SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Memutus Silaturahmi Kera Gua Kreo

| | |
“Kanthi sesaji iki, tak jaluk sira gelem urip sinisihan karo menungsa.”

Bibir Mbah Jamad bergetar saat mengucapkan kalimat itu. Kakek 87 tahun, warga Dusun Talunkacang Kelurahan Kandri, Kecamatan Gunungpati, Semarang, ini seperti gamang.

Mbah Jamad yang biasa memimpin ritual Sesaji Rewanda di Gua Kreo, Semarang, waswas. Ritual yang digelar tahun ini bisa jadi yang terakhir. Sebab, tempat melangsungkan ritual ini kelak tenggelam menjadi bagian Waduk Jatibarang.

Ritual Sesaji Rewanda merupakan upacara berbagi makanan dengan para kera penghuni Gua Kreo dan perbukitan sekitarnya. Warga Talunkacang berharap, dengan berbagi makanan, kawanan kera tak mengganggu kebun atau perkampungan mereka.

“Upacara ini sudah dilakukan sejak zaman mbah-mbah saya. Karena dianggap paling tua, saya dipasrahi memimpin doa dan pasrah sesaji kepada para kera itu,” kata Mbah Jamad.

Pesan Sunan Kalijaga
Mbah Jamad menuturkan, keberadaan kera-kera di Gua Kreo itu tak lepas dari kisah berbau legenda Sunan Kalijaga yang mencari kayu jati untuk tiang utama Masjid Agung Demak. Konon, setelah menemukan batang jati pilihan, Sunan Kalijaga menghanyutkannya melalui aliran Sungai Kreo hingga Demak.

Sampai di Dusun Talunkacang, Sunan Kalijaga kelelahan dan beristirahat di sebuah gua. Saat akan meneruskan perjalanan, ternyata batang jati melintang di sungai dan tidak dapat hanyut. Setelah mendapatkan bantuan kera ekor panjang warna hitam, merah, kuning, dan putih, barulah kayu itu bisa dihanyutkan. Kera-kera itu pun dihadiahi sebuah gua sebagai tempat tinggal.

Sunan Kalijaga juga meninggalkan beberapa pengikutnya untuk merawat kera-kera itu. “Kalian tinggallah di gua ini. Hiduplah berdampingan dan saling membantu. Berbagilah makanan agar tak ada yang dirugikan,” pesan Sunan Kalijaga.

Sejak itu kera-kera hidup rukun damai dengan warga Talunkacang. Setahun sekali warga mengadakan Sesaji Rewanda. “Dengan berbagi makanan, kita harapkan kera-kera tidak mengganggu dan merusak kebun. Bahkan pada tahun 1990-an warga menanam tanaman buah di bukit sekitar gua agar kera-kera terjamin makanannya,” kata Kasmani, salah seorang tokoh Dusun Talunkacang.

Tergusur
Zaman bergerak. Populasi warga kota Semarang meningkat pesat. Tingginya jumlah penduduk tak diikuti gaya hidup yang ramah lingkungan. Akibatnya, Semarang menjadi daerah langganan banjir. Selain itu, air bersih menjadi defisit.

Pembangunan waduk pun menjadi pilihan. Dipilih lokasi di sekitar Jatibarang. Pembangunan waduk dimulai tahun 2006 dan mengancam kehidupan ribuan ekor kera Gua Kreo. Warga sendiri tidak ada persoalan, termasuk saat dilakukan pembebasan tanah, karena sosialisasi lebih dari cukup.

Kasri, pawang kera, mengatakan Pemerintah Kota Semarang pernah berjanji objek wisata Gua Kreo tetap akan dibuka untuk wisata. Kera-kera akan lebih terjamin makanannya. “Karena daya tarik wisata utamanya kera, biasanya pengunjung membawa makanan untuk kera. Tapi sekarang kan ditutup. Jadi, kera-kera menjadi lebih liar,” ujarnya.

Penggusuran habitat kera itu membuat kawanan kera mulai menyerang perkampungan penduduk. Warung-warung di pelataran parkir objek wisata Gua Kreo hampir setiap hari disatroni kera-kera yang kelaparan.

“Kami sebenarnya keberatan atas ketidakpedulian Pemerintah Kota Semarang yang mengabaikan keberadaan kera-kera itu. Sekarang kera-kera itu berkeliaran ke mana-mana. Bahkan, sudah berani masuk ke rumah penduduk, mencari makan,” kata Kasmani.

Selain warga, beberapa pihak peduli terhadap keberadaan kera-kera itu. Aktivis LBH Semarang, Muhnur, dan Amanda Putri Nugrahanti, wartawati, Juli lalu melangsungkan pernikahan di lokasi pembangunan waduk dan menanam 500 tanaman buah sebagai jaring pengaman. “Kami berharap langkah kecil kami bisa menjaga keseimbangan ekologi. Memang hasilnya baru terasa sekian tahun ke depan,” kata Muhnur.

Tanaman buah yang ditanam Muhnur dan Amanda belum berbuah. Demikian pula tanaman buah yang ditanam warga pada tahun 2007. Itulah yang memancing kemarahan kera-kera.

Warga Talunkacang saat ini masih menyiasati keliaran kera-kera itu. “Kera-kera bisa membedakan antara pengunjung dan warga. Mereka tak pernah mengganggu warga. Namun, karena tidak diurus, kera-kera itu berubah menjadi pengganggu. Namanya juga binatang. Menuruti naluri saja. Jadi, kalau harus menyalahkan, pemerintahlah yang salah, tidak mengantisipasi selama proyek pembangunan waduk,” kata Kasmani.

Pawang Pasrah
Proyek pembangunan Waduk Jatibarang dijadwalkan rampung tahun 2012 dan tahun 2013 semua areal sudah digenangi air. Dalam rentang waktu itu, kearifan masyarakat dalam menjalin komunikasi dengan kera dipastikan terganggu.

Kasri, sang pawang, mengaku kewalahan mengendalikan perilaku kera-kera itu. Meski baru beberapa bulan tak terurus, kera-kera menjadi beringas. “Saya biasanya mengatasi dengan makanan. Namun, ketika sawah dan ladang sudah dibuldozer dan tidak ada tanaman sama sekali, sedangkan jatah makanan tak diberikan, siapa pun akan sulit mengendalikan kera-kera itu,” ujarnya.

Kecemasan Mbah Jamad akan kelangsungan ritual Sesaji Rewanda juga kekhawatiran warga Talunkacang. Mereka khawatir persahabatan dengan kera-kera yang terjalin mulus sejak lama, akhirnya pupus.

Bagi Widodo dari Komunitas Kandanggunung yang peduli budaya dan lingkungan hidup, ritual Sesaji Rewanda sesungguhnya cerminan kearifan lokal. Dengan sesaji itu masyarakat berharap hidup berdampingan dengan kera-kera liar itu tanpa saling merugikan. “Sulit membayangkan jika kera-kera itu tidak diakomodasi dan diperlakukan sebagaimana mestinya. Saya berani menjamin itu akan merusak dan menimbulkan masalah di kemudian hari. Atau jangan-jangan hal itu memang disengaja agar kera-kera itu mati perlahan-lahan,” ujarnya.

Sukarman dari Divisi Lingkungan Hidup LBH Semarang menyoroti buruknya analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pembangunan waduk tersebut. Menurut dia, sebelum pembangunan dimulai seharusnya amdal juga mempertimbangkan keberadaan kera-kera itu. “Terlihat sekali amdal proyek ini sangat lemah. Saya tidak bisa menyalahkan pelaksana proyek. Kontrak mereka kan hanya mengerjakan fisik. Amdal tetap wewenang pemilik proyeknya,” katanya.

Meski Sesaji Rewanda terancam hilang dan kera-kera mulai liar tak terkendali karena tak diurus, Mbah Jamad sesekali tetap menyapa binatang-binatang itu saat mandi di sungai. Baginya, komunikasi dengan kera-kera itu harus tetap dijaga. “Kita yang punya akal budi harus mengalah. Bagaimana caranya agar kera-kera yang saat ini tinggal sekitar 400 ekor tak marah saat tempat tinggalnya dirusak. Barangkali inilah akhir silaturahmi yang lama terjaga sesuai amanat Sunan Kalijaga,” kata mbah Jamad.

Kera-kera jenis ekor panjang (macaca fascicularis) itu seperti merasa gelisah dan terancam. Kini mereka sering menduduki buldozer-buldozer proyek waduk. Mata mereka tak henti menatap takjub puluhan truk besar yang hilir-mudik mengepras perbukitan di Kreo. (E4)


sumber & Foto-foto: VHRmedia / Andhika Puspita

1 komentar:

karimun jawa mengatakan...

artikel yg layak dibaca, nice

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?