SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Agar Djaka Lodang Lebih Kondang

| | |
DARMO Hutomo, 70 tahun, boleh lega sekarang. Setiap pekan, Djaka Lodang rutin terkirim ke rumahnya di Paramaribo, ibu kota Suriname. Saat datang ke Indonesia tahun lalu, dia minta anak angkatnya mengirim majalah mingguan berbahasa Jawa itu rutin via pos. "Dulu hanya titip kenalan kalau sesekali ada yang mau kirim barang ke sini," katanya via sambungan telepon internasional, Rabu pekan lalu.

Darmo adalah warga Suriname keturunan Jawa, generasi ketiga. Baginya, selain menjadi sumber informasi yang akrab-karena berbahasa Jawa-tentang tanah leluhur, Djaka Lodang menjadi acuan bagaimana berbahasa Jawa yang "baik dan benar" sesuai dengan kaidah. "Untuk bahan mengajar," katanya. Maklum, dia juga mengajar bahasa Jawa di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Suriname.

Bahasa Jawa jadi salah satu bahasa populer di Suriname-15 persen dari sekitar 500 ribu total warga Suriname keturunan Jawa. Tapi bahasa Jawa yang berkembang di Suriname sudah mulai bergeser, terutama di kalangan penutur anak muda yang menggunakan bahasa taki-taki di kesehariannya. "Bahasa gaul, Jawa campur-campur," kata Darmo.

Bahasa Jawa "baru" ala Suriname itu dapat didengarkan dengan jelas pada puncak peringatan 120 tahun kedatangan pertama kuli kontrak dari Jawa ke Suriname, 9 Agustus ini, yang dikenal sebagai Hari Imigrasi. Saat itu, "Suriname Jawa" lintas generasi berkumpul di gedung Sana Budaya, Paramaribo. Terlihat generasi tua berbahasa Jawa relatif asli, sedangkan yang muda sudah ber-taki-taki. "Yang muda tidak paham lagi baca Djaka Lodang," kata Darmo.

Contoh taki-taki adalah sroto. "Artinya bukan soto, melainkan kunci, serapan dari bahasa Belanda," Darmo menjelaskan. Ada juga istilah lanja-lanja yang artinya lurus, dan ngabrah yang artinya menyeberang jalan. Nah, karena jauhnya perbedaan bahasa itulah, pada perayaan yang biasanya diramaikan oleh pasar malam dan aneka tontonan tanah leluhur, seperti reog dan ketoprak, itu bahasa Jawa yang baik dan benar seperti kembali disosialisasi. Patokannya adalah Djaka Lodang.

Lain Suriname lain Belanda, tapi sama soal Djaka Lodang. Majalah yang terbit di Yogyakarta ini juga sampai ke Belanda, setidaknya di rumah Yati Mask, 40 tahun, warga Indonesia yang pindah ke Belanda. "Dikirimi adik sebulan sekali, buat obat kangen," katanya saat berkomunikasi melalui Facebook.

Yati sudah tinggal di Belanda selama 20 tahun mengikuti suaminya yang warga sana. Sekarang Yati membuka kafe. Nah, setelah habis dibaca, Yati menaruh Djaka Lodang di rak majalah kafenya, di antara majalah setempat. "Pelanggan dari Jawa kadang tanya sudah ada yang baru belum," katanya.

Darmo dan Yati adalah beberapa pelanggan setia Djaka Lodang di luar negeri. Sebagian majalah Djaka Lodang memang sampai ke luar negeri. Dari catatan sirkulasi, Djaka Lodang juga sampai ke Malaysia, Jepang, dan Kanada. Pembaca di luar, kalau bukan migran asal Jawa atau keturunan Jawa, biasanya pelajar studi Jawa atau peneliti. Selain pelanggan yang mengusahakan sendiri, seperti kedua pembaca itu, pengiriman ke luar negeri dilakukan bagian sirkulasi rata-rata tiga bulan sekali.

Peredaran sampai ke luar itu seakan menjadi energi bagi awak-awaknya. "Di beberapa perpustakaan di Hawaii ada edisi kompletnya," kata Tatiek Purwa Kalingga, salah satu anggota staf redaksi, bangga.

Pembaca di luar negeri itu jadi penyemangat. Namun basis pembaca Djaka Lodang tetap masyarakat Yogyakarta, yang mencapai 60 persen, dan sisanya tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan luar Jawa, termasuk luar negeri. Pelanggan tetapnya tercatat 250 orang, selebihnya distribusi dengan sistem penjualan eceran. Hasil penjualan ini yang menjadi "bahan bakar" majalah untuk tetap terbit. "Iklan tidak banyak, kalau ada satu-dua dengan harga murah," kata F.X. Subroto, penanggung jawab harian Djaka Lodang.

Dengan sistem itu, Djaka Lodang bertahan meski tertatih, dan kini mencapai usia 39 tahun lebih sejak terbit pertama 1 Juni 1971. Bertahan selama itu, praktis tak banyak "teman" setelah majalah berbahasa Jawa, seperti Mekarsari, Kembang Brayan, Darmo Kondo, serta Darmo Nyoto, tamat riwayatnya. Sesamanya tinggal majalah Panjebar Semangat dan Jayabaya yang terbit di Surabaya. Media bahasa Jawa memang surut seiring dengan makin berkurangnya pembaca, juga penulisnya.

Djaka Lodang sempat berjaya selama 18 tahun, sejak menjadi mitra pemerintah pada 1978 dengan tambahan suplemen 16 halaman proyek pemerintah Koran Masuk Desa. Saat itu oplah meningkat dari 5.000 menjadi 15 ribu. Setelah tak lagi bermitra, oplah merosot hingga angka 5.000-7.000. Sekarang Djaka Lodang tetap dipertahankan lebih karena pertimbangan nonmateri. "Melestarikan bahasa dan budaya Jawa," kata Subroto.

Karena itu, segenap awak redaksinya pun benar-benar menjaga kaidah bahasa Jawa. Buku Ejaan Bahasa Jawa Huruf Latin yang Disempurnakan terbitan Balai Bahasa Yogyakarta dan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional serta Kamus Lengkap Jawa-Indonesia karangan Sutrisno Sastro Utomo menjadi buku pegangan sehari-hari enam awak redaksinya. "Menghindari salah kaprah yang makin banyak," Subroto menjelaskan. Bahasa Jawa juga menjadi pengantar di kantor, terutama rapat redaksi sepekan sekali, untuk mendapatkan "rasa" di tulisan.

Lihat saja ketika rapat redaksi yang biasa berlangsung setiap Selasa seminggu sekali di ruang berukuran 3 x 2 meter di kantor di kawasan njeron beteng Keraton Yogyakarta, Jalan Patehan Tengah 29, Yogyakarta. Enam awak mengevaluasi edisi terbaru dan merencanakan edisi berikutnya, duduk berhadapan. Tatiek Purwa Kalingga, salah satu anggota staf redaksi, mengajukan pertanyaan kepada penanggung jawab harian. "Kados pundi to, Pak, wonten kalepatan ing kaca 82," katanya dalam bahasa Jawa kromo alias Jawa halus. Maksudnya, dia mempertanyakan kesalahan penulisan di halaman 82 edisi terbaru.

Menjadi acuan berbahasa Jawa merupakan ambisi Djaka Lodang. Masih adanya pembaca seperti Darmo di Suriname seakan menjadi bonus kerja keras mereka, karena majalah menjadi acuan penutur bahasa Jawa di luar negeri. Target utama, majalah tetap menjadi acuan di dalam negeri, mengingat kemampuan berbahasa Jawa terus merosot. Awal Juni lalu, dalam rangkaian peringatan ulang tahunnya yang ke-39, Djaka Lodang menggelar seminar untuk menegaskan perannya sebagai motivator pembelajaran bahasa Jawa di tingkat sekolah.

Ambisi itu selaras dengan kebijakan pemerintah untuk melestarikan bahasa Jawa. Selain menjadi muatan lokal di sekolah sejak 2005, bahasa Jawa dianjurkan pemakaiannya untuk urusan pemerintah daerah di Yogyakarta, misalnya. Setahun terakhir, ada kebijakan berbahasa Jawa setiap Sabtu di lingkup kantor pemerintah di Yogyakarta. Kebijakan serupa juga dijumpai pada beberapa wilayah di Jawa Tengah.

Masih untuk edukasi berbahasa Jawa, Djaka Lodang juga berusaha menggaet pembaca generasi muda-selain untuk melanjutkan generasi pembaca. Untuk itu, kemasan pun dibuat segar, misalnya dengan pemuatan tokoh muda di cover. Kini, rasio pembaca generasi tua dan muda sekitar 70 : 30.

Soal menjaring pembaca muda, peluang masih terbuka. Utroq Trie Haryanto, 29 tahun, misalnya, pekerja teknologi informasi di Jakarta, membaca Djaka Lodang sejak sekolah dasar, terus bertahan karena merasa mendapat nilai-nilai menarik dari budaya Jawa. Rubrik favoritnya, "Jagading Lelembut," katanya menyebut rubrik yang menceritakan pengalaman bersentuhan dengan dunia mistis di Djaka Lodang.

Sayang, Utroq sering kesulitan mendapatkan Djaka Lodang di lapak-lapak koran di Jakarta. Sempat mencari informasi berlangganan melalui situs pencari, ia tidak mendapat kejelasan, bahkan update informasinya, enam tahun lalu. "Djaka Lodang harus mengikuti perkembangan teknologi kalau ingin terus bertahan."

Harun Mahbub, Bernada Rurit (Yogyakarta)

sumber foto :Tropenmuseum

sumber artikel http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/08/09/MD/mbm.20100809.MD134273.id.html

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?