Jam menunjukkan pukul 04.15. Dari atas Gunung Pananjakan (2.774 meter di atas permukaan laut) terlihat warna kuning membias di ufuk timur. Perlahan-lahan disusul warna jingga. Semakin lama membias warna merah. Tatkala Matahari menampakkan diri, langit pun terang.
Pada saat berbarengan terjadi perubahan di kawasan Laut Pasir atau Segara Wedi. Dari semula gelap, berangsur tampak gumpalan kabut putih berarak-arak. Kabut makin tipis dan terlihatlah Gunung Bromo (berwarna perak kecoklatan).
Di sebelahnya Gunung Batok terlihat hijau dengan galur-galur vertikal. Demikian pula Pegunungan Tengger yang mengelilingi Gunung Bromo terlihat hijau, kuning sehingga kontras dengan warna Bromo yang putih perak kecoklatan.
Sekitar 90 menit eksotika kawasan itu terlihat jelas. Kemudian, datanglah kabut putih menyelimuti sebagian kawasan itu. ”Anda beruntung cuaca bagus sehingga bisa melihat kawasan Bromo dengan terang,” ujar Misnan, penyewa kuda di Laut Pasir.
Javier Ginebreda (24), turis dari Barcelona, Spanyol, mengaku mendapat dua hal terindah dalam hidupnya. ”Menyaksikan Spanyol menjadi pemenang Piala Dunia sama bagusnya dengan menyaksikan lanskap Bromo dan Semeru,” kata Javier.
Gunung Bromo (2.392 mdpl) merupakan obyek wisata di Jawa Timur yang sudah dikenal secara internasional. Lokasinya bisa ditempuh dari empat penjuru, dari Lumajang, Malang, Pasuruan, atau Probolinggo. Dua jalur terakhir sudah lebih tertata, sedangkan jalur Lumajang dan Malang kurang didukung akses jalan dan sarana lain yang memadai.
Jalur Pasuruan bisa ditempuh dari Kota Pasuruan-Tosari-Pananjakan-Bromo sekitar 71 kilometer. Adapun dari Probolinggo-Tongas-Ngadisari-Bromo jaraknya 64 kilometer.
Semua mobil pribadi harus berhenti di Tosari atau Ngadisari. Dilanjutkan ke Bromo-Pananjakan dengan wajib menyewa jip Hardtop Rp 300.000 maksimal untuk 5 orang. Jika mau sampai di Padang Savana, ditambah Rp 200.000. Taman Nasional Bromo Tengger Semeru juga menyediakan asuransi bagi turis lokal Rp 4.500 dan asing Rp 24.000.
Di Tosari maupun Ngadisari tersedia hotel dengan tarif sekitar Rp 400.000 maupun home stay bertarif Rp 150.000-Rp 250.000 per kamar per malam.
Keunikan Bromo adalah Laut Pasir seluas 5.250 hektar yang hampir mengelilingi gunung tersebut. Ada banyak obyek wisata gunung berapi, seperti Gunung Kelud dan Ijen (Jawa Timur), Tangkubanparahu (Jawa Barat), Merapi (Jawa Tengah), tetapi yang memiliki hamparan laut pasir demikian hanya Bromo.
Tentu saja eksotika Bromo tidak hanya dilihat dari Pananjakan saat pagi hari. Dari titik Bromo bisa dilihat Pegunungan Tengger yang juga penuh pesona. Terlihat Gunung Batok yang memiliki galur-galur tertata rapi dan bagian atasnya datar menyerupai helipad. Puncak Gunung Semeru yang runcing sesekali menyembulkan asap.
Jika mau meluangkan waktu, bisa pergi ke Padang Savana yang berada di sisi utara Bromo, hamparan padang rumput yang luas. Saat angin bertiup, akan terlihat seperti lapisan buih yang berkejar-kejaran. Dan saat didekati, hamparan putih berubah jadi kuning karena rumput itu kering.
Di Padang Savana, sebelah-menyebelah adalah bukit yang hijau. Di sebelah kanan dari arah Bromo terlihat gundukan-gundukan bukit yang berundak-undak berwarna hijau seperti taman yang rumputnya dipangkas dengan mesin pemotong rumput. Masyarakat menyebutnya bukit Teletubbies karena bentuknya mirip dengan rumah film TV boneka Teletubbies. Segala pesona ini masih dilengkapi bunga warna-warni yang tumbuh secara alami dan kicau pelbagai macam jenis burung.
Tentu saja menaiki puncak Gunung Bromo adalah tujuan utama wisata. Tidak sulit untuk mencapai puncaknya. Setelah berhenti di tempat parkir mobil di Segara Wedi, pengunjung berjalan sampai ke puncak sekitar 2,5 kilometer. Bisa juga menunggangi kuda yang disewakan Rp 50.000 sekali jalan. Kemudian naik setinggi sekitar 292 meter, termasuk lewat 249 anak tangga dengan kemiringan sekitar 60 derajat. Sesampai di puncak, pengunjung akan menyaksikan lingkaran kawah, yang dari dasarnya menyemburkan asap putih berbau belerang.
Pemberdayaan ekonomi
Puncak pesona Bromo terjadi saat berlangsung tradisi upacara Kasada—dan tahun ini akan jatuh pada 24-25 Agustus. Upacara ini berupa mempersembahkan hasil produksi pertanian, ternak, dan uang ke kawah Gunung Bromo dari masyarakat subkultur Tengger.
Masyarakat subkultur Tengger adalah masyarakat yang secara tradisional dan turun-temurun tinggal di kawasan Pegunungan Tengger. Mereka menempati lebih dari 20 desa yang tersebar di empat kabupaten, yaitu Pasuruan, Probolinggo, Malang, dan Lumajang. ”Orang Tengger pasti mengikuti upacara Kasada. Ini upacara adat yang terlepas dari apa pun agamanya,” kata Trisno Sudigdo, Ketua Koperasi Wisata Bromo Tengger Sejahtera.
Salidi, warga Desa Ranu Pani, mengatakan, semua orang Tengger harus ikut Kasada karena sebagai keturunan Jaka Anteng dan Rara Seger. Kalau sampai tidak ikut Kasada, akan kuwalat (terkutuk). Tua-muda, bahkan anak-anak, selagi masih kuat, akan pergi ke kawah Bromo untuk mempersembahkan sesaji. Bagi masyarakat Tengger, Bromo adalah gunung suci.
Secara ekonomis, masyarakat Tengger juga memperoleh manfaat dari keberadaan Bromo sebagai obyek wisata. Melalui koperasi, mereka memonopoli angkutan jip Hardtop dan penyewaan kuda. Mereka juga memperoleh dampak ekonomis dari pengelolaan home stay, perdagangan, dan jasa.
Trisno, yang berpendidikan S-2, suatu tingkat pendidikan yang sangat langka di masyarakat Tengger, punya obsesi agar Bromo lebih memberdayakan ekonomi masyarakat Tengger. Oleh karena itu, ia merancang wisata kuliner Tengger.
Selain Kasada, ada upacara masyarakat Tengger yang bisa dijadikan obyek wisata, sebutlah upacara unik Karo, Unan-unan, perkawinan, dan Nyewu. Sedangkan tradisi Gegeni—menerima tamu di sekitar tungku perapian—mestinya bisa jadi obyek wisata juga.
sumber kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar