SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Membongkar Jejak Senjata Teroris

| | |
AKSI bersenjata brutal, seperti ditunjukkan para penyerang Markas Polisi Sektor (Mapolsek) Hamparan Perak Deli Serdang, Sumatera Utara pekan lalu, menyisakan pertanyaan penting asal-usul senjata kelompok itu.

Sebelumnya, polisi menembak mati tiga orang diduga pelaku perampokan Bank CIMB Niaga Medan, yang menggasak bank itu pada Agustus lalu. Para perampok itu diburu sebulan lebih, dan diduga punya kaitan aksi pelatihan teror di Aceh.
Seakan aksi balas dendam, Mapolsek Hamparan Perak dihajar balik oleh gerombolan bersenjata. Tiga polisi tewas, lainnya luka berat. Dari keterangan saksi, diduga pelaku memakai senjata mirip saat perampokan bank di Medan itu. “Mereka pakai AK47, SS1 dan M16,” ujar juru bicara Mabes Polri Irjen Iskandar Hasan.

Kapolda Sumatera Utara Oegroseno menduga senjata itu diperoleh di Aceh. “Senjata seperti itu bisa diperoleh di daerah bekas konflik seperti Aceh,” ujar Oegroseno. Yang lebih serius, Kapolri pada Jumat 24 September pekan lalu menyebut aksi perampokan, dan penyerangan Mapolsek Hamparan Perak, adalah satu rangkaian aksi dari kelompok teror yang sama.

Mereka memang pernah menyebut dirinya “Al Qaidah Serambi Mekkah”, dan dikejar aparat sejak kamp pelatihan militernya terbongkar di Bukit Jalin, Jantho, Aceh Besar, pada Maret lalu.

Aceh barangkali tempat di mana senjata pernah beredar luas pada saat daerah itu didera konflik. Tetapi, senjata haram bukan hanya di Aceh. Sumber masuknya senjata setidaknya melewati empat titik rawan (Lihat Jalur Tikus Senjata Haram). Antara lain pembobolan gudang senjata, pembelian di daerah konflik, dan belanja ke negeri tetangga. Di Cipacing, Jawa Barat, sejumlah pengrajin juga mampu merakit senjata api.

Mari menyimak pengadilan dua anggota Polri, Tatang Mulyadi, 34 tahun, dan Abdi Tunggal bin Adam, 31 tahun. Keduanya berpangkat brigadir satu. Pengadilan kedua polisi ini menyingkapkan modus gudang senjata bisa dibobol oleh mereka yang menjaganya. Keduanya, bersama Ahmad Sutrisno, 44 tahun, makelar senjata, mulai diadili di Pengadilan Jakarta Timur, sejak Kamis 2 September lalu.

Sepanjang Juni 2009-Maret 2010, demikian kata jaksa penuntut umum, kedua polisi itu menjual 28 pucuk senjata kepada Ahmad Sutrisno. Dua petugas urusan logistik di Mabes Polri itu melego empat pucuk AK 47, 11 pucuk AR 15 (sejenis M 16 ), dua pucuk M58 (sejenis AK 47), 6 pucuk revolver, 2 senapan remington cal 22, 1 pucuk pistol challenger, dan 2 pucuk pistol jenis browning. Selain senjata, kepada Ahmad, Tatang dan Abdi juga menjual 19.999 ribu butir peluru, dan 72 magazen.

Ahmad rupanya mendapat pesanan dari Muhammad Sofyan Tsauri alias Abu Ayas. Senjata itu, kata jaksa, hendak digunakan Sofyan untuk tadrib asyakari (latihan militer) di bukit Jalin, Jantho, Aceh Besar. Latihan itu terbongkar oleh aparat keamanan pada Maret 2010 di Aceh. Jaksa mendakwa Tatang dan Abdi membantu terorisme, dengan menyelundupkan senjata keluar gudang tanpa surat resmi.
Dari Phuket ke Aceh

Asal usul senjata yang beredar di Aceh, seperti disitir Iskandar Hasan, menarik dirunut ulang. Meskipun sejak damai, aksi penyelundupan senjata tak terdengar lagi, tapi pada masa konflik diduga ribuan senjata sempat beredar di sana. Iskandar Hasan menyebut sekitar seribu senjata sisa konflik masih beredar di Aceh.

Meskipun sejak MoU Helsinki diteken 2005, dan 840 pucuk senjata dimusnahkan oleh GAM, Iskandar mengatakan sangat mungkin sisanya masih berada di tangan warga. Mereka, kata Iskandar, enggan mengembalikan karena dulu senjata itu dibeli mahal. “Saya pernah menjadi Kapolres di Aceh Utara. Mereka (GAM) membeli senjata Rp30 juta sampai Rp40 juta per pucuk," ujar Iskandar.

Selain dari sisa konflik di Aceh, Iskandar menduga masih ada jalur lain masuknya senjata ilegal ke Indonesia. Bisa pula dari kasus Poso, Ambon. Ada pula kemungkinan masuknya senjata itu dari konflik di luar negeri. "Tahun 2005 sampai 2006 saya pernah ke Thailand Selatan. Jadi senjata dari negara yang selesai konflik itu dimanfaatkan oleh mereka untuk diperdagangkan," ujar Iskandar.

Penelusuran VIVAnews di Aceh mendapatkan cerita bagaimana senjata dibeli para kombatan GAM di Thailand (baca juga Belanja Senjata ke Phuket).
Menurut pengakuan bekas kombatan bernama Banta, dan dibenarkan dua rekannya, Salim dan Agam, mereka membeli senjata di Phuket dan Songkhla, Thailand. Dengan menggunakan perahu mesin berkekuatan 40 PK, mereka merayap dari pantai Kuala Idi, Aceh Timur lalu berlayar menuju Phuket. “Jaraknya hanya delapan jam,” ujar Banta, kombatan asal Aceh Timur.

Melalui “Phuket Connection” ini, pengiriman senjata berlangsung mulus. Sekali pengapalan, bisa masuk sekitar 100-200 pucuk senjata, tergantung besarnya perahu. Seorang bekas petinggi GAM di Banda Aceh, Zakaria Saman, 60 tahun, yang dikenal sebagai “menteri pertahanan” gerakan itu mengakui adanya jalur pembelian di Thailand. Zakaria, yang dikenal juga sebagai Karim Bangkok, sempat menetap di Thailand. “Asal ada uang, ada barang,” ujarnya tentang jalur pembelian itu. Tapi Zakaria menolak menyebut detil pembelian.

Menurut Banta, senjata yang dijual di Phuket itu berasal dari produksi berbagai negara. Ada AK-56 eks China, lalu ada juga AK-47 eks Kamboja, dan sejumlah jenis AK produksi Korea Utara. “Yang eks-Kamboja lebih murah,” ujarnya. Harga di sana sekitar Rp8 juta per pucuk untuk AK-47 yang baru. Hubungan dengan mafia Phuket itu berjalan kerap sampai dengan Aceh diberlakukan Darurat Militer pada 2003.

Soal mafia senjata di Thailand memang pernah menjadi isu regional. Kawasan itu menjadi semacam hub bagi para pemberontak di Asia Tenggara. Menurut Jane’s Intelligence Review, ketika konflik di Aceh memanas 2001-2003, Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra (waktu itu), jengkel akibat pembobolan gudang senjata militer di perbatasan Thailand-Malaysia. Pelakunya kawanan mafia senjata di sana. Sekitar 100 pucuk M16 dibawa lari, dan PM Thaksin menuding senjata itu dijual ke GAM.
Dari Mindanao ke Ambon

Jalur lain adalah dari Filipina Selatan, dan VIVAnews mendapatkan keterangan menarik dari Asep Jaja di Penjara Porong, Sidoarjo, Jawa Timur (baca Kulakan Senjata ke Mindanao). Asep, anggota kelompok Mujahidin Kompak, dihukum karena terlibat kasus penyerangan pos Brimob di Loki, Pulau Seram, Ambon pada 2004.
Asep Jaja menuturkan ihwal pembelian senjata di Mindanao itu lewat catatan pribadinya yang diberikan ke VIVAnews. Senjata, kata dia, diangkut dengan “pamboat” alias kapal laut, dan diselundupkan lewat jalur General Santos-Sangir Talaud-Bitung, Sulawesi Utara. “Mindanao adalah surga senjata,” ujar Asep Jaja, beberapa waktu lalu.
Dia sempat mencari senjata di sana untuk kebutuhan para pelaku jihad di Ambon dan Poso. “Senjata-senjata yang kita pakai di Ambon dan Poso sebagian kita beli dari Mindanao,” ujar Asep alias Aji. Menurutnya di sana lah kelompok jihad asal Indonesia seperti Jamaah Islamiyah (JI), Mujahidin Kompak, Laskar Jundullah, Darul Islam wilayah Banten berbelanja.
Di Mindanao, berserak banyak jenis senjata. “Sepucuk M16 buatan Amerika Serikat (AS) bisa dibeli seharga 30 ribu Peso atau sekitar Rp6 juta, hingga 45 ribu Peso atau sekitar Rp9 juta, tergantung kondisi senjata. Harga ini sudah termasuk bonus 8 buah magazin dan rompinya, “ ujar Asep. Sementara untuk harga M16 buatan lokal harganya lebih rendah.
Dua tahun lalu, kontributor VIVAnews yang berkunjung ke Mindanao sempat ditawari M16 made in Filipina seharga 25 ribu Peso, ditambah bonus 8 magazine dan rompi. Sementara itu harga M60 sekitar 60 ribu Peso atau sekitar Rp 12 juta. Itu sudah termasuk 2 buah rantai beserta pelurunya.

Sedangkan AK47 dijual Rp7 juta per pucuk. “Harganya murah karena amunisinya jauh lebih mahal,” ujar Asep. Sebagai perbandingan, Asep melanjutkan, amunisi M16 seharga 8-10 Peso (sekitar 1.600 sampai Rp 2.000) perbutir sedangkan amunisi AK 47 harganya 70 Peso (atau sekitar Rp 14 ribu) per butir.
Tingginya harga disebabkan tak ada perusahaan lokal memproduksi amunisi AK 47. Berbeda dengan M16. Peluru dan senjatanya juga diproduksi oleh perusahaan lokal Filipina.
Asep juga mengaku membantu membeli senjata bagi kelompok Darul Islam (DI) wilayah Banten pimpinan Jaja alias Akdam alias Pura Sudarma. Jaja alias Akdam ini tewas ditembak ditembak aparat keamanan di Aceh pada Maret 2010 lalu. Dia diburu karena turut berlatih militer di hutan Jalin, Jantho, Aceh Besar.
Salah seorang yang juga jago membeli senjata, kata Asep, adalah Suryadi Masoed alias Umar. Dia pernah ditangkap 2002, karena aksi perampokan di Manado dan bom di Makassar. Dalam kesaksiannya, Suryadi mengaku membeli senjata lewat jalur General Santos ke Bitung.

Suryadi Masoed sempat tertangkap. Dia dihukum delapan tahun penjara, dan baru bebas pada 2009. Namun penjara tak membuatnya kapok. Abdullah Sunata, aktivis Kompak, yang terlibat kasus latihan militer persiapan teror di Aceh, dan Juni lalu tertangkap di Klaten, berhasil membujuk Suryadi untuk pergi ke Mindanao. Dia meminta Suryadi mengambil 21 senjata, termasuk pelontar granat.
Tapi rencana itu gagal. Pada Mei 2010 Suryadi kembali diciduk polisi di Bekasi. Dari pengakuannya ke polisi, dia mengatakan senjata itu akan digunakan untuk menyerang Istana Negara pada 17 Agustus 2010.
Cipacing
Selain jalur Thailand dan Mindanao, ada juga sumber lain yaitu senjata rakitan. Laporan International Crisis Group (ICG), Illicit Arms in Indonesia yang dilansir September 2010, misalnya mengungkap sejumlah pengrajin senapan angin di Cipacing mampu merakit senjata api. Seorang pengrajin menuturkan, ”permintaan sebenarnya selalu ada.Tinggal kita berani mengambil resiko atau tidak.” Bila situasi aman sebulan bisa membuat 5 pucuk. Bila tak aman sebulan cuma sepucuk. (Baca Mengurai dari Cipacing)

Meski begitu, membuat senjata api, tutur pengrajin itu kepada ICG, agak lama karena harus sembunyi-sembunyi. Mereka bekerja dengan was-was diciduk aparat. Senjata Cipacing cukup terkenal. Sebab, “Kami bikin Bareta made in Cipacing, yang tampilannya mirip Bareta made in luar negeri,” katanya. Nomor seri dan merek juga dicetak. Jadi ini semacam senjata “bajakan”.

Meski mirip, soal mutu yang asli buatan luar negeri tetap lebih baik. Persoalannya, para pengrajin ini, adalah pada mutu laras senjata. Bahannya khusus, dan harus tahan panas. Mensiasati kekurangan perajin Cipacing memanfaatkan barel afkiran buatan PT Pindad. Sumber ICG menuturkan bahwa ada oknum yang menjual afkiran itu di pasar gelap. Seharga Rp 250 ribu.

Senjata rakitan yang memakai laras afkiran itu mampu menyimpan 5 peluru, senjata itu pun hanya mampu dipakai untuk menembakkan 250 peluru. Tembakan pun tak bisa beruntun, karena larasnya akan memuai. Sepucuk senjata rakitan dengan laras afkiran Pindad itu dijual Rp-4-5 juta. Laras bikinan Cipacing Rp 3 juta, dan laras asli Rp 6 juta.

Sejumlah pengrajin yang mengerjakan senjata api itu pernah ditangkap. Kini, para pengrajin Cipacing menolak order senjata api. Kapolda Jawa Barat mengatakan Cipacing aman, karena semua pengrajinnya dalam pantauan.

Laporan Solahudin | Jakarta

• VIVAnews

1 komentar:

Anonim mengatakan...

wah murah amat senjata dr mindanau itu? sama airsoftgun aja masih murahan ini.

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?