang jo nagari” di Ranah Minang. Adat dan kebudayaan yang semula menjadi pegangan utama, menjadi terabaikan, ditolak kebelakang, dan digantikan dengan politik dan kekuasaan, yang dibarengi dengan kekejaman, kebrutalan dan kebiadaban yang merajalela..

Dalam menanti dan menunggu berita dari Pusat, menunggu pidato dari Presiden mereka Bung Karno, rakyat yang dalam ketidak tahuan, tiba-tiba saja dikejutkan oleh kehadiran Komandan Kodim Painan, Letkol. Purnomo Sipur, yang menteror masyarakat di kota Painan dan sekitarnya. Pasukan Kodim itu dengan kejam dan brutal melakukan penangkapan atas beratus ratus pemuka masyarakat, rakyat dan ninik mamak di Pesisir Selatan Kerinci. Beliau-beliau yang ditangkap itu, digiring seperti menggiring hewan ternak, dimasukkan ke dalam penjara-penjara dan digunduli. Sebagian di suntik oleh dokter, yang adalah seorang Wamilda (Wajib Militer Darurat) dan dimuat kesebuah dump truk yang biasa digunakan buat mengangkut sampah, tanah atau pecahan batu, dan dibawa ke Bukit Pulai, sekitar 10 KM di luarkota Painan. Di sana, para pemuka rakyat yang dijubelkan dalam dump truk itu, dituangkan dari dump truk seperti menuangkan sampah. Dan manusia-manusia yang berjatuhan di belakang truk yang bak bagian
depannya dinaikkan itu, atas perintah dan komando Letkol. Purnomo Sipur, diberondong dengan tembakan senjata api. Jerit, pekik dan lolong manusia-manusia tak berdosa, menyebut nama Allah, menggema di Bukit Pulai pada tanggal 9 Nopember 1965 itu. Tubuh-tubuh korban yang secara paksa dihabisi nyawanya itu, bergelimpangan bermandi darah, diiringi dengan sorak-sorai dan tawa ria serdadu-serdadu brutal dan biadab pengikut Jenderal Soeharto, dibawah komando Letkol. Purnomo Sipur.

Mataku berair, tenggorokanku terasa kering dan sakit menahan tangis yang ingin membeludak. Teringat daku akan kejadian beberapa tahun yang lalu, tahun 1958, dikala pemberontakan PRRI yang ingin melepaskan daerah Sumbar dari NKRI dengan bantuan Imperialis AS, ribuan para tahanan dibunuh, diberondong dengan senapan mesin dan mayat-mayat yang bergelimpangan ditolak dengan bulldozer kelobang yang telah dipersiapkan, dibakar dan ditimbun, seperti yang terjadi di Situjuh, Simun, Atar dan Gunung Sago dan tempat-tempat lain di Sumbar.

Setelah peristiwa itu, Ranah Minang, yang baru saja beberapa tahun sembuh dari peristiwa PRRI, terutama Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci, sekali lagi berobah warna! Penduduknya tidak lagi elok, tiada lagi persamaan dan persaudaraan..Tidak ada gotong royong dan sakit sama dirasa. Semua punah! Yang ada hanya rasa curiga mencurigai. Pihak-pihak yang seperti “anak harimau” yang dibesarkan oleh militer rezim Soeharto, menjelajah “kampuang jo nagari” mencari orang-orang yang dituduh “ada indikasi”, terlibat langsung maupun tidak langsung dengan G30S yang terjadi jauh nun di Jakarta! Rezim fasis Jenderal Soeharto membangun semangat permusuahan diantara sesama penduduk suku Minangkabau.

Antek antek Jenderal Soeharto, ABRI/Golkar dan segala bentuk Komando Aksi yang menjadi kekuatan dan sokoguru Orde Baru, memburu dan menghabisi orang-orang yang dituduh PKI atau yang di PKI-kan. Sakit hati dan dendam pribadi dengan mudah mengarah kepada pembunuhan! Manusia-manusia rezim Jenderal Soeharto telah berobah menjadi serigala-serigala yang haus darah. Mereka tidak peduli dengan hukum agama, adat dan kemanusiaan. Bagi mereka, ikut apa yang di fatwakan, bahwa darah komunis adalah halal hukumnya. Mereka mengingkari kemanusiaan orang komunis. Mereka mengingkari hukum, bahwa orang komunis itu adalah juga manusia yang juga diciptakan oleh Tuhan! Rezim Jenderal Soeharto, melakukan cara-cara biadab dan brutal dan kebinatangan dalam melenyapkan lawan-lawannya yang tak berdosa dan tak tahu apa-apa. Ninik mamak dan ulama-ulama yang dianggap condong dan toleran kepada komunis, dihabisi!

Syamsudin, seorang bekas anggota Mobrig, ditangkap oleh militer rezim Soeharto. Tangan dan kakinya diikat pada dua buah pedati yang kemudian ditarik oleh dua ekor kerbau dengan arah yang berlawanan. Tubuh Syamsudin hancur berkecai. Potongan tubuh bertebaran dengan darah yang berserakan membasah bumi Minangkabau! “Pesta” ABRI yang brutal dan biadab ini mereka lakukan di depan anak dan istri Syamsudin, yang dipaksa untuk menyaksikan “kebudayaan ABRI/Orde Baru Jenderal Soeharto”!

Nurhayani, seorang gadis remaja yang baru saja tamat SMP, ditangkap, karena dia menghalang-halangi Letkol. Purnomo Sipur yang akan menangkap ayah si gadis. Perwira ABRI/ Jenderal Soeharto yang gagah perkasa ini, memasukkan Nurhayani kedalam karung dan mengikatnya, dan melemparkannya ke Batang (Sungai) Nilam di Air Hadji. Para militer yang hebat dan perkasa itu, tertawa terbahak-bahak, sambil minum air kelapa muda, melihat karung yang berisi tubuh Nurhayani menggelepar-gelapar dibawa arus air. Setelah pahlawan-pahlawan rezim Soeharto itu berlalu, keluarga dan sanak saudara Nurhayani, dengan raung dan tangis, mengambil mayatnya dari Sungai Nilam dan mengebumikannya sesuai dengan adat istiadat Minangkabau.

Air mataku tak dapat bertahan lagi, tenggorokan menjadi sakit dan aku tersedu, mengingat akan perilaku manusia-manusia biadab yang berbaju ABRI yang bergembira bersorak sorai menyiksa dan melenyapkan nyawa seorang umat Tuhan, seorang gadis remaja yang tidak tahu apa-apa, tiada berdaya dan tiada berdosa, Nurhayani!

Kekejaman, kebrutalan, kebiadaban dan kebinatangan rezim Orde Baru/Soeharto menjadi-jadi! Selama puluhan tahun, selama kekuasaan zalim dan brutal Jenderal Soeharto, rakyat Minangkabau hidup dalam terror! Di setiap pelosok, di setiap sudut kampung dan negeri, berkeliaran kaki tangan dan antek-antek Orba/Soeharto, yang sewaktu-waktu, dengan melancarkan tuduhan “diduga ada indikasi” bisa menghancur luluhkan kehidupan seseorang, yang dengan fitnah dan tuduhan tanpa perlu dibuktikan bisa ditangkap dan ditahan tanpa proses dan bahkan sampai mati atau sengaja dibunuh di dalam tahanan!

Tidak ada lagi rasa persaudaraan diantara suku Minang, tidak ada lagi “sakik samo diraso” tidak ada lagi adat “suka bergotong royong” karena ordebaru telah membagi manusia kedalam klas dan kasta, golongan yang “bersih” dan “tak bersih dan dicurigai”! Ordebaru telah merusak tatanan hidup bangsa Indonesia umumnya dan suku Minangkabau khususnya. Mamak mencurigai kemenakan, dan kemenakan mencurigai mamak. Hidup rakyat menjadi porak poranda karena saling curiga mencurigai disebabkan kebusukan dan kebiadaban Orde Baru Jenderal Soeharto yang menjalankan fitnah dan adu domba. Bermacam hukum dan peraturan Orde Baru dijalankan. Anak kemenakan takut mengakui ayah atau mamaknya, yang diduga “ada indikasi” apalagi yang jelas-jemelas menjadi tapolnya Orba. Bahkan anak atau kemenakan yang mempunyai kedudukan tinggi, takut dan tidak mau mengakui ayah atau mamaknya yang dikategorikan oleh Orde Baru sebagai “tidak bersih”, karena takut akan kehilangan jabatan, kedudukan atau suami atau
istri, disebabkan peraturan Mendagri Orba Letjen Amir Mahmud No. 32/1981 yang sangat diskriminatif yang masih diberlakukan dan tidak pernah dicabut sampai hari ini. Dengan praktek dan peraturannya, Orde Baru telah menciptakan ribuan “Malin Kundang” di Ranah Minang! Orde Baru telah merusak tatanan hidup, berbangsa, bersuku dan bernegeri! Puluhan tahun rakyat dibungkam, diintimidasi, diteror, diancam untuk dipenjarakan, dan senantiasa hidup dalam ketakutan.

Penduduk melihat perlakuan ABRI-Jendral Suharto yang biadab tsb. tidak berbeda seperti kekejaman tentara pedudukan kolonial Belanda dan fasisme Jepang. Penduduk menggerutu, dan bergumam bahwa "tentara Orde Baru dari Jawa datang kekampung kita hanya untuk membunuh keluarga, sanak dan saudara kita" Bahkan, para penduduk dibatasi untuk berbicara menggunakan bahasa Minang, bahasa Bundo Kanduang, karena dikuatirkan akan memberi info yang tidak bisa diketahui dan dimengerti oleh militer Orde Baru. Betapa hal ini sangat membahayakan bagi keutuhan NKRI.

Disamping ada ‘rakyat’ yang hanya membebek dengan segala perlakuan biadab dan tidak berperikemanusiaan rezim Orde Baru Soeharto, masih banyak rakyat Minangkabau yang benar-benar mencintai perdamaian, mencintai kebenaran dan kemanusiaan serta berketuhanan, dan tidak tinggal diam. Mereka faham dan tahu benar akan kebiadaban , kebrutalan dan kebinatangan rezim Orde baru Jenderal Soeharto, yang telah merusak binasakan Ranah Minang. Dengan kesadaran, mereka mengumpulkan bukti-bukti dan data kezaliman Orde Baru Jenderal Soeharto. Kendatipun masih berada dalam situasi intimidasi yang kuat dari golongan yang berkuasa, dari masyarakat, sanak saudara dan ninik mamak yang menjadi korban kebiadaban Jenderal Soeharto di Ranah Minang, mereka bisa memperoleh dan mengumpulkan sebagian data, daftar dan nama-nama para pemuka masyarakat di Salido-Painan, yang menjadi korban Orde Baru/Soeharto, yang jumlah keseluruhannya tidak kurang dari 300 orang


Untuk memberi bukti atas kekejaman, kebrutalan dan kebiadaban rezim fasis Ordebaru/Soeharto di daerah Pesisir Selatan Kerinci, dan untuk mengenang pada korban kebiadaban rezim Soeharto, inilah sebagian dari nama-nama para korban:

1.Ilyas Radjo Bungsu - Perintis Kemerdekaan R.I., Veteran Pejuang R.I. (ikutserta aktip mendirikan TNI dari BKR, TKR,
TP, dll. dalam proses perjuangan kemerdekaan R.I., dan pengisi kemerdekaan R.I.;
2.Muhammad Yunus - Veteran Pejuang R.I dan Pegawai Departemen Penerangan;
3.Hanif Yunus - Pelajar SMEA; - aktivis Pemuda dibidang Sastra dan Kesenian Rakyat;
4.Alimuddin - Guru Sekolah Rakyat
5.Rabaini - Veteran Pejuang R.I. dan Tua Kampung;
6.Rajab - Veteran Pejuang R.I. Tua Kampung -aktivis masyarakat untuk pembangunan dalam bentuk gotongroyong;
7.Yunus Djamil - Pengusaha /Koperasi Rakyat;
8.Syofyan - Pengusaha/Koperasi Perikanan;
9.Mali - Pengusaha/Pedagang hasil pertanian;
10.Ismail - Pengusaha/Perternakan;
11.Zubir - Pedagang hasil-hasil hutan;
12.Zaininar - Guru Sekolah Rakyat;
13.Maas - Petani;
14.Djamirus - Barisan Tani;
15.Saidinia Abbas - Pegawai departemen Penerangan,
16.Idris - Veteran pejuangnR.I,Sekretaris Subsekom PKI;
17.Rusli - Aktivis Buruh,
18.Ali Basril - Camat - Kecamatan Batangkas;
19.Mansyah - Pegawai Pajak;
20.Darusat - Urusan Kehutanan
21.Usman Latif - Aktivis urusan Pertanian
22.Syamsir Alam - Veteran Pejuang R.I.
23.Anas Hamid - Guru sekolah
24.Indra - Pegawai Camat-Tarusan;
25.Bachtiar - Pagawai Camat - Tarusan;
26.Imam Daralat - BTI
27.Wali Kadir - Wali Negeri/Lurah - Surantih
28.Jamirus - Pekerja/Buruh
29.Mansarudin - Aktivis Masyarakat kecamatan Kambang;
30.Sidi Salim - Aktivis Masyarakat kecamatan Kambang;
31.Nurdin - Aktivis masarakat dibidang pertanian daerah Kambang
32.Rahman - Pedagang
33.Agus Labak - pemuka masyarakat daerah Surantih,
34.Debok -
35. Cupu - Veteran Pejuang R.I., daerah kecamatan Air hadji
36. Ridwan Ber - kecamatan Indrapura,
37. Mansur K. - Kecamatan daerah Tapan
38. Rifai - daerah Lumpo
39. Lamid - daerah kecamatan Sungai Tunu;
40.Wali Gafar - Wali Negeri/Lurah kecamatan Sungai Tunu;
41.Nukman Jao - Pekerja kenegerian Sungai Tunu;
42.Aliudin - Pemuda Balai Selasa,
43. Palim - Pemuda Balaiselasa,
44.Ajis Jamin - Sekretaris Secom PKI Balaiselasa,
45. Nudar - dari BTI
46.Jirin - dari BTI
47.Halil Pasya - Anggota DPRD Painan

Beliau-beliau tersebut disiksa, digunduli, di suntik oleh seorang DokterWamilda, dan dibawa dengan Dump Truck ke Bukit Pulai, sekitar 10 KM dari Kantor Kodim di Painan. Dan di bawah Komando Letkol.Purnomo Sipur, pada Tanggal 9 November 1965, mereka dihabisi nyawanya.

Tahanan Politik yang mati dalam pemeriksaan/penyiksaan di KODIM-Painan, adalah:

1.Abbas Datuk Sati - Veteran Pejuang R.I.,Penghulku Adat, dari kelurahan Tambang,
2.Kasiran - Veteran Pejuang R.I.,Wali Negeri/Lurah negeri Salido,
3.Hamzah - Perintis Kemerdekaan, Veteran Pejuang R.I. Pengisi Kemerdekaan R.I., Pemuka Masyarakat Salido,
4.Buyung Tabing - Veteran Pejuang R.I.,Pegawai Perhutanan,
5.Kiram - Pegawai Departmen Penerangan - Balaiselasa,
6.Baharudin - Balaiselasa
7.Djulis - Balaiselasa
8.Darmansyah - Balaiselasa
9.Idris - Guru Sekolah Rakyat/Anggota DPRD-Tarusan
10.Alam Samad - Veteran Pejuang R.I:, Pegawai Negeri, daerah Api-Api,
11.Mat Asin - dari Barisan Tani
12.Ali Asam - Putra Mat Asin
13.Mansur - Serikat Buruh,

Yang dibunuh dengan cara penyuntikan di Kantor KODIM adalah:

1. Hadji Sunar - Veteran Pejuang R.I. - Aktivis Organisasi Veteran,
2. Sabirudin - Guru Sekolah Rakyat, Aktivis Pemuda,
3 .Djamaan - Pengusaha,
4 .Mak Usir - Pengusaha Perikanan,


“Yang dituturkan disini hanya sebagian kecil dari ratusan ribu Korban Resim Fasis orde baru SUHARTO di Sumatra-Barat. Dan rakyat beserta YSKP45 dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru terus melakukan penelitian akan lokasi, nama dan identitas para korban terror Jendral Suharto yang biadab dan tidak manusiawi, kendatipun antek-antek Orba/Soeharto, dengan bermacam dalih dan cara, senantiasa tetap melakukan intimidasi. Kebiadaban dan kebrutalan Rezim Soeharto ini menunjukkan kewajaran akan Tuntutan Adili Soeharto, walaupun hal ini hanya merupakan teriakan yang mungkin takkan terlaksana, sebagai teriakan suara jeritan di padang gurun, “karena Golkar yang menguasai Legislatif, Judikatif dan Exekutif dalam Negara Indonesia, bersama dengan para Jendral Generasi Orde Baru, akan memanipulasi seluruh ketentuan Hukum, supaya Kasus Godfather mereka Jendral Soeharto tidak sampai kemeja Pengadilan”, demikian temanku itu menjelaskan.

Bahkan tanpa mau mendengar aspirasi dan jeritan rakyat, berkemungkinan Pemerintah yang dikuasai kaum Soehartois, tiba-tiba saja akan memberikan Pengampunan dan Gelar Pahlawan Nasional kepada Pembunuh terbesar di abad modern ini, Jenderal Bintang Lima Soeharto!

Soeharto telah mati, dan diperingati dengan segala macam upacara yang sangat besar dan super mewah seperti seorang firaun, yang sebenarnya diluar kewajaran buat seorang yang menjadi pembunuh terbesar diabad modern ini, Soeharto mati meninggalkan najis-najis yang belum sempat disapu, belum sempat dicuci, belum sempat dibersihkan! Borok-borok bernanah belum sempat diobati.Hatiku sedih mengenang korban-korban Rezim Soeharto yang berserakan di-mana-mana tanpa batu nisan!

Daftar diatas hanya sebagian kecil dari para korban di Kabupaten Pesisir Selatan, Salido-Painan dan sekitanya. Bagaimana di Kabupaten lainnya, dimana Rezim Soeharto membangun neraka-neraka untuk melampiaskan nafsu kebiadabannya, kebrutalannya dengan membunuhi para korban dan mengingkari kemanusiaan orang-orang yang dituduh komunis? Bagaimana di Kabupaten Padang-Pariaman, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, Pasaman, dll? Berapa ratus ribu korban kebiadaban dan kebrutalan Rezim Jenderal Soeharto di Ranah Minang? Neraka rezim Soeharto berserakan di mana-mana! Hatiku hancur, tenggorokanku sakit dan airmata menggenang dipelupuk mata, membaca email dan uraian sahabatku A.Tjaniago, anak Salido yang berada jauh diperantauan itu.

Ingatanku lari kepada wajah puluhan teman-temanku yang ditahan oleh Rezim Orde Baru Soeharto di Kamp Tahanan Pekanbaru Riau, dari 1965-1977, yang diambil dari kamar tahanannya setiap malam dan dibunuh!. Yang dianiaya dengan berbagai macam jenis siksaan. Bahkan yang kemaluannya diikat dan digantung, sehingga si korban melolong dan meraung menahankan siksaan biadab! Juga mereka yang mati karena sakit, kurus kering dan busung karena kurang makan di dalam tahanan. Atau yang terpaksa dilepas, setelah belasan tahun ditahan, hanya untuk mati di luar kamp karena mewarisi segala macam derita dan penyakit selama ditahan tanpa proses serta perlakuan kejam diluar perikemanusiaan.
Bayangan wajah mereka menjelma di depanku, seolah-olah menyampaikan segala duka dan derita yang dialami karena kebiadaban rezim Soeharto! Oh, hatiku menangis! (Silahkan baca buku “Riau Berdarah” terbitan Hasta Mitra Jakarta)

Masih dalam rasa penuh haru serta hati dan perasaan yang masih mengambang, perlahan-lahan, kuraih remote control stereo yang ada di kamarku, dan dengan suara perlahan, kumainkan lagu dari kaset Minangkabau yang ada di dalamnya:

Kampuang nan jauh dimato,
Gunuang sansai bakuliliang,
Takana jo kawan-kawan den nan lamo,
Sangkek den basuliang-suliang!

Panduduaknyo nan elok,
Nan suko bagotong royong,
Kok sakik samo-samo diraso,
Den takana jo kampuang,

aku teringat akan kampungku, Minagkabau yang jauh di mata!
Dengan tenggorokan yang masih terasa sakit menahan ledakan tangis, sambil menghapus mata yang berair, aku berpikir: Masihkah lagu tersebut mempunyai nilai dan arti seperti yang dilagukan? Masihkah penduduknya elok, suka bergotong royong, jika sakit sama-sama dirasa ? Kurasa, tidak! Selama kekuasaannya yang panjang, kejam, brutal dan dan tidak bersih, Soeharto telah melakukan politik kolonialis “divide et impera, politik pemecah belah bangsa di bumi persada tanah air Indonesia terutama di Ranah Minang! Soeharto telah mengadu domba antara mamak dan kemenakan, antara sanak dan saudara! Soeharto telah merusak budaya dan adat istiadat Minangkabau. Soeharto telah merusak segala-galanya! Soeharto telah mati, namun sakit dan derita yang disebabkan oleh kebiadaban, kekejaman dan kebrutalannya, masih dirasakan oleh jutaan rakyat sampai hari ini.

Tragedi kemanusiaan 1965-1966, kekejaman dan kebiadaban rezim Soeharto, menyebabkan sekian banyak korban, baik yang dibantai, dipenjarakan, dikucilkan, atau yang dicurigai seumur hidup dan kehilangan hak-hak sipil dan kemanusiaannya, meninggalkan luka dan borok yang bernanah dan menantikan penyembuhan. Ini, bukanlah sekedar “stolen generation” seperti apa yang terjadi di Australia atas kaum Aborigine, namun, ini adalah “pemusnahan generasi”, pembunuhan massal dari satu golongan besar di dalam masyarakat dan bangsa Indonesia. Karenanya, untuk penyembuhannya, bangsa inilah yang seharusnya melakukan pengobatan terhadap luka-luka di dalam dirinya sendiri! Tanpa pengobatan dan penyembuhan, bangsa ini akan tetap dikenal dan disebut sebagai bangsa yang sakit!


Australia, 13 Pebruari 2008.


sumber asli DI SISI

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?