SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Kisah Orang Jawa di Kaledonia Baru (1)

| | |
Tugu Peringatan kedatangan orang Indonesia di Kaledonia Baru
Selain di Suriname, ribuan orang Jawa tercatat berada di Kaledonia Baru. Sebuah kepulauan di Samudera Pasifik bagian selatan. Mereka adalah keturunan para pekerja kasar yang didatangkan secara bergelombang sejak 1896. Satu keluarga dari sana, baru-baru ini mengunjungi kenalan lamanya di Semarang. Wartawan Suara merdeka, Yoseph Harry W dan Anton Sudibyo melaporkan.

Rumah Drs Soegito, dosen bahasa Prancis Unnes, di Jalan Raya Dewi Sartika 83 Sampangan Gajahmungkur, Semarang, baru-baru ini mendadak ramai. Puluhan bekas mahasiswanya yang kini telah mengajar di beberapa SMA di Semarang berkumpul. Tawa dan canda mewarnai pertemuan itu. Maklum telah sekian lama mereka tak bertemu.

Namun itu bukan reuni biasa. Mereka sedang menyambut tamu spesial dari negeri seberang. Pasti baru sedikit dari jutaan orang Indonesia yang pernah menginjakkan kakinya di sana.

Sekitar pukul 11.00, sebuah van putih melambat. Semua mata langsung terarah pada mobil yang parkir tepat di depan rumah itu. Soegito menyeruak ke depan. Wajahnya sumringah, kedua tanganya terbuka penuh gairah. ”Bonjour,” sapanya.

Sapaan akrab dalam bahasa Prancis itu dibalas serupa hampir berbarengan oleh beberapa orang yang baru saja turun dari van itu. Tak kalah cerah air muka mereka. Lalu, layaknya sebuah keluarga di hari raya, pertemuan itu diawali dengan acara salam-salaman berkeliling. Beberapa patah kata dalam Prancis dan tawa kecil mewarnainya.

Yang baru saja datang adalah sepasang suami istri, Andre Vaquijot dan Saminah Evelyne Vaquijot. Mereka baru saja menempuh perjalanan udara sembilan jam dari Nouvelle Caledonie atau Kaledonia Baru bersama putri keduanya Ivana, menantu Paul Siat dan empat cucunya, Helena Wahyuni (22), Lea Ayu (20), Sophie Samina (18), Marie Kadriati (16), dan Piere Agus (12).

Meski berasal dari negeri nan jauh di mata, keluarga Vaquijot ternyata memiliki ciri fisik tak berbeda dengan orang Jawa pada umumnya. Kulit sawo matang, rambut ikal, dan tubuhnya sebesar rata-rata orang Indonesia. Bahkan khusus Evelyne dan suaminya, cukup fasih bahasa Indonesia, terutama Jawa Ngoko. “Piye kabare apik-apik wae to,” kata Evelyne.

Kepada keluarga dan mantan mahasiswanya, Soegito kemudian mengenalkan bahwa tamunya itu merupakan keturunan asli Jawa yang tinggal di Kaledonia Baru sejak 1896. Kedatangan mereka ke Semarang, terutama di rumah Soegito, merupakan kali kedua setelah pada 2005 pernah berkunjung pula bersama 33 warga Kaledonia Baru keturunan Jawa lainnya.

Berkunjung ke Indonesia bagi mereka adalah sarana melawan lupa. Mereka merasa masih sebagai orang Jawa yang tak boleh lupa pada asal usulnya. Terkhusus kali ini, keluarga Vaquijot ingin memperkenalkan pada anak dan cucunya akan kampung halaman leluhurnya.
“Agar anak cucu selalu ingat bahwa kakek nenek mereka dulu adalah orang Jawa,” ujarnya.
Untuk menjawab keinginan keluarga Vaquijot, Soegito pun berupaya menggelar penyambutan yang maksimal. Bersama istrinya, Niken Rahayu, pensiunan dosen Undip, ia mengemas sebuah acara yang kental nuansa Jawa.

Siang itu, khusus dipersembahkan beberapa lagu-lagu Jawa yang dimainkan mahasiswa Soegito. Di antaranya tembang ”Suwe Ora Jamu” dan ”Cublak- cublak Suweng” dalam iringan gitar yang rancak. Betapa senang Evelyne sekeluarga mendapat sambutan begitu rupa. Tak segan-segan, keluarga itu ikut bergoyang menikmati alunan irama tradisional Jawa tersebut.

Apalagi ketika hidangan khas Jawa mulai tersaji. Tak membuang waktu, keluarga Evelyne pun menyikat habis berbagai menu yang terhidang. Di antaranya lunpia, getuk, sate, sop, dan gudeg. “Atiku tetep Jowo, ilatku yo tetep Jowo,” kata Evelyne sembari mengunyah lunpia yang digemarinya.

Masih Njawani

Evelyne bercerita bahwa ia masih terlihat njawani karena masyarakat Jawa di Kaledonia Baru berupaya tetap menjaga tradisi Jawa. Meski terlahir di Noumea, Kaledonia Baru 14 Desember 1938, Evelyne mendapat didikan keras dari orang tuanya untuk tetap memegang teguh kejawaan. Dia pun menurunkan ajaran itu kepada anak cucunya.

Setiap 16 Februari, masyarakat Jawa di sana memperingati hari pertama kedatangannya dengan nyekar di Tugu Centainer Valon-Du-Gaz, Noumea. Tugu tersebut merupakan tempat pertama kali orang Jawa menginjakkan kaki di Kaledonia Baru pada 1896.
Usai nyekar dilanjutkan dengan acara kumpul-kumpul di wisma khusus Jawa. Di situ digelar berbagai mata acara dari bazar makanan Jawa hingga pertunjukan seni budaya. “Kami masih menggunakan adat Jawa dalam merayakan kelahiran dan kematian seperti mitoni, nyelapan, matang puluh, dan nyewu,” ucap Evelyne.

Saat ini, menurut Evelyne, ada lebih 7.000 orang Jawa di Kaledonia. Sekitar 2.000 di antaranya masih tercatat sebagai warga negara Indonesia. Sementara, sisanya sudah beralih ke kewarganegaraan Prancis. Mereka tersebar di berbagai kota di Kaledonia Baru. Komunitas Jawa terbesar di kota Noumea.

Karena lama tinggal dan beranak pinak, akulturasi budaya pun tak terhindarkan. Terutama disebabkan perkawinan dengan bangsa-bangsa lain baik pribumi, Prancis, maupun bangsa Asia lain seperti China dan Jepang.

Hal yang paling kentara adalah soal nama. Evelyne menyebut, nama Vaquijot sebenarnya berasal dari nama Jawa, Wakidjo. Bagi pendengaran secara fonetik Prancis, nama Wakidjo terdengar “Vaquijot”. Contoh lain penyesuaian nama yakni Bou Di Mane (Budiman) atau Saricone (Sarikun). “Kami diterima baik dan sudah menjadi bagian masyarakat, tanpa ada perbedaan. Tidak ada kelas sosial di sana, semuanya sama,” tandas Evelyne.

Orang Jawa, menurutnya, bahkan cenderung disukai karena terkenal baik hati, ramah, setia kawan, dan loyal. Masyarakat setempat menyebutnya Niaoulis (baca: Nyauli). Kata itu dalam bahasa setempat berarti pohon kayu putih. Ini berasal dari kebiasaan para pekerja perempuan Jawa zaman dulu yang suka meninggalkan anaknya di bawah pohon kayu putih ketika bekerja. (Anton Sudibyo, Yoseph Harry W-20)

© 2008 suaramerdeka.com. All rights reserved

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?