SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Kapal Jerman Jangan Menggergaji Laut

| | |
Pemerintah habis-habisan memfungsikan 39 kapal perang eks armada Jerman Timur. Kredit didapat dari lembaga keuangan Jerman: KfW. Kroni Habibie ikut kecipratan rezeki?
Johannes Kotjo bukanlah seorang pecinta barang antik. Namun, nyali bisnisnya menyala ketika menyaksikan sederetan kapal rongsokan di galangan kapal Kiel, Jerman Timur. Orang penting di grup bisnis Salim ini langsung menghitung: satu, dua, tiga, sepuluh, dua puluh, dan, astaga, ternyata di situ nongkrong sedikitnya 39 kapal. Itu terjadi pada 1991.

Belakangan diperoleh konfirmasi: sederetan "barang antik" itu bekas kapal perang angkatan bersenjata Jerman Timur atau NVA (Nationale Volksarmee). Kondisinya tampak tak terurus selama ngedok dua tahun lebih. Mungkin karena Perang Dingin berakhir, tembok Berlin dibongkar, dan dua Jerman sudah berangkulan. Kabarnya, kapal bekas itu tak bisa diintegrasikan dengan sistem armada Jerman Barat--yang berstandar Barat, karena masuk NATO.


Namun, barang mubazir ini bisa jadi peluang bisnis yang empuk. Bukankah TNI AL membutuhkan tambahan armada? Sekeping info menarik ini lalu dibisikkan para bos Salim ke Presiden Soeharto. Begitu bertatap muka, grup bisnis milik taipan kelas wahid Liem Sioe Liong ini menawarkan jasa memasok kapal-kapal bekas itu. Mereka sodorkan angka US$ 1,3 miliar--kalau dikurskan waktu itu Rp 2,5 triliun lebih. Ini harga kapal tok, tak termasuk biaya tetek-bengek lainnya, semisal ganti mesin atau modifikasi ini-itu.


Salim akan menyuplai kapal bekas? Nilai proyek triliunan? Ya, proposal mereka inilah yang kemudian "mengilhami" para pejabat negara untuk menangkap proyek gede ini secara serius. Maka, dimulailah lobi-lobi di tingkat "atas". Persoalan jadi rumit ketika negara tak punya cukup duit untuk mendanai proyek kapal Jerman itu. Lalu terjadilah "peristiwa" tawar-menawar yang begitu sengit antara Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie dan Menteri Keuangan Mar?ie Muhammad, saat itu. Habibie belakangan ditunjuk Presiden Soeharto sebagai ketua tim--sebutlah--pembelian kapal Jerman itu.


Harga kapal memang tak seberapa, semuanya ditotal "hanya" sekitar US$ 12 juta. Jika dibandingkan dengan membeli kapal "baru", angkanya bisa meledak. Tapi proyek diam-diam ini--ada yang menyebut "sangat rahasia"--tak jauh beda dengan Salim, nilainya membengkak jadi US$ 1,1 miliar. Mark-up? Habibie menjawabnya tidak. "Kami tidak akan berbuat bodoh untuk membengkakkan biaya," katanya kepada pers.


Namun, tarik-ulurnya dengan Menteri Mar?ie menarik dicermati. Ada apa di balik itu? Benarkah bisik-bisik yang menyebut "ada orang yang diam-diam memanfaatkannya sebagai lahan bisnis" kala itu? Siapa saja yang "bermain"? Dari mana duit diraih? TEMPO, yang mencium gelagat aneh ini, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, begitu getol mempertanyakan seabrek sisi-sisi "gelap" tadi.


Tapi malang datang tanpa diundang. TEMPO, bersama Editor dan Detik, akhirnya dibredel (kata pemerintah, "dibatalkan SIUPP-nya") penguasa pada 21 Juni 1994. Ini terjadi tak lama setelah Presiden Soeharto berpidato tanpa teks di Teluk Ratai, Lampung. Ketika itu, Pak Harto membuka tabir rahasia di balik proyek kapal bekas itu--sekaligus memarahi pers yang dianggap "mengadu domba".


Tanpa setahu publik, "proyek" ini ternyata terus melenggang. Semua kapal itu akhirnya berdatangan dengan selamat di tanah air. Selesai? Belum tampaknya. Orang mungkin saja bertanya, apa kabar kapal Jerman. Tapi, dalam era reformasi yang membuat semua orang kian berani bicara lantang ini, tiba-tiba muncul gosip tak sedap: kroni Habibie, yang kini presiden RI, ikut ketiban rezeki nomplok. KKN? Meski tak bicara ihwal sensitif ini, berita kapal paling gres disampaikan Panglima ABRI Jenderal Wiranto.


Saat dengar pendapat dengan Komisi I DPR di Jakarta pertengahan September lalu, Wiranto singkat menjelaskan bahwa kondisi kapal baik-baik saja. "Ada beberapa yang masih diperbaiki, tapi manfaatnya banyak sekali," ujar Ketua Komisi I, Aisyah Amini, mengutip pernyataan Pangab. Pula, harganya, plus perbaikan, masih murah. Selain dipakai dalam latihan ABRI, kapal itu juga diperbantukan untuk patroli kapal asing pencuri ikan, SAR, mengangkut para transmigran, sampai membopong beras....


Sekali lagi, apa kabar kapal Jerman? Untuk menjawab pertanyaan penting ini, ada baiknya kisah negosiasi kapal ditarik mundur. Kita setback sebentar. Peristiwanya bisa dirunut dari belakang....


Dimulai dengan pertemuan kelompok Salim tadi dengan Presiden. Pak Harto kontan tersenyum menerima tawaran menarik ini. Setelah berucap terima kasih atas informasi itu, ia punya ide: kenapa tak ditangani negara? Dipanggillah Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie, yang kala itu masih menjabat wakil presiden pabrik kapal terbang Messrchmidt Bulkow Blohm (MBB) di Jerman. Habibie pantas diajak rembukan soal kapal made in Jerman itu. Selain "orang dekat" Pak Harto, pakar rancang-bangun pesawat ini juga punya lobi hebat dengan Kanselir Helmut Kohl.


Sejak itu, kontak Jakarta-Bonn mulai intensif. Pak Harto sendiri akhirnya berkunjung ke Jerman pada 1991. Ihwal kapal sekaligus dibahas dengan Kanselir Kohl. Urusan selanjutnya ditangani Habibie, termasuk mencari tahu soal kapal bekas yang menjadi andalan negeri eks Blok Timur itu. Agar mantap menjalankan tugas, Habibie belakangan dibekali "surat sakti": Instruksi Presiden No. 3, yang diteken pada 3 September 1992. Di situ disebutkan posisi penting Habibie, sebagai Ketua Tim Pengembangan Industri Pertahanan dan Keamanan.


Habibie tak sendiri mengurus proyek prestisius ini. Ia dibantu oleh sejumlah pejabat dari Departemen Hankam, Mabes ABRI, termasuk TNI AL, kantor Menko Ekuin, Departemen Keuangan, dan Bappenas. Tugas tim, menjajaki, bernegosiasi serta meneken kontrak pembelian kapal-kapal perang yang terpaksa dilakukan diam-diam ("Karena banyak negara lain yang berminat," kata Pak Harto mengutip Kohl) itu. Mumpung pula Angkatan Laut RI juga butuh kapal.


Kebetulan, tahun sebelumnya, AL mengevaluasi armadanya: separuh dari 82 kapal perangnya terbilang uzur. Tak laik layar. Apalagi buat bertempur. Wajar, wong umurnya sudah 25-30 tahun. Malah, di antara jenis landing ship tank (LST) milik RI, ada yang bikinan 1943, zaman Perang Dunia II. "Jalannya sudah edek-edek-edek," kata Kepala Staf AL Laksamana M. Arifin, menirukan suara kapal tua milik armadanya itu (TEMPO, 7 November 1992).


Padahal, armada harus segera diperkuat untuk pelbagai keperluan. Untuk menghadapi penangkapan ikan secara ilegal dan seabrek tindak penyelundupan lainnya. Apalagi, garis pantai RI boleh dibilang kelewat panjang: 81.000 kilometer. Patroli sering kedodoran. Maka, "Jika dihitung secara matematis, berdasar luas laut dan kemampuan tempur, minimal kita harus punya 400 kapal perang," kata mantan KSAL, Laksamana Arief Kushariadi.


Memang, sudah ada perusahaan kapal nasional. Tapi, sejauh itu PT PAL, nama pabrik kapal yang galangannya di Surabaya itu, baru mampu membuat kapal setingkat fast patrol boat, belum bisa setingkat fregat. Jadi, pilihan satu-satunya harus membelinya ke luar negeri. Dan informasi kapal Jerman tadi terasa menggugah. Murah, jelas. Setidaknya jika dibandingkan dengan harga baru. Apalagi, kondisi kocek negara sedang pas-pasan.


Lirikan kian terfokus ke Jerman. Langkah berikut, tinggal meyakinkan dan mendapat izin sejumlah pihak: pemerintah dan parlemen Jerman, NATO, bahkan Dewan Keamanan PBB. Intinya, kapal bekas itu hanya dipakai untuk menjaga kedaulatan negara. Lain tidak. Bukankah Nusantara mempunyai 17.000 pulau yang perlu diamankan dari segala ancaman? Negosiasi sempat terhambat akibat meletusnya peristiwa Dili, 12 November 1991. Mereka khawatir, kapal-kapal itu dipakai untuk menggebuk rakyat Timor Timur.


Toh, akhirnya lampu hijau menyala, Maret 1992. Pemerintah RI boleh mengajukan penawaran harga. Maka, digodoklah anggaran kapal itu di Jakarta. Habibie, yang istilah populernya sebagai Ketua Tim Pembelian Kapal, langsung tancap gas. Padahal, sebelumnya ada Tim Departemen Hankam yang diketuai Menteri Pertahanan dan Keamanan Edi Sudradjat. Kabarnya, tim Edi sudah melakukan window shopping ke Amerika Serikat. Mereka tertarik dan rencananya akan membeli dua kapal selam serta sejumlah LST mini.


Skenario berubah setelah kemunculan Habibie. Bertiup kabar, Edi dan ABRI--yang sudah karatan mengurus "rumah tangga militernya"--tersinggung. Persoalan menghangat ketika muncul hambatan terbatasnya dana negara. Apalagi, ketika proposal awal disusun tim Habibie, muncul angka pembelian kapal US$ 1,1 miliar. "Berdasarkan angka ini, kita bisa mendapatkan seluruh prasarana untuk seluruh armada AL," kata Habibie. Ongkos ini termasuk pembangunan Pangkalan Utama Teluk Ratai di Lampung (senilai US$ 151 juta), dan sejumlah dermaga dan mes untuk awak kapal di 12 daerah. Mulai dari Sabang sampai Manokwari.


Dalam rapat tim, kabarnya, Menteri Edi sempat "menantang". "Kalau jumlahnya sebesar itu, berikan saja pada kami. Kami lebih tahu kebutuhan Angkatan Laut," ujar seorang sumber TEMPO, menirukan perkataan Edi. Menteri Keuangan Mar?ie Muhammad tak kalah kaget melihat bujet raksasa itu. "Ini tak masuk akal. Pinjaman CGI saja cuma US$ 4,9 miliar," kata sebuah sumber di Departemen Keuangan, menirukan ucapan bosnya (TEMPO, 11 Juni 1994). Mar?ie hanya memberi plafon US$ 319 juta.


Bagaimana kalkulasi versi Mar?ie? Pos-pos anggaran yang tidak penting dihilangkan, misalnya pembangunan Pangkalan Utama Teluk Ratai dan pembelian dua buah kapal tangker. Sementara ditangguhkan. Disarankan pula agar tim memakai "Teknik Madura". Caranya, mudah saja. Suku cadang dan mesin ke-39 kapal tadi--terdiri dari 16 korvet tipe parchim, 14 LST kelas frosch, dan 9 penyapu ranjau tipe kondor--diborong habis, lalu dirangkai di sini. Beres.


Namun, Habibie tetap ngotot dengan anggaran US$ 482 juta atau sekitar Rp 600 miliar. Ngitungnya begini. Ke-39 kapal itu cuma dihargai DM 25 juta. Tapi, menurut koran beken di Jerman, der Spiegel, pinjaman yang diperoleh untuk kapal itu DM 28 juta. Murah, memang. Belakangan bisa diturunkan menjadi DM 20 juta atau US$ 12,7 juta (sekitar Rp 25,4 miliar). Hanya, setelah direnovasi, total biaya kapal menjadi US$ 345 juta atau membengkak 27 kali lipat. Rinciannya, satu parchim US$ 11,95 juta, sebiji frosch US$ 11,7 juta, dan satu kondor US$ 4 juta.


Kalau ditambah repowering mesin pokok, ceritanya lain lagi. Harus nambah biaya US$ 63 juta. Karena kapal "setengah tua", perlu diperbaiki di PT PAL. Ongkosnya US$ 64 juta. Lalu perbaikan pangkalan, termasuk amunisi US$ 10 juta. Total jenderal, ya, sekitar US$ 482 juta. Tapi Mar?ie tetap bergeming dengan angka US$ 319 juta. Tarik-ulur terjadi, satunya "pencet gas" , lainnya "injak rem". Itu sampai empat kali. Deadlock. Angka terakhir yang kemudian disepakati berkisar US$ 442,8 juta. Itu pun setelah Pak Harto campur tangan. (lihat Siapa Ketiban Rezeki Kapal?).


Bandingkan dengan harga kapal bekas tipe sama yang masih normal. Jenis parchim harganya US$ 23,8 juta, frosch US$ 17,3 juta, kondor US$ 14,9 juta. Nah, kalau kita mau beli dengan jumlah yang sama tadi, diperlukan dana sedikitnya US$ 757 juta atau hampir dua kali lipatnya. Mau yang betul-betul gres? Satu korvet parchim harganya saat itu sekitar US$ 200 juta. "Itu belum dengan peluru," kata Habibie. Kalau kita mau pesan kapal, dimulai dari staff study, kontrak, uji coba, sampai jadi, butuh waktu tiga setengah tahun.


Itu untuk satu kapal. Kalau mau ngebut pesan paralel, maksimal satu galangan bisa membikin tiga kapal. "Jadi, nggak mungkin kita mampu beli kekuatan sebanyak itu dalam waktu singkat," kata mantan Danjen Akabri, Laksamana Madya Ahmad Sutjipto, yang baru saja dipromosikan menjadi Wakil KSAL. Sutjipto pernah menjadi komandan tim yang diberi tugas mengawasi kesiapan teknis kapal tersebut. "Dengan angka sekitar US$ 400 juta, bisa diborong 39 kapal, itu suatu keuntungan," kata mantan KSAL Laksamana Arief Kushariadi.


Oke, meski murah, lalu dari mana duitnya? Masalahnya, keuangan negara lagi empot-empotan. Pak Harto lalu memerintahkan Mar?ie untuk pinjam duit ke luar negeri. Menteri berkacamata tebal ini akhirnya mendapat jalan keluar: kredit agak lunak dari Kreditanstat fur Wiederaufbau (KfW). Ini nama sebuah lembaga keuangan terbesar--sebagian sahamnya milik pemerintah--di Jerman, yang berkantor pusat di Frankfurt. Dari lembaga ini, kabarnya, diperoleh pinjaman berjangka 10 tahun sebesar US$ 200 juta.


Namun, mendapat pinjaman asing bukan perkara mudah. Muncul protes dari publik setempat. Parlemen keras mengkritik. Bank dinilai memberikan duit bukan pada sasaran yang tepat. Apalagi, Indonesia tengah sibuk meredam isu Timor Timur. "Bisnis senjata ini seperti bisnis dengan Kolombia sebelumnya, dan tetap sengit dipersoalkan," begitu tulis harian der Spiegel, 9 Maret 1992. Bank ditakutkan akan kekurangan duit untuk proyek swasta lainnya. Akhirnya, dicapai kompromi: semua senjata kapal harus dipreteli--untuk proses ini saja pemerintah keluar dana US$ 4 juta.


Seiring dengan mengucurnya dana KfW, meluncurlah sejumlah kapal perang itu dari Kiel. Dalam perjalanan panjang itu, sempat bertiup kabar tak sedap: salah satu kapal, dari 16 kapal yang berenang, hampir tenggelam di Teluk Biscay, Spanyol. Habibie bilang justru itulah ketangguhan kapal. "Kalau kondisinya jelek, tak ada lima menit pasti tenggelam," katanya. Kebetulan pintu depannya tak dilas penuh. Tapi, seorang perwira AL yang ikut konvoi kapal berkisah kepada TEMPO sebaliknya: pelat besinya memang tak tahan guncangan ombak. Sehingga, haluan depan--untuk mengeluarkan tank--pecah dua pertiganya.


Beruntung kapal akhirnya bisa ditarik tim SAR Spanyol ke Gijon. Problem lain menyangkut kondisi mesin yang perlu di-overhaul. Beli mesin baru harganya mahal. Daya jelajah kapal juga terbatas karena memang diplot untuk pertempuran di Laut Baltik. Teknologi dan peralatan komunikasi juga kuno. Pula, tak sesuai dengan standar armada RI yang berkiblat ke Barat. Maka, teknisi di Peenewerft, Jerman, bekerja keras melakukan modifikasi. Para ahli di PAL juga sibuk mereparasi. (lihat Cara Mengakali Armada Bekas).


Buntut yang masih membekas sampai kini menyangkut tender atas proyek kapal itu. Bisik-bisik terdengar kroni Habibie kecipratan rezeki kapal--mulai dari mengegolkan pembelian, pembelian suku cadang, perbaikan AC, sampai pengecatannya. Tapi gosip ini dibantah semua keluarga Habibie. Yayuk, adik Habibie, memang pernah bekerja di Ferrostaal, perusahaan yang menjadi koordinator reparasi kapal di galangan Jerman Timur. Anak bungsunya, Thareq Habibie, kepada TEMPO juga menepis dugaan menerima tender. (lihat Siapa Ketiban Rezeki Kapal?).


Persoalan jadi runyam ketika kapal-kapal itu membawa kemahalan lainnya: biaya tambahan selama operasi yang tak maksimal. Sebab, kapal sudah es-te-we, setengah tua. Dengan mesin ala kadarnya itu kapal tentu saja boros bahan bakar. "Cukup, sih, cukup untuk kebutuhan kita, asal tak dipakai untuk menggergaji laut," kata seorang perwira di Mabes AL yang pernah menjadi komandan kapal kondor. Maksudnya, kapal harus diperlakukan selayaknya "kapal menjelang sepuh", yang mesinnya tak diganti baru, yang alat-alatnya "secara teknis tak memenuhi syarat dan mengecewakan generasi muda AL". Jangan buat pamer manuver.

sumber : tempo

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?