Dana Revolusi? Sesuatu yang boleh jadi tak banyak lagi diingat orang. Menurut Suhardiman, inilah dana yang dihimpunkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 19 tahun 1960. Isinya, antara lain, mewajibkan semua perusahaan negara menyetorkan lima persen dari keuntungannya pada pemerintah -- bagi Dana Revolusi.
Yang disebut perusahaan negara di situ termasuk pula berbagai perusahaan Belanda yang baru dinasionalisasikan -- seperti perkebunan-perkebunan besar. "Bisa dibayangkan," kata Suhardiman, "betapa besar dana itu."
Suhardiman -- brigjen (pur) kelahiran Gawok, Surakarta, 18 Desember 1924 -- ingat benar adanya setoran wajib bagi Dana Revolusi itu. Soalnya, ketika peraturan itu berlaku, ia berkedudukan sebagai Direktur Utama PT Jaya Bhakti perusahaan di lingkungan TNI AD yang bergerak di bidang impor ekspor umum. "Sebagai pimpinan PT Jaya Bhakti, saya yang menyetor lima persen dari, laba perusahaan kepada pemerintah untuk Dana Revolusi itu," kata Suhardiman.
Padahal, kalau dana itu dikumpulkan, pemerintah tengah mengharamkan bantuan asing. Inilah politik dengan slogan Go to Hell with Your Aids. Akibatnya, tak ada bank devisa di dalam negeri. "Dus, semua kekayaan negara yang berupa valuta asing, atau yang dianggap sama dengan valuta asing, disimpan di luar negeri," kata Suhardiman. "Termasuk Dana Revolusi itu."
Menurut Suhardiman, yang mengaku kala itu juga merupakan pembantu utama Menteri Pertama Ir. H. Djuanda, sebagian dana itu disimpan berupa poundsterling, sebagian yang lain berwujud emas lantakan. Yang terang, katanya, yang bertanggung jawab atas Dana Revolusi itu adalah Presiden Soekarno dan Subandrio. Subandrio, memang, sejak 18 Februari 1961, senantiasa menduduki posisi penting, seperti wakil menteri pertama, merangkap menteri luar negeri, serta juga mengkoordinasikan hubungan ekonomi dan perdagangan luar negeri.
Suhardiman yakin bahwa Dana Revolusi yang dikumpulkan selama 1960-1965, belum terpakai. "Sebab, perubahan keadaan begitu cepat. Peristiwa terjadi, det-det-det, dan Bandrio ditahan," katanya. "Dan kini, bayangkanlah, berapa besar jumlahnya, setelah 20 tahun dana itu tersimpan di bank internasional." Jika diandaikan bunga depositonya dipukul rata 5% setahun, tambah Suhardiman, itu berarti dana itu telah berganda seratus persen.
Suhardiman tak tahu persis berapa besar dana itu. Ia juga mengatakan tak tahu di bank internasional mana dana itu ditanamkan. "Ada yang bilang dana itu mencapai 850 juta poundsterling," ujar Suhardiman. Menurut sumber TEMPO, dana itu disimpan berupa lantakan emas, yang pada 1964 bernilai 3 juta dolar AS. Kabarnya, "harta revolusi" itu disimpan di Bank Barclay London, Inggris, ketika harga emas cuma 34 dolar AS per ounce (28,34 gram). Padahal, kini, harga emas berkisar 385 -- 400 dolar AS se-ounce.
Mengapa kini tiba-tiba Suhardiman teringat pada Dana Revolusi itu? "Saya mengeluarkan statemen tentang Dana Revolusi itu dalam kaitan dengan prospek politik dan ekonomi kita tahun 1987," jawabnya. Prospek ekonomi itu masih akan suram, karena harga migas masih turun, sementara ekspor nonmigas belum lancar. "Sektor keuangan negara masih menipis," katanya. "Dana Revolusi itu adalah harta negara yang belum dimanfaatkan. Lumayan untuk membantu APBN."
Dana Revolusi adalah dana yang dihimpunkan untuk kepentingan revolusi yang menurut Bung Karno, sang Pemimpin Besar Revolusi sendiri -- belum selesai. Menilik tahun peraturan yang mengaturnya, yakni 1961, agaknya pada mulanya dimaksudkan untuk dana pembebasan Irian Barat. Sebab, ketegangan hubungan RI-Belanda dalam hal Irian ini memuncak pada 17 Agustus 1960. Pada waktu inilah, RI memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda. Dan selanjutnya, bertepatan dengan hari ulang tahun dimulainya aksi militer ke-2 Belanda, 19 Desember 1961. Presiden Soekarno mengucapkan Tri Komando Rakyat (Trikora), di Yogya. Dengan Trikora ini, maka mulailah konfrontasi total melawan Belanda.
Operasi militer itu terang membutuhkan biaya, antara lain untuk membeli senjata. Irian Barat akhirnya kembali ke pangkuan RI, 1 Mei 1963. Tapi toh revolusi berlanjut terus. Soekarno kini mulai mecanangkan konfrontasi melawan Malaysia. Bung Karno menganggap Malaysia merupakan proyek neokolonialisme Inggris, "yang membahayakan revolusi Indonesia yang belum selesai." Kita tahu, operasi gerakan bersenjata Ganyang Malaysia ini berlandaskan Dwi Komando Rakyat (Dwikora).
Konon, menurut suatu sumber dalam Februari -- Maret lalu, datang dua pengacara Amerika, menemui Subandrio dan pemerintah. Keduanya menyatakan sanggup menguruskan Dana Revolusi itu untuk dicairkan. "Tapi kedua pengacara AS itu minta jasa terlalu tinggi. Yakni 40% dari uang simpanan itu," kata sumber TEMPO. Dan, konon, Subandrio sendiri sudah menyatakan bersedia membantu menguruskan pencairan Dana Revolusi itu. Tapi, agaknya, persoalan terbentur pada status Subandrio, yang tengah menjalani hukuman seumur hidup. Kabarnya, Subandrio telah menyatakan permintaannya bahwa ia bersedia mengurus Dana Revolusi itu asalkan ia dibebaskan dari hukuman.
Adakah dana itu bercampur", misalnya, dengan kekayaan pribadi Subandrio? Masih banyak, memang, perkara yang belum jelas. Sebab, tak kurang Bung Karno sendiri, misalnya, pernah disebut turut menerima dana-dana revolusi, dalam buku Sejarah Nasional Indonesia jilid III, untuk SMP, hal itu disebutkan. Bunyinya: "Dalam pada itu Presiden Sukarno sendiri menerima komisi dari perusahaan asing yang melakukan impor ke Indonesia. Pada pelbagai bank di luar negeri tersimpan uang jutaan dolar atas nama Presiden."
Buku itu kemudian menimbulkan heboh setelah Nugroho Notosusanto, sang pengarang, yang kemudian menjadi Menteri P & K, meninggal. Sebab, banyak pihak tak mempercayainya. Dalam kasus Dana Revolusi ini, adakah kontroversi yang sama akan terulang?
sumber : tempointeraktif
1 komentar:
Pencarian Harta amanah akan tetap jadi Misteri
Posting Komentar