Kematian konon menjadi sesuatu yang teramat sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Sebab dia kerap kali menghinggapi seseorang tanpa pernah memberikan suatu peringatan sebelumnya. Begitu juga yang terjadi pada seorang peragawati kondang asal Bandung, yang tentu saja cantik, Ditje Budiarsih.
Senin 8 September 1986 pukul 22.00 WIB. Cerita berawal saat sebuah mobil sedan Honda Accord warna putih tiba-tiba berhenti di tepi Jalan Dupa, Kalibata, Jakarta Selatan. Ternyata di dalam mobil bernomor polisi B 1911 ZW itu terbujur sesosok perempuan. Ditje Budiarsih. Tapi tubuhnya telah membeku. Lima luka tembakan senjata api bersarang di tubuhnya. Di belakang telinga kanan, dada, pundak, ketiak kanan, dan di punggung kanan. Siapakah pelakunya?
Kemudian polisi datang membawa skenario. Dengan pongahnya mereka mengumumkan Muhammad Siradjudin alias Pak De sebagai pembunuhnya. Sebab pria warga Susukan, Ciracas, Jakarta Timur itu sebelumnya juga dituduh membunuh Endang Sukitri, seorang pemilik toko bangunan di Depok.
Menurut polisi, disebutkan bahwa Ditje menitipkan uang sebesar Rp 10 juta kepada Pak De yang juga berprofesi sebagai dukun. Sedianya, duit tersebut bakal disulap menjadi ratusan juta rupiah seperti dijanjikan pria pensiunan tentara dengan pangkat terakhir pembantu letnan satu itu. Namun karena uang tersebut sudah habis untuk memenuhi kebutuhan hidup, Pak De nekat menghabisi nyawa Ditje.
Seperti sebuah mimpi buruk akhirnya Pak De harus duduk di kursi pesakitan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pak De membantah sebagai pembunuh Ditje seperti yang tercantum dalam BAP yang dibuat polisi. Pengakuan itu, menurut Pak De dibuat karena tak tahan disiksa polisi termasuk anaknya yang menderita patah rahang. Ketika itu, Pak De mengajukan alibi bahwa Senin malam ketika pembunuhan terjadi, dia berada di rumah bersama sejumlah rekannya. Saksi-saksi yang meringankan untuk memperkuat alibi saat itu juga hadir di pengadilan. Namun, saksi dan alibi yang meringankan itu tak dihiraukan majelis hakim.
Akhirnya majelis hakim yang diketuai Reni Retnowati pada 11 Juli 1987 memvonis hukuman seumur hidup karena dianggap bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana. Karena merasa tidak bersalah, Pak De mengajukan banding sambil tetap menjalani hukuman di Cipinang. Namun upaya banding kandas setelah Pengadilan Tinggi DKI Jakarta justru menguatkan putusan PN Jakarta Selatan. Tak menyerah, ia kemudian mengajukan kasasi agar putusan dua hakim sebelumnya dibatalkan. Namun, lagi-lagi nasib baik belum berpihak. Majelis Hakim Kasasi Adi Andojo Sutjipto pada 23 Maret 1998 menolak permohonan itu.
Hingga kemudian keberuntungan berpihak kepadanya ketika Presiden B.J. Habibie memberikan grasi, berupa keringanan hukuman dari kurungan seumur hidup menjadi 20 tahun penjara pada 13 Agustus 1999. Akhirnya 27 Desember 2000 Pak De dapat meninggalkan hotel prodeo setelah pemerintah memberikan kebebasan bersyarat.
Setelah menghirup udara bebas, pecandu rokok sejak usia muda itu lebih sering mengurusi ayam-ayamnya. Tubuhnya telah lama layu. Kumis tebalnya juga sudah berwarna kelabu. Kepada setiap orang kembali Pak De menyatakan: “Pak De tidak membunuh Ditje". Pak De dalam kasus pembunuhan itu merasa menjadi kambing hitam oleh polisi dan Polda Metro Jaya. "Sebenarnya saat itu polisi tahu pembunuhnya," kata Pak De. Siapakah pelakunya? Pak De menyebut-nyebut sejumlah nama yang saat itu dekat dengan kekuasaan. Entahlah, sebab di negeri ini keadilan tidak berlaku bagi rakyat kecil (dari berbagai sumber).
sumber artikel : dekade 80-an
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar