BETAPA tidak, warga Indonesia keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di Indonesia ini harus meninggalkan semua yang mereka bangun demi kebijakan sepihak pemerintah saat itu. Mereka pun kehilangan banyak harta benda dan teman-teman. Hebatnya, meski mereka membenci kebijakan politik Soekarno saat itu, mereka tetap tidak melupakan tanah kelahirannya, Indonesia.
Bahkan, budaya dan tradisi tanah tempat mereka besar pun masih tetap dipertahankan di daerah ”buangan” di Yingde. Yen Sin I, salah seorang warga Indonesia keturunan Tionghoa yang ikut menjadi korban ”pengusiran” pemerintah mengungkapkan saat-saat dirinya harus meninggalkan negara tempatnya tinggal.
Kakek berusia 71 tahun ini mengaku lahir di Wonosobo, Jawa Tengah. Dia ikut hijrah ke China pada 1960, saat usianya beranjak 28 tahun. Saat itu dia telah memiliki dua anak laki-laki. Dengan menggunakan bahasa Jawa yang fasih pria yang kerap dipanggil Mbah Yen ini pun menceritakan sejarah kelam warga keturunan Tionghoa di Indonesia.
”Riyin nggih wonten roso kesel kok keno PP Nomor 10 niku. Lha wong kulo kaleh lare-lare sampun urip kepenak ten Mangga Besar. Gadah dangangan tur hasile nggih sampun lumayan (dulu juga ada rasa kesal kenapa harus ikut kena PP Nomor 10 itu. Padahal saya dan anak-anak sudah merasa senang tinggal di Mangga Besar. Punya dagangan dan hasilnya juga sudah lumayan),” ungkap kakek bercucu empat ini.
Di Yingde keseharian Mbah Yen dihabiskan dengan menanam dan memetik teh atau padi. Mbah Yen juga disibukkan dengan berkebun umbi-umbian seperti ubi, singkong, dan lainnya. Meski sudah puluhan tahun tinggal di Yingde, Mbah Yen masih menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari.
Dia mengaku sulit untuk tidak berbahasa Jawa. Bagi dia, Wonosobo, Jakarta, dan Indonesia selalu akan ada dalam hati. “Iki (Indonesia) wis ono neng atiku. Ora iso diubah meneh (ini sudah ada di hatiku, tidak bisa diubah lagi),” tambah Mbah Yen. Seperti halnya Mbah Yen, nasib serupa dialami Chen Tan Niang. Nenek kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, berusia 72 tahun. Dia menyesali dan menyayangkan kejadian politis itu.
Meski demikian, Mbah Chen juga memiliki alasan lain tentang kepindahannya ke Yingde, yaitu mengikuti jejak hampir sebagian besar sahabat dan saudaranya yang juga terkena imbas kebijakan politik pemerintah saat itu. Mbah Chen dulu tinggal di Tomang, Jakarta Barat. Karena seluruh keluarga dan teman-temannya ikut eksodus ke China, Mbah Chen pun sukarela ikut serta kembali ke China.
Meski telah ”disakiti” dengan kebijakan politik pemerintah saat itu, Mbah Yen dan Mbah Chen mengaku tidak pernah sakit hati. Mbah Yen dan Mbah Chen mengaku tidak memiliki hak untuk menyalahkan pemerintah sekaligus tidak memiliki jalur untuk menyalurkan protes terkait ketidakadilan yang mereka terima.
“Sak niki kulo mboten sakit ati maneh. Kulo lan liyane sampun narimo lan lilo. Ten mriki (Yingde) sampun urip kepenak. Hawane adem lan entuk duit pensiunan saking pemerintah (sekarang saya sudah tidak sakit hati lagi. Saya dan semua sudah menerima dan rela. Di sini (Yingde) kami sudah hidup enak. Hawanya dingin dan dapat uang pensiun dari pemerintah),” ungkap Mbah Chen.(Koran SI/Koran SI/mbs)
sumber okezone
Kejujuran Itu Memerdekakan Dan Menenangkan
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar