Oleh Rz. Subagiyo
"Aku durung tahu neng Jowo nanging, jarene mbahku seka Pengging, Banyudono, Boyolali. Ndhisik tekan kene digowo Londo dadi kuli kontrak," kata Sadiran Nojoredjo, kakek 73 tahun warga negara Suriname keturunan Jawa.
Artinya, "Saya belum pernah ke Jawa, tapi katanya, kakek saya berasal dari Pengging, Banyudono, Boyolali. Dulu dibawa ke sini oleh Belanda sebagai kuli kontrak."
"Mereka juga dijanjikan gaji sebesar 35 sen sehari dengan jam kerja 12-13 jam. Namun, semua itu tidak pernah ditepati oleh Pemerintah Belanda," katanya.
Itulah sepenggal cerita yang dikisahkan Sadiran Nojoredjo, kakek 73 tahun, warga negara Suriname keturunan Jawa mengenai leluhurnya yang merupakan salah satu dari ribuan tenaga kerja perkebunan yang didatangkan Belanda 120 tahun lalu.
Pada 1890 untuk pertama kalinya kaum imigran dari Jawa (etnis Jawa) menjejakkan kaki di benua Amerika tepatnya di Suriname, sebuah negara di kawasan Amerika Selatan yang jaraknya dari Indonesia memerlukan waktu tempuh sekitar 21-23 jam dengan pesawat terbang saat ini.
Kedatangan imigran Jawa ke Suriname terbagi tiga tahap, yakni pada 1890 tepatnya pada 9 Agustus di kawasan Marienburg, sebagai daerah tempat pendaratan pertama kali orang Jawa ke negara yang juga disebut Guyana Belanda itu.
Hampir 33.000 orang Jawa bermigrasi ke Suriname pada periode 1890-1939. Jawa Tengah dan daerah dekat Batavia (Jakarta), Surabaya, dan Semarang merupakan daerah perekrutan utama. Hanya 20 hingga 25 persen dari migran Jawa kembali ke negara asal mereka sebelum Perang Dunia II.
Sadiran menceritakan, sering kali orang-orang Jawa, pada umumnya masih pemuda, yang dibawa Belanda ke Suriname bukan atas kemauan ataupun kesadaran sendiri, melainkan—menurut istilah mereka—"diwereg" atau ditipu oleh para agen pencari budak.
"Tak jarang anak-anak itu sedang bermain-main di luar rumah kemudian didatangi seseorang, mereka diajak bicara-bicara dan seperti terkena hipnotis menurut saja," kata Sadiran dengan menggunakan bahasa Jawa.
Kisah tersebut diamini oleh Bob Saridin, salah satu pengusaha Suriname keturunan Jawa yang menyebutkan para pemuda dari Jawa tersebut oleh Belanda dikatakan akan dipekerjakan di "tanah seberang" (istilah masyarakat Jawa untuk wilayah luar Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, ataupun Sulawesi).
Namun, tanpa sepengetahuan mereka, imigran Jawa tersebut diangkut ke wilayah koloni Belanda di kawasan Karibia dengan menggunakan kapal laut yang kondisinya memprihatinkan sehingga tak jarang ada yang mengalami sakit di perjalanan bahkan meninggal di atas kapal.
Pemerintah Belanda menjanjikan para pekerja dari Jawa tersebut akan dikontrak selama lima tahun dan setelah selesai kontraknya sebagai pekerja perkebunan akan dipulangkan ke tanah Jawa kembali.
"Mereka juga dijanjikan gaji sebesar 35 sen sehari dengan jam kerja 12-13 jam. Namun, semua itu tidak pernah ditepati oleh Pemerintah Belanda," katanya.
Bahkan, Belanda menetapkan peraturan yang amat ketat bagi para pekerja perkebunan dari Jawa, yakni dilarang keluar dari kawasan perkebunan, jika diketahui melanggar aturan tersebut, dikenakan sanksi dan denda.
Oleh karena itu, tak jarang banyak pekerja dari Jawa yang kehabisan gaji untuk membayar denda karena ketahuan keluar dari kawasan perkebunan dan akhirnya tidak mampu menabung untuk bisa kembali ke Jawa.
Keinginan warga Jawa yang berada di Suriname untuk kembali ke kampung halaman mereka di tanah Jawa begitu besar, tetapi harapan tersebut selalu kandas bahkan ketika Indonesia sudah merdeka pada 1945 hambatan itu masih ada.
Ketika para pemimpin politik Indonesia datang ke Suriname keinginan untuk kembali ke Tanah Air itu disampaikan, tetapi tidak juga membuahkan hasil, meskipun mereka memiliki paspor Indonesia.
Pada 1954 sekitar 1.000 orang keturunan Jawa di Suriname mencoba untuk kembali ke Tanah Air, tetapi kapal yang mereka tumpangi tidak sampai ke Jawa, hanya di Sumatera sehingga mereka akhirnya menetap di Sumatera.
Setelah 1950-an warga Jawa yang ada di Suriname sadar bahwa mereka tidak bisa kembali ke Indonesia. Hingga 1975 kesadaran politik dan pendidikan mulai tumbuh di kalangan warga keturunan Jawa.
Mereka yang sebelumnya warga negera Belanda akhirnya memilih untuk menjadi warga negara Suriname guna menjalani kehidupan yang baru dan lebih baik.
Dari tahun ke tahun, warga Jawa di Suriname mengalami perkembangan, baik jumlahnya maupun peran mereka, dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Saat ini, dari sekitar 500.000 jiwa penduduk Suriname, etnis Jawa sekitar 15 persen atau 71.900 jiwa sedangkan mayoritas dari suku Hindustan, yakni 135.000 orang, diikuti oleh Afro-Suriname (87.500), Maroon (72.600), dan sisanya etnis lain.
Menunjukkan kiprah
Di bidang politik, sejak 1980 warga Suriname keturunan Jawa, terutama yang berpendidikan tinggi, sudah menunjukkan kiprahnya di bidang politik dan pemerintahan, dan saat ini terdapat enam menteri dalam anggota kabinet Suriname.
Keenam orang menteri tersebut, yakni Menteri Perdagangan dan Industri, Micheal Miskin; Menteri Dalam Negeri, Soewarto Moestadja; Menteri Pertanian, Peternakan dan Perikanan, Hendrik Setrowidjojo; Menteri Tenaga Kerja, Pengembangan Teknologi dan Lingkungan Hidup, Ginmardo Kromosoeto, Menteri Pendidikan dan Pengembangan Masyarakat Raymond Sapoen serta Menteri Sosial dan Perumahan Rakyat Hendrik Sorat Setro Wijojo.
Selain itu juga Kepala Kepolisian Suriname H Setrosentono serta mantan Ketua Parlemen Suriname Paul Salam Sumohardjo.
Tak hanya dalam jajaran pejabat politik pemerintahan, tetapi beberapa jejak yang tertinggal dari masyarakat keturunan Jawa di Suriname bisa terlihat dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi.
Salah satu jejak yang masih terlihat jelas eksistensi keturunan Jawa di Suriname, yakni nama-nama jalan terutama di kampung-kampung, seperti Wagiran Weg (weg artinya jalan), Sastroredjo Weg, Purwodadi Weg, Sidodadi Weg yang semuanya merujuk pada nama orang ataupun tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Bukan hanya nama-nama jalan, melainkan jenis-jenis makanan asal Jawa juga masih terlihat di negara tersebut, seperti petjel (pecel), saoto (soto), tjenil (cenil, yakni salah satu jenis jajanan pasar), lontong djangan (lontong sayur), bami (bakmi), ketan, guleh (gule).
Untuk sebutan toko ataupun rumah makan, warga Suriname keturunan Jawa menggunakan istilah "warung" misalnya Warung Gulo, Warung Budi Rahaju, Warung Sabar, Warung Tante Pon, ataupun Warung Om Djon. Salah satu rumah makan yang sangat terkenal dengan menu-menu masakan Jawa, yakni Warung Toeti.
Nama-nama orang meskipun masih menggunakan nama Jawa, tetapi umumnya sudah digabung dengan nama-nama barat, seperti Stanley Sidoel, Alfons Satropawiro, Bob Saridin, Hendrik Legiman, Kim Sontosoemarto ataupun Sharon Pawiroredjo.
Seni dan budaya dari Jawa yang masih berkembang di Suriname seperti tari-tarian, kesenian djaran kepang (kuda lumping), ludruk, reog ataupun kabaret, yakni semacam ludruk yang pemainnya semuanya laki-laki, termasuk untuk memerankan tokoh perempuan.
Meskipun kebudayaan Jawa di negara yang multietnis tersebut, terdiri dari suku Hindustan (India), Kreol dan Bushnegro (Afrika), Jawa (Indonesia), Amerindian, China dan etnis lainnya, itu masih berkembang, teapi bahasa Jawa justru sudah tidak lagi mendominasi percakapan sehari-hari.
Bahasa nasional Suriname, yakni bahasa Belanda, sehingga tidak mengherankan jika keturunan Jawa, terutama kaum muda, sudah tidak bisa lagi berbahasa moyangnya.
Jika tidak menggunakan bahasa Belanda, dalam pergaulan, kaum muda lebih banyak menggunakan bahasa "taki-taki" yakni bahasa Inggris pasaran yang hanya terdapat di Suriname.
Meskipun demikian, di negara tersebut terdapat tiga stasiun televisi dan radio yang menayangkan siaran berbahasa Jawa, yakni TV Garuda, TV Mustika, dan TV Pertjajah serta Radio Garuda, Radio Mustika, dan Radio Pertjajah yang semuanya milik keturunan Jawa.
Lagu-lagu berbahasa Jawa, baik dari Indonesia maupun asli karya seniman-seniman musik Suriname, masih berkembang di sana dan disukai kaum muda, meskipun mereka mengakui hanya sedikit-sedikit kemampuan berbahasa Jawa.
Gedung Sana Budaya merupakan satu-satunya gedung kesenian di Suriname yang sering dimanfaatkan untuk mementaskan seni dan budaya Jawa, seperti wayang orang, sendratari, ludruk, ataupun lagu-lagu berbahasa Jawa (campur sari), baik oleh penyanyi setempat di antaranya yang terkenal Edward Kasimun dan Maruf Amastam; termasuk juga dari Indonesia, seperti Didi Kempot, Yan Velia, Mus Mulyadi, Verina, dan lain-lain.
Masyarakat Suriname keturunan Jawa saat ini kini memiliki perkumpulan, yakni Vereniging Herdeking Javaanse Immigratie (VHIJ) atau Persatuan Mengenang Imigrasi Warga Jawa di Suriname didirikan pada 15 Januari 1985.
Budaya ataupun masyarakat Jawa (keturunan) memang masih berkembang dan eksis di Suriname, tetapi bukan lagi Jawa yang "njawani" sebaliknya telah berbaur dengan kultur dan etnis yang hidup di situ sehingga terlihat sebagai Jawa yang mengglobal.
Maka tak mengherankan jika mendengarkan lagu-lagu berbahasa Jawa di Suriname tetapi melodinya beriramakan musik regae ataupun pop manis bukan campur sari sebagaimana di Indonesia karena terpengaruh kultur Karibia.
"Budaya Jawa memang berkembang di sini, tetapi Jawa yang seperti apa? Tentunya bukan Jawa seperti Yogyakarta karena di sini tidak ada keraton ataupun Indonesia. Namun, Jawa yang menjadi bagian dari bangsa Suriname," kata Menteri Dalam Negeri Suriname Soewarto Moestadja.
Editor: Jodhi Yudono | Sumber : ANT
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar